• Home
  • Tulisan
    • Artikel Koran
    • Artikel Majalah
  • Perkuliahan
    • Bahan Kuliah S1
    • Bahan Kuliah S2
    • Bahan Kuliah S3
  • Buku & Jurnal
    • Buku
    • Jurnal
  • Video

Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia Di Indonesia1

  • Cetak
  • E-mail
Detail
Kategori: Jurnal Nasional
Ditayangkan: Jumat, 15 Maret 2019 09:34
Ditulis oleh Administrator
Dilihat: 19295

Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia

Di Indonesia[1]

Saldi Isra

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Naskah diterima: 4/8/2014 revisi: 18/8/2014 disetujui: 29/8/2014

Abstrak

Keberadaan pasal-pasal tentang HAM dalam UUD 1945 membuktikan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berkomitmen mengakui dan menghormati

HAM. Dalam rangka memberikan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia, UUD 1945 memberikan kewenangan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa putusan MK dapat dijadikan bukti untuk menilai bahwa uji materil yang dilakukan MK adalah untuk melindungi dan memajukan HAM. MK tidak saja bertindak sebagai lembaga pengawal konstitusi (guardian of the constitution), melainkan juga sebagai lembaga pengawal tegaknya HAM. Melalui kewenangan uji materil yang dimilikinya, MK tampil sebagai lembaga penegak hukum yang mengawal berjalannya kekuasaan negara agar tidak terjebak pada tindakan sewenang-wenang dan melanggar HAM.

Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Hak Asasi Manusia, Uji Materiil

Abstract

The presence of articles on human rights in 1945 afϔirmed that Indonesia respect of human rights. In order to provide protection and guarantee of human rights, the 1945 Constitution authorizes judicial review to the Constitutional Court. Some of the verdict of the Court could be used as evidence that the Court conducted to protect and promote human rights. Constitutional Court not only act as guardian of the constitution institutions, but also as the guardian of human rights. Through its judicial review authority, the Constitutional Court appeared as law enforcement agencies that oversee the passage of state power in order not to violate of human rights.

Keyword:The Constitutional Court, Human Right, Judicial Review

PENDAHULUAN

Secara umum, konstitusi sebagai sebuah aturan dasar terdiri dari dua bagian yang berbeda, bagian formiil dan materiil.[2] Bagian formiil berisi aturan-aturan yang berkenaan dengan badan-badan atau lembaga-lembaga negara dan prinsipprinsip struktural pokok dari negara, misalnya mengenai pemisahan kekuasaan dan sistem pemerintahan. Sedangkan bagian materiil dari konstitusi berisi tentang nilai-nilai, maksud dan tujuan yang hendak dicapai negara serta hak asasi manusia (HAM).[3]

Sebagai konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada pokoknya memuat dua bagian dimaksud. Khusus untuk bagian materiil, pendiri bangsa (the founding fathers) mengidealkan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat atau the rule of law). Penegasan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum dapat dibaca dalam Penjelasan umum UUD 1945. Bahkan, pada perubahan UUD 1945 (1999-2002), gagasan itu dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Penegasan Indonesia sebagai negara hukum diiringi dengan pengaturan tentang hak asasi manusia yang lebih luas dan komprehensif pada Bab khusus, yaitu Bab XI A yang terdiri dari Pasal 28A-28J. Dalam bab ini semua aspek hak asasi mendapatkan jaminan. Aspek tersebut tidak hanya hak di bidang sipil dan politik, tetapi juga hak atas kesejahteraan masyarakat seperti hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 merupakan komitmen negara untuk memenuhi syarat keberadaan Indonesia sebagai negara hukum.[4]

Ketika dijamin dan dilindungi secara konstitusional, bukan berarti HAM secara pasti akan dihormati. Jaminan di tingkat konstitusi tentunya baru sebatas norma yang mengatur bahwa hak asasi manusia itu ada, diakui dan dilindungi. Sementara itu, implementasinya bergantung pada ketersediaan infrastruktur kelembagaan, mekanisme dan komitmen penyelenggara negara. Sehubungan dengan itu, makalah ini akan mengulas perkembangan pemikiran konsep HAM yang dikaitkan dengan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) sebagai salah satu mekanisme perlindungan HAM di Indonesia terutama setelah perubahan UUD 1945.

PEMBAHASAN

A.     Perkembangan Pemikiran Konsep HAM

Pada dasarnya, konsep HAM itu sampai sekarang belum pernah berubah. Hanya terjadi pergeseran penekanannya saja seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan negara dan pergaulan masyarakat internasional. Pergeseran itulah yang dimaksud dengan perkembangan pemikiran yang akan diulas di sini. Bagaimana pemikiran tentang konsep HAM pada awal kelahirannya dan apa perkembangannya pada masa kekinian (kontemporer).[5]

No.

Zaman Awal Kelahiran Konsep

HAM

Zaman Kontemporer
1. Istilah yang digunakan adalah man’s right atau hak laki-laki. Hanya lakilaki yang diakui sebagai subjek hak, sementara perempuan tidak atau hanya dianggap sebagai nomor dua. Misalnya Konstitusi AS versi 1776, hak yang dimaksud adalah hak lakilaki. Istilah yang digunakan adalah human rights atau hak manusia. Subjek hak itu bukan saja laki-laki, melainkan adalah individu, tidak pandang apakah laki-laki atau perempuan.
2. Pada awak kelahirannya, hak manusia hanya dituangkan dalam hukum nasional masing-masing negara. Saat ini, hak asasi tidak hanya diatur dalam UU nasional, tetapi juga diatur dalam perjanjian atau konvensi internasional.
3.

Hak-hak individu warga negara (citizen’s individual rights). Hak itu adalah hak sesama manusia.

Penekanannya adalah hak individual.

Jika dulu dianggap sebagai hak individu, sekarang hak asasi juga harus dipandang sebagai kepatutan moral, dalam arti kepentingan umum juga harus di ikirkan.
4. HAM merupakan kebebasan (fredom to..). Kebebasan tidak saja bebas, tetapi bukan sekedar bebas untuk (fredom to..), misal bebas ikut memilih, tetapi juga bebas dari (fredom from..), misalnya bebas dari rasa takut.
5. HAM itu adalah hak atas kebebasan dibidang politik (on civil and political right). On economic, social and cultural right. Kalau dulu hanya hak sipol, tapi sekarang titik tekannya adalah hak ekosob, misal hak atas perhidupan yang layak, hak atas pendidikan yang cukup, dan lai sebagainya.
6. Posisi negara dibidang ini adalah negara tidak ikut campur (govermen’s hands-off policy). Semboyan pada waktu itu adalah : Biarkan kami (warga) berjalan kemanapun, tidak perlu dicampuri.   Posisi negara tidak lagi angkat tangan atau tidak turut campur, tetapi turun tangan atau memfasilitasi dan memberdayakan kehidupan warganya.
7. HAM berlaku sejagat, univesal (universalism). Bahkan dipahami bahwa apa yang baik bagi eropa atau amerika, pasti bagi bangsa lain.

Sekarang muncul paham pluralisme

(pluralism) dan partikular

(particularism). Apa yang baik di Eropa belum tentu baik untuk bangsa lain.

Merujuk perkembangan pemikiran tentang konsep di atas, ternyata isu HAM bukanlah sesuatu yang statis, melainkan konsep yang dinamis. Konsep HAM berkembang seiring dengan perkembangan manusia, khususnya dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan, HAM sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, tingkat demokrasi, dan tingkat kemajuan suatu negara.[6] Dalam konteks keindonesiaan, sebagaimana diuraikan berikut ini, konsep HAM kontemporer sesungguhnya menjiwai pengaturan HAM dalam UUD 1945.

B.      Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945

Konsep[7] dan pengaturan HAM dalam UUD 1945 disahkan pada Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR 18 Agustus 2000. Sebelum disahkan, materi tentang hak asasi manusia sudah mulai dibahas sejak tahun 1999. Materi ini pertama kali dibahas dalam Panitia Ad-Hoc (PAH) III Badan Pekerja (BP) MPR. Berikutnya, hasil pembahasan PAH III dilanjutkan PAH I pada rentang waktu 1999-2000. Pembahasan oleh PAH I menghasilkan draf perubahan pasal-pasal mengenai HAM. Rancangan itu kemudian dibawa ke forum Komisi A dalam ST MPR 2000[8] dan kemudian disahkan melalui Rapat Paripurna MPR.

Ketentuan mengenai hak asasi manusia dimuat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari sepuluh pasal. Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,Pasal 28H, Pasal 28I dan Pasal 28J. Sepuluh pasal tersebut terdiri dari 26 ayat. Dari 26 ayat dimaksud, 21 ayat di antaranya mengatur tentang hak, dua ayat mengatur tentang kewajiban, dua ayat menyangkut pembatasan hak, satu ayat pengaturan lebih lanjut terkait jaminan pelaksanaan HAM.

Pertama, ketentuan tentang hak, dari 21 ketentuan terkait hak dapat dibagi lagi atas ketentuan yang mengatur hak individu secara umum, hak yang khusus dimiliki warga negara dan hak kelompok rentan. Dari jumlah itu, ada 18 ketentuan terkait hak individu, satu ketentuan khusus untuk warga negara dan dua ketentuan terkait kelompok khusus, yaitu anak dan masyarakat tradisional. Hak yang bersifat individual adalah hak setiap individu manusia. Hak ini dalam konstitusi dirumuskan dengan kalimat “setiap orang”. Setiap orang berarti siapa saja. Tindak pandang apakah warga negara Indonesia atau bukan. Sepanjang dia manusia dan hidup di Indonesia, maka UUD 1945 mengakui dan menjamin keberadaan dan kelangsungan hak asasinya. Rumusan serupa juga ditemukan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai konvensi utama di bidang hak asasi manusia.

Hal demikian menunjukkan bahwa HAM dalam UUD 1945 merupakan hak-hak yang juga diakui secara universal. Selain itu, dengan rumusan hak yang begitu terbuka, UUD 1945 secara prinsip mengadopsi semangat bahwa HAM memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berlaku universal.[9] Hak (individu) yang diatur dalam UUD 1945 sama dengan hak yang diatur dan dipersepsikan oleh dunia. Hak yang terkategori sebagai hak individu yang diatur dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut :

  1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper tahankan hidup dan kehidupannya.10
  2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut kan keturunan melalui perkawinan yang sah.[10]
  3. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pem en uhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidika n dan mempero leh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese jaht eraan umat manusia.[11]
  4. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem perjuangkan haknya secara kolektif untuk memb an gun mas yar akat, bangsa dan negaranya.[12]
  5. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlind unga n, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapa n hukum.[13]
  6. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbala n dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[14]
  7. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.[15]
  8. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menur ut aga manya, memilih pendidikan dan pengajaran, me milih peker jaan, memilih kewarganegaraan, memilih temp at tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.[16]
  9. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercay aan, men yat akan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.[17]
  10. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkump ul, dan mengeluarkan pendapat.[18]
  11. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mempero leh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingk ungan sosialn ya serta berhak untuk mencari, memp ero leh, memiliki, menyimp an, mengolah, dan menyamp aik an informasi dengan menggun akan segala jenis saluran yang tersedia.20
  12. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, kel uarg a, keh orm atan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua saannya, serta berhak atas rasa aman dan perl indungan dari anc aman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.[19]
  13. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem peroleh suaka politik dari negara lain.[20]
  14. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan keseh atan.[21]
  15. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlak ua n khu sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.[22]
  16. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungk inkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manus ia yang bermartabat.[23]
  17. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewen ang-wenang oleh siapapun.[24]
  18. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskrim inatif atas dasar apapun dan berhak mendapatk an perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat disk rim in atif itu.[25]

Adapun ketentuan terkait hak yang diakui khusus bagi warga negara merupakan hak yang tidak berlaku bagi siapa saja seperti hak yang bersifat individual, melainkan hanya diakui sebagai hak individu yang berstatus warga negara saja. Hak ini tidak berlaku umum. Hak ini hanya dimiliki individu yang memenuhi kuali ikasi tertentu, yaitu sebagai warga negara Indonesia. Hak dimaksud adalah hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.[26]

Sedangkan hak terkait kelompok khusus merupakan hak bagi kelompok yang “dikhususkannya” oleh UUD 1945. Disebut kelompok khusus, karena UUD 1945 mengaturnya secara tersendiri dengan istilah tersendiri pula. Sekalipun sudah ada ketentuan terkait hak yang serupa, namun UUD 1945 tetap mengaturnya secara tersendiri. Contohnya hak anak atas kelangsungan hidup. Hak ini diatur secara khusus dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945. Padahal pada Pasal 28A UUD 1945 telah mengatur tentang hak setiap orang untuk hidup (setiap orang berarti juga termasuk anak, karena anak juga merupakan orang). Hal itu menandakan bahwa UUD 1945 memberikan perhatian khusus terhadap anak. Sebab, anak merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.

Selain anak, kelompok yang juga mendapatkan perhatian khusus dalam UUD 1945 adalah masyarakat tradisional masyarakat hukum adat. Pengakuan hak masyarakat adat atau indegenous people merupakan konsekuensi dari bahwa Indonesia adalah Negara yang multi-etnik, multi-kultur, multi-agama, dan multi-bahasa.[27] Jaminan penghormatan hak masyarakat tradisional diatur dalam Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Kedua, ketentuan terkait kewajiban dalam konteks hak asasi manusia, terdapat dua ayat yang mengaturnya dalam UUD 1945, yaitu :

  1. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, teru tama pemerintah.[28]
  2. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber negara.[29]

Apa yang diatur dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 sebagaimana pada poin satu di atas merupakan ketentuan yang berkenaan dengan kewajiban dalam konteks hak asasi manusia. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan kewajiban negara. Oleh karena itu, negara terutama pemerintah wajib melaksanakannya. Ada empat kewajiban yang dibebankan kepada negara terkait hak asasi manusia, yaitu: melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia.

Selain negara, juga ada pihak lain yang dibebani kewajiban terkait hak asasi manusia, yaitu individu. Berbeda dengan negara, individu hanya dibebani kewajiban untuk menghormati HAM orang lain. Sesuai dengan Pasal 28J Ayat (1), individu tentunya tidak dibebani kewajiban-kewajiban lain sebagaimana yang dibebankan kepada negara melalui Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Ketiga, ketentuan terkait pembatasan hak. Selain mengatur pengakuan terhadap HAM, UUD 1945 juga mengatur tentang pembatasan hak. Terdapat dua ayat terkait pembatasan hak, yaitu:

  1. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan den gan undang-undang dengan maksud semata-mata un tuk menjamin penga kuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimb angan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[30]
  2. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.[31]

Ketentuan pada poin satu di atas dimuat dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang atau setiap individu bukan tanpa batas. Melainkan bahwa hak seseorang hanya bebas dimiliki dan dilaksanakan sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. Adapun maksud pembatasan hak hanyalah sebatas untuk menjamin agar pelaksanaan kebebasan seseorang tidak berbenturan dengan pelaksanaan hak kebebasan manusia lainnya. Itu berarti bahwa pembatasan hak untuk maksud selain itu, sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Pembatasan hak sebagaimana dimaksud Pasal 28J Ayat (2) merupakan otoritas negara. Hanya saja, terdapat ketentuan yang mengatur bahwa ada sejumlah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Artinya negara tidak dapat menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum,[32] termasuk keadaan darurat sekalipun.35 Sebab, hak-hak ini memiliki sifat absolut.[33] Hak tersebut merupakan HAM minimal yang tidak boleh dilanggar dalam kondisi apapun (non derogable).[34] Hak-hak itulah yang diatur dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana terdapat pada poin dua di atas.

Keempat, ketentuan tentang pengaturan lebih lanjut terkait jaminan pelaksanaan hak asasi manusia. Terdapat satu ayat pada Bab Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 yang memberi mandat kepada peraturan perundangundangan untuk mengatur pelaksanaan hak asasi manusia. Pengaturan itu dimaksudkan agar pelaksaan hak asasi manudsia dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikonstruksi sebuah konsep bahwa terdapat subjek yang bertindak selaku pemangku kewajiban dan subjek yang bertindak sebagai pemangku hak dalam konteks hukum hak asasi manusia. Pemangku kewajiban menurut UUD 1945 adalah negara dan individu. Negara dan individu memiliki beban kewajiban yang berbeda. Sebagai subjek, negara menjalankan kewajiban sebagaimana diatur Pasal 28I Ayat (4), sedangkan individu menjalankan kewajiban sebagaimana termuat dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.

Kewajiban negara yang ditegaskan Pasal 28I Ayat (4) adalah berkenaan dengan kewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, peradilan dan praktis yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin.38 Artinya semua lembagalembaga yang menjalankan fungsi negara memiliki beban tanggung jawab atas terselenggaranya penghormatan, penegakan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia.

Selain negara dan individu, yang juga bertindak sebagai pemangku kewajiban dalam HAM adalah korporasi multinasional. Masuknya korporasi multinasional sebagai pemangku kewajiban karena berbagai kebijakan negara di bidang ekonomi tidak saja sepenuhnya dibuat oleh negara, melainkan dibuat bersama atau atas instruksi dan pengaruh lembaga dana internasional dan kepntingan investasi perusahaan multinasional.[35] Adapun pemangku hak adalah individu dan kelompok khusus. Setiap individu merupakan pemangku hak atas segala hak yang dijamin dalam UUD 1945. Begitu juga dengan kelompok khusus seperti masyarakat hukum adat juga bertindak sebagai pemangku hak seperti dijamin dalam Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945.

C. Judicial Review Sebagai Salah Satu Mekanisme Perlindungan HAM

UUD 1945 telah memberikan pengakuan dan jaminan atas HAM. Pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan: bagaimanakah memberikan jaminan agar hak-hak tersebut tidak dilanggar?[36] Pertanyaan ini menjadi penting karena HAM yang dilindungi secara konstitusional melalui UUD 1945 akan dapat dilanggar karena alasan dan kepentingan tertentu, terutama terkait dengan kepentingan politik jangka pendek pembentuk undang-undang. Terkait kekawatiran tersebut Jeremy Waldron dalam The Dignity of Legislation menegaskan that legislation and legislatures have a bad name in legal and political philosopy, a name sufϔiciently disreputable to cast doubt on their credentials as respectable source of law.41

Khusus terkait pelanggaran dalam bentuk kelalaian, berbagai regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan negara berpuang besar untuk itu. Peraturan perundang-undang yang dibuat baik oleh primary legislator, dalam hal ini DPR dan pemerintah (berupa undang-undang), maupun secondary legislator tidak selalu peka terhadap HAM. Terkadang kebijakan dikeluarkan secara sewenang-wenang, sehingga berpotensi untuk terjadinya pelanggar hak asasi manusia. Terhadap kemungkinan pelanggaran melalui kebijakan atau regulasi, UUD 1945 memberikan ruang bagi setiap warga negara yang merasa haknya dilanggar untuk menggujinya melalui mekanisme judicial review kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Dalam UUD 1945 peluang untuk mengajukan judicial review diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Pasal 24A ayat (1). Masing-masing ketentuan berbunyi sebagai berikut :

  1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat ϔinal untuk menguji undangundang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

  1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) memiliki hak atau wewenang untuk melakukan uji materil terhadap peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, Sri Soemantri mengemukakan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan pera-turan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[37] Mekanisme uji materil diyakini akan mampu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan checks and balances antar cabang kekuasaan negara. Selain itu, judicial review menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) pembentuk undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang.43 Sebab, hak judicial review yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk mengontrol kekuasaan legislatif, Presiden dan DPD.[38] Selain itu, yang jauh lebih penting adalah menjaga agar produk peraturan perundang-undangan tidak menyimpang dari UUD 1945[39] atau supaya hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 tetap terlindungi.

D.     Mahkamah Konstitusi dan Perlindungan HAM

Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus ada paham konstitusionalisme, di mana tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.46 Untuk memastikan tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD, maka salah satu jalan yang ditempuh adalah memberikan wewenang atau hak uji materil kepada lembaga kekuasaan kehakiman. Apabila warga negara, baik perorangan maupun komunitas atau badan hukum yang merasa atau menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya undang-undang, mereka dapat mengajukan pengujian atas undang-undang yang bersangkutan kepada Mahkamah Konstitusi.[40] Khusus untuk perorangan warga negara dan kesatuan masyarakat hukum adat, mekanisme uji materil juga ditujukan untuk menjamin terlindunginya HAM yang dijamin UUD 1945.

Beberapa putusan MK dapat dijadikan bukti untuk menilai bahwa uji materil yang dilakukan MK adalah untuk melindungi dan memajukan HAM di antaranya: (1) Putusan No 011-017/PUU-VIII/2003 tentang pengujian UndangUndang No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Putusan No 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; (3) Putusan No 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (4) Putusan No 27/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pertama, hak untuk memajukan diri, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif merupakan HAM yang dijamin dan dilindungi melalui Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Sementara, melalui ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang No 12 Tahun 2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi terlarang lainnya, hak-hak asasi yang dijamin UUD 1945 di atas justru dilanggar.

Di sini, putusan MK menyatakan tindakan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik tidak dibenarkan.[41] Dalam ranah sipil dan politik, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga Negara.[42] Atas dasar pertimbangan tersebut, MK menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan putusan tersebut, hak warga negara yang dicap pernah terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI telah dipulihkan. Putusan MK ini dinilai sebagai sebuah tonggak baru dalam sejarah Indonesia yang bisa jadi akan memiliki implikasi-implikasi luas bagi masa depan demokrasi di Indonesia.[43] Tidak hanya itu, salah satu hal penting dari putusan ini menurut Todung Mulya Lubis, MK berjaya keluar dari pertimbangan politis dengan menggunakan argumen-argumen dan penjelasan pasal-pasal HAM yang dimuat dalam standar dan norma domestik dan internasional.[44]    

Kedua, hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak untuk memiliki hak milik pribadi, hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi merupakan hak yang diakui dan dijamin dalam Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (4) dan Pasal 28 F UUD 1945. Sementara itu, Pasal 30 Ayat (3) huruf c UndangUndang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan “Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: pengawasan peredaran barang cetakan”.

Atas dasar ketentuan itu, pejabat berwenang diberikan otoritas untuk memprediksi sesuatu sebagai hal yang berpotensi meresahkan masyarakat dan atau berpotensi mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.[45] Sehingga, Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang diberikan otoritas pun telah melarang beredarnya Buku Enam Jalan Menuju Tuhan.[46] Kewenangan larangan peredaran buku sebagai langkah preventif ini cenderung hanya bersifat prediktif bahkan ramalan, karena tidak memiliki parameter objektif sebagai rambu-rambu agar kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dasar yang ada di UUD 1945. Prediksi yang memperkirakan keresahan dapat timbul di masyarakat akibat peredaran buku tersebut, tidak serta merta menjadi alasan pembenar untuk merugikan hak konstitusional warga negara.[47] Sehingga kewenangan itu menimbulkan kesewenang-wenangan[48] dan pelanggaran terhadap HAM.

Dalam pertimbangannya, MK menilai, pelarangan pengedaran bukubuku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.56 Selain itu, pemberian kewenangan untuk melakukan pelarangan atas sesuatu yang merupakan pembatasan hak asasi tanpa melalui due process of law, jelas tidak termasuk dalam pengertian pembatasan kebebasan seperti yang dimaksud Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.[49] Menurut MK, pengawasan atas peredaran barang cetakan dapat dilakukan Kejaksaan melalui upaya penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan sesuai dengan due process of law, yang berujung pada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang kemudian dieksekusi kejaksaan.[50] Atas dasar pertimbangan itu, MK menyatakan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang No 16/ 2004 tentang Kejaksaan RI bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan putusan tersebut, hak seseorang untuk bebas mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi sebagaimana dijamin UUD 1945 telah dijaga dan dilindungi dari penyelenggaraan kekuasaan negara secara sewenang-wenang.

Ketiga, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup dijamin dan dilindungi dengan instrumen Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Dari jaminan konstitusional dimaksud, maka setiap orang berhak mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya pembatasan terhadak hak ini. Sementara, Pasal 21[51] dan dan Pasal 47 Ayat (1)[52] dan (2)[53] Undang-Undang No 18/2004 tentang Perkebunan dinilai memiliki rumusan yang luas dan telah membatasi HAM untuk mengembangkan diri, dalam rangka memenuhi basic needs sebagai manusia.[54]

Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan Pasal 21 yang diikuti dengan Pasal 47 Undang-Undang Perkebunan sangat luas dan tidak terbatas. Rumusan pasal tersebut tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang potensial melanggar hak-hak konstitusional warga negara.63 Pertimbangan di atas, MK menyatakan Pasal 21 beserta penjelasannya dan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Keempat, UUD 1945 menjamin hak setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 juga memperkuat keberadaan hak tersebut dengan menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Sementara dalam pelaksanaannya, Pemerintah dan DPR justru menerbitkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana beberapa ketentuan Undang-Undang dimaksud dinilai telah melanggar hak konstitusional yang dimuat dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945. Ketentuan yang dimaksud adalah : Pasal 29 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8); Pasal 64; Pasal 65 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan(9); Pasal 66 Ayat (1), (2), (3) dan (4). Pada pokoknya, ketentuan tersebut mengatur tentang sistem outsourcing. Sistem ini menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.[55]

Dalam permohonan ini, MK berpendapat, ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan terancamnya hak setiap orang dan hak-hak pekerja yang dijamin konstitusi.[56] Untuk itu, MK memutuskan bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 Ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 Ayat (2) huruf b Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.[57]

Kasus-kasus uji materil di atas merupakan contoh nyata di mana dalam proses pembuatan sebuah undang-undang, para pembuatnya tidak luput dari kesalahan. Bisa jadi kesalahan itu karena sesuatu yang disengaja atas dorongan kepentingan tertentu atau bisa jadi kesalahan dimaksudm merupakan kelalaian pembuat undang-undang. Idealnya, kesalahan yang berakibat terlanggarnya hak asasi manusia semestinya tidak terjadi. Namun praktik yang terjadi membukti bahwa kesalahan tersebut banyak terjadi. Karena itu pentingnya keberadaan mekanisme uji materiil yang dilaksanakan MK.

Selain itu, dari contoh di atas, terlihat bahwa MK tidak saja bertindak sebagai lembaga pengawal konstitusi (guardian of the constitution), melainkan juga sebagai lembaga pengawal tegaknya HAM. Melalui kewenangan uji materil yang dimilikinya, MK tampil sebagai lembaga penegak hukum yang mengawal berjalannya kekuasaan negara agar tidak terjebak pada tindakan sewenang-wenang dan melanggar HAM.

PENUTUP

Secara normatif, UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah meletakkan konsep perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia secara lebih memadai. Terlepas dari kelemahan yang mungkin masih terdapat di dalamnya, setidaknya keberadaan pasal-pasal tentang HAM dalam UUD 1945 membuktikan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berkomitmen mengakui dan menghormati HAM.

Untuk memastikan terjamin dan terlindunginya hak asasi manusia, UUD 1945 memberikan kewenangan uji materil kepada MK. Dengan kewenangan dimaksud, potensi atau pelanggaran HAM melalui kebijakan yang dikeluarkan negara dapat diawasi dan diselesaikan dan HAM dapat dilindungi.

DAFTAR BACAAN

Buku Informasi (Seri ke-4), Kompilasi Rekomendasi Terhadap Indonesia oleh Mekanisme HAM PBB (Treaty Bodies, Special Procedures, Universal Periodic Review), Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung.

Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: Rajawali Pers.

Kasim, Ifdhal, 2011, Hak Sipil dan Politik Esai-esai Pilihan (Buku I), Jakarta: ELSAM.

K. Harman, Benny & Hendardi (Ed), 1991, Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, Jakarta: JARIM dan YLBHI.

Lubis, Todung Mulya, 2005, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,.

---------------------------, 2004, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 11-17/

PUU-I/2003 dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dalam Jurnal Konstitusi, vol 1 no 1, Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2011, Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Nasution, Adnan Buyung, 2011, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Nowak, Manfred, 2003, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law kerjasama dengan Departemen Hukum dan HAM Indonesia.

Soemantri, Sri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni.

Seri Bahan Bacaan Kursus HAM, 2009, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: ELSAM.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,

2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 19992002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama (Edisi Revisi), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Waldron, Jeremy, 1999, The Dignity of Legislation, Cambridge University Press.

 


[1] Tulisan ini pernah disampaikan di Seminar Internasional “Comparative Study on Constitution of Indonesia and Malaysia : Human Rights Discourses”, diadakah oleh Fakultas Hukum Universitas Eka Sakti, Padang, 2 Juli 2012.

[2] Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law kerjasama dengan Departemen Hukum dan HAM Indonesia, 2003,h. 15

[3] Ibid.

[4] Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011, h. 166

[5] Sebagian gagasan perbandingan pemikiran ini dikembangkan dari poin-poin Kuliah Umum Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, dalam Kursus Hak Asasi Manusia Untuk Pengacara Angkatan XIII yang diselenggarakan ELSAM bekerjasama dengan Legal Development Facility,2009.

[6] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit., h. 166

[7] Secara etimologi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep diartikan sebagai ide atau pengertian yang diabstaksikan dari peristiwa konkrit atau gambaran dari objek, proses atau apapun yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam “The classical theory of concepts” menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol (http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep, diunduh 29/6-2012). Dalam hubungannya dengan konsep hak asasi manusia, berarti abstraksi tentang hak asasi manusia. Gambaran tentang subjek, objek, pengaturan dan proses tegak dan dihormatinya hak asasi manusia.

[8] Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi

Manusia, dan Agama (Edisi Revisi), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 8

[9] Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2011, h. 7 10                                         Pasal 28A UUD 1945.

[10] Pasal 28B ayat (1) UUD 1945

[11] Pasal 28C ayat (1) UUD 1945

[12] Pasal 28C ayat (2) UUD 1945

[13] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

[14] Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

[15] Pasal 28E ayat (4) UUD 1945

[16] Pasal 28E ayat (1) UUD 1945

[17] Pasal 28E ayat (2) UUD 1945

[18] Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 20   Pasal 28F UUD 1945.

[19] Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

[20] Pasal 28G ayat (2) UUD 1945

[21] Pasal 28H ayat (1) UUD 1945

[22] Pasal 28H ayat (2) UUD 1945

[23] Pasal 28H ayat (3) UUD 1945

[24] Pasal 28H ayat (4) UUD 1945

[25] Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

[26] Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

[27] Buku Informasi (Seri ke-4), Kompilasi Rekomendasi Terhadap Indonesia oleh Mekanisme HAM PBB (Treaty Bodies, Special Procedures, Universal Periodic Review), Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, h. 241

[28] Pasal 28I ayat (4) UUD 1945

[29] Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945

[30] Pasal 28J UUD 1945.

[31] Pasal 28I ayat (1) UUD 1945

[32] Seri Bahan Bacaan Kursus HAM, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: ELSAM, 2009, h. 41 35                                     Manfred Nowak, Op.cit,.h. 62

[33] Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik Esai-esai Pilihan (Buku I), Jakarta: ELSAM, 2001, h.xii

[34] Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, h. 190 38        Manfred Nowak, Op.cit,.h. 51

[35] Seri Bahan Bacaan Kursus HAM, Op.cit., h. 55

[36] Pelanggaran HAM didefenisikan sebagai suatu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang termuat dalam konstitusi dan instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Apabila negara tidak melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, maka negara bersangkutan dapat dikategorikan telah melaku-kan pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran HAM dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, dilakukan dengan perbuatannya sendiri (act by commission). Kedua, terjadi karena kelalaiannya sendiri (act by ommission). Pelanggaran dalam bentuk perbuatan dilakukan oleh negara melalui aparatnya. Sedangkan pelanggaran dalam bentuk kelalaian dilakukan negara melalui kebijakan yang dibuatnya. 41 Jeremy Waldron, The Dignity of Legislation, Cambridge University Press, 1999, h. 1.

[37] Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1997, h. 11 43                    Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 311.

[38] Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007, h. 385

[39] Beni K. Harman & Hendardi (Ed), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, Jakarta: JARIM dan YLBHI, 1991, h. 40-41 46                      Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit., h. 153

[40] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 51

[41] Putusan Nomor 011-017/PUU_VIII/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, h. 33

[42] Ibid., h. 35

[43] Denny Indrayana, Op. Cit., h. 383

[44] Todung Mulya Lubis, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 11-17/PUU-I/2003 dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dalam Jurnal Konstitusi, vol 1 no 12004, h. 19.

[45] Putusan Nomor 6-13-20/PUU_VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, h. 12

[46] Ibid.

[47] Ibid.

[48] Ibid. 56 Ibid., h. 242

[49] Ibid.

[50] Ibid., h. 245-246

[51] Pasal 21 UU Perkebunan menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”

[52] Pasal 47 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”;

[53] Pasal 47 ayat (2) menyatakan “Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”,

[54] Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, h. 27 63 Ibid., h. 104

[55] Ibid., h. 7-8

[56] Ibid., h. 41

[57] Ibid., h. 46-47

Add a comment

TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

  • Cetak
  • E-mail
Detail
Kategori: makalah
Ditayangkan: Jumat, 15 Maret 2019 09:41
Ditulis oleh Administrator
Dilihat: 44578

TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 

[1]

(Authority Connectivity of Supreme Court and Constitutional Court)

Saldi Isra

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo)

Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Abstrak

Percampuran kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada terjadinya ketidakpastian hukum. Berkaitan dengan kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan misalnya, meski Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan, namun dengan berbedanya jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan Perundang-undangan yang dilakukan dua lembaga tersebut mesti tunduk pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebab, validitas norma adalah bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi hakim agung di Mahkamah Agung dan hakim-hakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Kata kunci : Wewenang, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung

 

Abstract

The mixing of authority between the Constitutional Court and the Supreme Court has raised a range of issues. In turn, there is the contact authority of the two institutions which could lead to the occurrence of legal uncertainty. In connection with the authority testing regulations, for example, although the Supreme Court and the Constitutional Court have the same right to test the legislation, but with different types and hierarchy of legislation being tested, then the interpretation of the rules of the legislation for which they were these institutions must be subject to a hierarchical system of laws and regulations that apply. Therefore, the validity of the norm is derived from the legislation is higher. Moreover, any decision of the judicial review of the UUD, this decision is erga omnes, including for judges of the Supreme Court and judges of the court under the Supreme Court.

Keywords : Authority, Constitutional Court, Supreme Court

 

Pendahuluan

Pascaperubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman tidak lagi dilaksanakan oleh satu lembaga negara, melainkan oleh dua mahkamah, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal itu secara tegas dinyatakan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pilihan ini sebetulnya mirip dengan apa yang dilakukan oleh 78 negara lainnya di dunia. Dimana, selain Mahkamah Agung (Supreme Court) dibentuk mahkamah yang berdiri sendiri[2] yang secara umum diberi nama Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Dengan demikian, kekuasaan kehakiman akan dilaksanakan oleh dua mahkamah secara bersamaan.

Diselenggarakannya satu cabang kekuasaan oleh dua institusi yang berbeda setidaknya akan menimbulkan dua dampak. Di satu sisi, kekuasaan tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif, di mana antara dua institusi pelaku kekuasaan sama-sama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik tanpa mengalami persinggungan kewenangan yang dapat menimbulkan persoalan. Di lain sisi, pelaksanaan satu kekuasaan oleh dua atau beberapa institusi potensial terjadinya tumpang tindih kewenangan, atau setidak-tidaknya akan muncul pesinggungan kewenangan yang dapat berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan kekuasaan dimaksud.

Idealnya, pembagian kewenangan dalam rangka melakukan satu kekuasaan kepada dua institusi berbeda mesti diikuti dengan pemberian batas demarkasi kewenangan yang jelas. Dimana, kewenangan institusi yang satu dibedakan secara pasti dengan kewenangan lembaga yang lainnya. Sehubungan dengan itu, pembagian kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan yudikatif secara konseptual dapat dibelah menjadi dua bagian, yaitu mahkamah sistem hukum (court of law) dan mahkamah keadilan

(court of justice). Di mana, dengan pembelahan seperti itu diyakini akan mampu menghindari terjadinya benturan antar kedua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan pembelahan semacam itu, institusi pelaku kekuasaan kehakiman diidealkan akan fokus pada bidang kewenananganya masing-masing. Secara bersamaan, benturan dalam pelaksanaan kewenangan tidak akan terjadi atau setidak-tidaknya dapat dihindari sedemikian rupa.

Hanya saja, membaca desain yang ada, UUD 1945 ternyata tidak menganut pembelahan kewenangan seperti itu pada saat munculnya ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, UUD 1945 tidak menempatkan dua fungsi kekuasaan kehakiman kepada dua lembaga (MA dan MK) secara terpisah. Padahal, dari sudut pandang teoretik, kehadiran Mahkamah Konstitusi diidealkan sebagai mahkamah sistem hukum (court of law).[3] Sedangkan

Mahkamah Agung tetap dengan kedudukannya sebagai mahkamah keadilan

(court of justice).[4]

Hanya saja, dengan kewenangan yang dimiliki sesuai Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, MK tidak hanya bertindak sebagai court of law, melainkan juga court of justice, seperti memutus sengketa/perselisihan hasil pemilihan umum. Sementara di lain pihak, Mahkamah Agung juga tidak sepenuhnya diletakkan pada posisi sebagai court of justice. Sebab, MA juga melakukan judicial review yang merupakan ranah court of law terhadap peraturan Perundang-undangan meski dibatasi untuk peraturan perundangundangan di bawah UndangUndang. Di mana berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Jika hendak menempatkan MA dan MK sebagai dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dengan persinggungan kewenangan yang sangat tipis, tentunya kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan sepenuhnya mesti diberikan kepada MK, sedangkan penyelesaian sengketa seperti sengketa hasil pemilihan umum sebagai bagian dari kerja court of justice sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian kewenangan demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial memunculkan masalah dalam pelaksanaannya tidak akan terjadi.

Pada kenyataannya, “percampuran” kewenangan antara MK dan MA telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada terjadinya ketidakpastian hukum. Atas dasar itu pula muncul berbagai pertanyaan terkait persinggungan kewenangan dan jalan penyelesaiannya, terutama kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial review). Pertanyaan dimaksud adalah:

Pertama, apakah ratio legis ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi?

Kedua, dalam hal Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang menyangkut tentang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa suatu Undang-Undang tidak sah karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, apakah putusan tersebut secara juridis mengikat terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya?

Ketiga, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terhadap rumusan dalam suatu Undang-Undang, maka penafsiran manakah yang secara juridis harus dipedomani oleh pencari keadilan?

Semua pertanyaan di atas akan dijawab menggunakan pendekatan peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian peraturan Perundang-undangan terhadap peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Kewenangan MA dan MK dalam Judicial Review

Sebagaimana disinggung sebelumnya, MA dan MK mempunyai kewenangan yang berbeda, namun kewenangan tersebut saling bersinggungan. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan (3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UndangUndang.

Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, bahwa MK berwenang: (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Sesuai ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, MA berwenang untuk menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sementara berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar. Merujuk ketentuan tersebut, penggunaan wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial review) menjadi salah satu titik singgung yang mempertemukan kewenangan MA dengan kewenangan MK. Hal itu sangat mungkin terjadi pada ketika seseorang mengajukan permohonan pengujian peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang pada Mahkamah Agung. Dimana, pada saat bersamaan, Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam pengujian di Mahkamah Agung juga diajukan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi.

Pengalaman yang pernah terjadi misalnya, pada Tahun 2009, Zainal Maarif dan kawan-kawan mengajukan permohonan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Propinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009 kepada Mahkamah Agung melalui Perkara Nomor 15 P/HUM/2009.

Dalam perkara tersebut Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 22 huruf c dan pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.[5] Pada tanggal 18 Juni 2009, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan terhadap perkara uji materil (judicial review) tersebut, di mana, MA menyatakan permohon dimaksud beralasan hukum dan dikabulkan.[6] Sebab, Pasal 22 huruf c dan pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 dinilai bertentangan dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Legislatif. Akibat putusan tersebut, Partai politik yang perolehan suaranya tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) tidak akan dihitung sebagai suara sisa dan tidak akan mendapatkan perolehan kursi.

Akibat putusan pengujian Peraturan KPU tersebut, sejumlah partai politik dan caleg[7] mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 205 dan Pasal 212 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD kepada Mahkamah Konstitusi. Sebab, kedua ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut dianggap multitafsir, terutama dalam kaitannya untuk mengimplementasikan sistem proporsional yang dianut Undang-Undang Pemilu, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.[8] Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 dan Pasal 212 Undang-Undang No 10 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)[9] sepanjang dimaknai bahwa suara partai partai politik yang tidak memenuhi angka BPP tetap dihitung sebagai suara sisa dan diikutkan dalam pembagian perolehan kursi DPR dan DPRD.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa hubungan kewenangan MA dan MK dalam pengujian peraturan Perundang-undangan sangat rapat. Di mana, pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak dapat dilepaskan dari kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal itu merupakan konsekuensi dari sistem hierarkis peraturan Perundang-undangan Indonesia. Di mana, norma yang lebih rendah bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi sesuai konsep stufentheorie yang dibangun oleh Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky. Kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan, baik yang dimiliki MA maupun MK adalah dalam rangka mempertahankan dan menegakkan prinsip norma yang hierarkis tersebut.[10]

Dalam konsep hierarkis dimaksud, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan Perundangundangan terdiri atas :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kekuatan hukum dari tujuh jenis peraturan Perundang-undangan di atas adalah sesuai dengan hierarkinya masing-masing.[11] Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan, yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dapat dipahami bahwa kekuatan hukum sebuah Undang-Undang adalah kesesuaiannya atau ketidakbertentangannya dengan Undang-Undang Dasar. Demikian juga dengan peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, kekuatan hukum berlakunya tergantung pada kesesuaiannya dengan Undang-Undang.

Sepanjang peraturan Perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (yang puncaknya adalah UUD 1945 sebagai hukum dasar atau hukum tertinggi), maka peraturan tersebut sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Sebaliknya, apabila bertentangan, maka dapat dibatalkan atau menjadi batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Hal itu juga dikuatkan dengan apa yang pernah dikemukan Alexander Hamilton, bahwa: a constitution is, in fact, and must be regarded by the judges as, a fundamental law. It therefore belongs to them to ascertain meaning as well as the meaning of any particular act proceeding from the legislative body. If there should happen to be an irreconcilable variance between the two, that which has seperior obligation and validity ought, of course, to be preferred; or in other words, the Constitution ought to be preferred to the statute, the intention of the people to the intentions of their agents.[12]

Dalam kerangka hubungan hierakis antara peraturan Perundangundangan yang satu dengan yang lain inilah hubungan MA dan MK dibangun. Di mana, MK berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Dalam konteks ini, MK memiliki wewenang konstitusional untuk menafsirkan UUD 1945 dalam rangka menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Dalam hal ini, proses pengujian yang dilakukan MA akan sangat bergantung pada bagaimana panafsiran MK terhadap Undang-Undang Dasar dalam menguji Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Dengan hubungan kewenangan yang seperti itu, ruang perbedaan pandangan antara MA dan MK terbuka lebar. Sebab, sangat mungkin terjadi kondisi di mana hakim agung dalam melakukan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak sejalan dengan penafsiran konstitusi oleh MK dalam menguji UndangUndang yang dijadikan MA sebagai batu uji.

Secara normatif, persoalan tersebut sebetulnya terjawab dengan keberadaan Pasal 55 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 yang menyatakan, pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila UndangUndang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan ketentuan tersebut, hasil pengujian peraturan Perundangundangan oleh MA akan sangat bergantung pada hasil pengujian peraturan perundangundangan yang lebih tinggi oleh MK. Selain itu, sesuai ketentuan tersebut, kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan putusan MK dalam pengujian peraturan Perundang-undangan dapat diatasi dengan merujuk pada pembagian kewenangan judicial review yang dimiliki dua mahkamah tersebut.

 

Lingkup Keberlakuan Putusan Pengujian UU Oleh MK

Dengan persinggungan kewenangan pengujian peraturan perundangundangan antara MA dan MK sebagaimana telah diulas sebelumnya, berikut akan diuraikan tentang daya berlaku dan daya jangkau putusan pengujian Undang-Undang yang dilakukan MK. Secara lebih khusus, apakah putusan MK tersebut secara yuridis juga mengikat terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya?

Jawaban atas pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sesuai ketentuan tersebut, putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi adalah final. Dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dijelaskan, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Dengan demikian, apabila MK melalui putusan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang menyatakan : materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejak saat itu, putusan tersebut bersifat final. Sehingga norma yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak lagi dapat dijadikan dasar hukum untuk mengambil tindakan atau putusan. Pertanyaan selanjutnya, apakah putusan bersifat final tersebut hanya mengikat pembentuk Undang-Undang atau mengikat semua pihak, termasuk Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung?

Terkait siapa saja addresat putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Thomas Gawron dan Ralf Ragowski pernah mengemukan, in our view, it is important... to distinguish between effect of the court according to addresees and to look for specific arena of implementation... five main addressees, respectively arenas of implementation, can be distinguished : legislative arena, the judicial arena, the administrative arena, the arena involving associations and political parties, and the private arena involving establishments and citizens.[13]

Mengikuti pendapat Thomas Gawron di atas, addresat putusan pengujian peraturan Perundang-undangan adalah semua pihak (umum), di mana lembaga peradilan termasuk salah satunya. Sejalan dengan itu, Marurar Siahaan juga penah mengemukakan, putusan pengujian UndangUndang oleh hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara umum baik terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara. Akibatnya, semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak lagi menerapkan hukum yang telah dibatalkan.[14] Dengan demikian, sifat erga omnes putusan MK mengikat semua orang, termasuk pejabat dan otoritas publik atau lembaga negara, oleh karenanya putusan tersebut mesti dijadikan acuan atau rujukan dalam memperlakukan hak dan kewenangannya.[15] Sejalan dengan itu, Hans Kelsen juga mengemukakan, Undang-Undang yang “tidak konstitusional” tidak dapat diterapkan oleh setiap organ lainnya.[16]

Dalam konteks ini, Mahkamah Agung merupakan salah institusi atau organ negara yang juga terikat pada hasil pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam mengadili suatu perkara, Mahkamah Agung tentu akan mendasarkan proses pemeriksaan dan putusannya pada Undang-Undang tertentu. Dalam konteks itu, jika Undang-Undang yang dijadikan pedoman memeriksa perkara telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung berkewajiban untuk memedomaninya.

Daya keberlakuan putusan MK untuk umum seperti dijelaskan di atas juga dapat dikonfirmasi dengan daya jangkau keberlakuan sebuah Undang-Undang. Di mana, akibat hukum dari pengundangan satu undangundang berlaku sama dalam hal Undang-Undang atau bagian UndangUndang tersebut dibatalkan. Dalam arti, daya berlaku Undang-Undang berbanding lurus dengan daya jangkau ketidakberlakuannya.

Dalam konteks itu, sebagai sebuah produk legislasi, Undang-Undang merupakan salah satu jenis peraturan Perundang-undangan yang berlaku secara umum.[17] Sebuah Undang-Undang berlaku untuk siapapun, baik warga negara maupun penyelenggara negara. Setiap Undang-Undang mesti dipatuhi oleh semua orang dan semua lembaga negara. Keberlakukan Undang-Undang tidak dipilah-pilah melainkan berlaku untuk semua. Dengan demikian, setiap peraturan Perundang-undangan dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap orang 18 atau semua pihak.

Seiring dengan sifat keberlakuan Undang-Undang, maka pada saat Undang-Undang atau bagian dari Undang-Undang tersebut dibatalkan melalui proses pengujian Undang-Undang, maka ketidakberlakukan norma tersebut juga berlaku umum. Ketidakberlakuan Undang-Undang bukan hanya bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang, juga bukan hanya bagi pembentuk Undang-Undang semata, melainkan berlaku untuk semua pihak. Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menghilangkan keberlakuan sebuah norma di dalam Undang-Undang.

Beda Penafsiran Terhadap Undang-Undang, Mana yang Diikuti?

Sebagaimana disinggung di atas, disebabkan sama-sama memiliki kewenangan dalam menguji peraturan Perundang-undangan dan hanya berbeda dalam hal jenis peraturan yang diuji, perbedaan penafsiran antara MA dan MK akan sangat mungkin terjadi. Bila memang betul-betul terjadi, penafsiran manakah yang secara juridis harus dipedomani oleh pencari keadilan?

Pertanyaan tersebut pada dasarnya dapat dijawab dengan sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang dianut dalam Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di mana, MK diberi kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sementara MA diberi kewenangan untuk menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undangundang.

Perbedaan penafsiran antara dua lembaga ini sangat mungkin terjadi ketika hendak menafsirkan Undang-Undang. Sebab, bagi MK undangundang merupakan objek yang diuji terhadap UUD 1945, sedangkan bagi MA Undang-Undang adalah batu uji untuk menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Apabila perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang tersebut benar-benar terjadi, maka yang semestinya diikuti adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, penafsiran Mahkamah Konstitusi didasarkan pada norma konstitusi. Dalam hal ini, sumber validitas penafsiran MK adalah konstitusi. Sementara sumber valitasi penafsiran MA adalah UndangUndang itu sendiri. MA sesuai kewenangan tidak dapat memasuki ranah penafsiran konstitusi. Sebab, itu merupakan ranah kewenangan MK. Oleh karena itu, MA pun mesti tunduk pada penafsiran yang dilakukan MK terhadap UUD 1945 dalam menilai dan menafsirkan sebuah atau bagian Undang-Undang tertentu.

Secara konseptual, MK merupakan lembaga yang diberikan otoritas oleh konstitusi bertindak sebagai organ yang menjalankan pengawasan terhadap Undang-Undang, di mana lembaga ini dapat saja menghapus sepenuhnya Undang-Undang yang tidak konstitusional.[18] Dalam kapasitas seperti itu, Bishop Hoadly sebagaimana dikutip Kelsen pernah mengatakan:

Whoever hath an absolute authority to interpret any written or spoken laws, it is he who is truly the law-giver to all intents and puposes, and not the person who first wrote or spoken them: a fortiori, whoever hath an absolute authority not only to interpret the Law, but to say what the Law is, is truly the Law-giver. (barangsiapa mempunyai wewenang absolut untuk menafsirkan hukum tertulis atau tidak tertulis, maka dialah orang yang sesungguhnya pemberi makna hukum kepada semua maksud dan tujuan hukum tersebut, dan bukan orang yang pertama kali menuliskannya atau mengucapkannya; lebih tegas lagi barangsiapa mempunyai wewenang absolut bukan hanya untuk menafsirkan hukum, tetapi juga untuk mendefenisikan hukum, maka dialah sesungguhnya pemberi makna hukum)[19]

Apabila pendapat tersebut disandingkan dengan norma Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan otoritas yang memiliki kewenangan konstitusional untuk bertindak sebagai penafsir konstitusi. Dalam konteks itu, MK merupakan lembaga yang sesungguhnya berwenang memberi makna terhadap UndangUndang sebagai hukum. Posisi MK sebagai penafsir konstitusi sekaligus sebagai lembaga yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, --di mana penafsiran MK-lah yang mesti dipedomani ketika terjadi perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang)-, juga dikuatkan dengan keberadaan beberapa norma yang terdapat dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut:

Pasal 53

Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 55

Pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pemberitahuan kepada MA tentang adanya permohonan pengujian Undang-Undang serta adanya kewajiban MA untuk menghentikan proses pengujian terhadap peraturan Perundang-undangan di bawah undangundang ketika Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang diuji oleh MK menyiratkan dua hal pokok, yaitu: pertama, kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan di bawah undangundang oleh MA tunduk pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan. Di mana, apabila Undang-Undang sebagai peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sedang diuji di MK, maka pengujian peraturan Perundang-undangan di bawahnya mesti dihentikan. Kedua, penafsiran Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dilakukan MA mesti mengikuti penafsiran Undang-Undang sebagai peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dilakukan oleh MK.

 

Penutup

Sebagai catatan penutup, meski MA dan MK sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan, namun dengan berbedanya jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan peraturan Perundang-undangan yang dilakukan dua lembaga tersebut mesti tunduk pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebab, validitas norma adalah bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi hakim agung di Mahkamah Agung dan hakimhakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

 


[1] Makalah disampaikan dalam Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakah oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 13 November 2014.

[2] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 201

[3] Yuliandri, Pembagian Wewenang dan Pertanggungjawaban Kekuasaan Kehakiman

Pascaamandemen UUD 1945, dalam Mohammad Fajrul Falaakh (Penyunting), Gagasan

Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 62

[4] Ibid.

[5] Putusan Mahkamah Agung Nomor 15.P/HUM/2009 terkait Pengujian Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiihan

Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, hlm. 9

[6] Ibid., hlm. 18

[7] Partai Politik dan caleg dimaksud adalah : Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA),

Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Ahmad Yani, Zainut Tauhid Sa’adi, Romahurmuziy, Machmud Yunus dan Muhammad Arwani Thomafi, semuanya caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, hlm. 1-2

[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, hlm. 99

[9] Ibid., hlm. 110

[10] Maruarar Siahaan, Implementasi Putusan MK dalam Judicial Review, makalah, 21 Oktober 2014

[11] Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

[12] James Madison, Alexander Hamilton, John Jay, dalam The Federalist Papers, Mentor Book, The New American Library, 1961, hlm. 467

[13] Thomas Gawron dan Ralf Ragowski, Constitutional Courts in Comparation, The US

Supreme Courts and The German Federal Constitutional Court, Berghahn Books, New

York Oxford, 2002, hlm. 242, dalam Maruarar Siahaan, Implementasi, hlm. 7

[14] Maruarar Siahaan, Op.cit., hlm. 8

[15] Ibid., hlm. 15

[16] Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa: Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 195

[17] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mendefinisikan: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 18 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta hlm. 158

[18] Hans Kelsen, Op,cit., hlm. 195

[19] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Harvard

University Press, Cambridge, Massachusets, 1949, hlm. 153-154

Add a comment

Login

  • Lupa Sandi Anda?
  • Lupa Nama Pengguna?
  • Buat akun

Karya Buku

Buku Kekuasaan dan Prilaku Korupsi

Terbaru

  • Hubungan Presiden dan DPR
  • TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  • Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia Di Indonesia1
  • Saldi Isra: Tersesat ke Jalan yang Benar
  • Masa Depan DPD
  • Pilkada Jakarta Haruskah Dua Putaran?
  • Merampingkan Regulasi
  • Upaya Menyelamatkan MK
  • Labirin Praktik Korupsi
  • Memastikan Pembaruan Hukum

Managed by: ZTIndonesia IT Solutions For Your Business

Copyright 2015 © Saldi Isra. All Rights Reserved.

In order to provide you with the best online experience this website uses cookies. Delete cookies

In order to provide you with the best online experience this website uses cookies.

By using our website, you agree to our use of cookies. Learn more

I agree

Information cookies

Cookies are short reports that are sent and stored on the hard drive of the user's computer through your browser when it connects to a web. Cookies can be used to collect and store user data while connected to provide you the requested services and sometimes tend not to keep. Cookies can be themselves or others.

There are several types of cookies:

  • Technical cookies that facilitate user navigation and use of the various options or services offered by the web as identify the session, allow access to certain areas, facilitate orders, purchases, filling out forms, registration, security, facilitating functionalities (videos, social networks, etc..).
  • Customization cookies that allow users to access services according to their preferences (language, browser, configuration, etc..).
  • Analytical cookies which allow anonymous analysis of the behavior of web users and allow to measure user activity and develop navigation profiles in order to improve the websites.

So when you access our website, in compliance with Article 22 of Law 34/2002 of the Information Society Services, in the analytical cookies treatment, we have requested your consent to their use. All of this is to improve our services. We use Google Analytics to collect anonymous statistical information such as the number of visitors to our site. Cookies added by Google Analytics are governed by the privacy policies of Google Analytics. If you want you can disable cookies from Google Analytics.

However, please note that you can enable or disable cookies by following the instructions of your browser.