Minggu, 29 Agustus 2010 00:00 WIB
Penulis : Vini Mariyane Rosya
HARI ini, 29 Agustus, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) genap berusia 65 tahun. Dalam usia yang terbilang tua, ternyata DPR tidak banyak berubah. Kepercayaan publik kepada wakil rakyat itu tidak juga beranjak naik. 

Misalnya anggota DPR periode 2009-2014 saat ini. Ekspektasi rakyat yang melambung di awal masa kerja berbuntut luka mendalam dan pengkhianatan. 

Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai dari tahu ke tahun kekecewaan yang dilakukan DPR tetap sama. 

"Sebagai peneliti yang melakukan survei secara reguler untuk melihat tingkat kepercayaan publik terhadap DPR, persepsi publik terhadap DPR tidak banyak meningkat. DPR tetap di rangking terbawah jika dibandingkan dengan institusi pemerintah lainnya," jelas Burhanuddin, kemarin. 

Padahal, semestinya anggota dewan periode ini bisa berbuat banyak untuk mengubah persepsi publik. Alasannya, 70% anggota DPR sekarang ini adalah wajah baru. Mereka tidak terikat dengan tradisi di DPR sebelum era reformasi. Dari segi usia dan pendidikan pun, DPR periode ini melambungkan ekspektasi yang lebih baik. 

Tetapi justru DPR terus melukai rakyat dengan sejumlah agenda yang tidak sesuai dengan aspirasi publik. Sebagai lembaga penyambung aspirasi rakyat, DPR justru asyik dengan agenda sendiri. 

"Rakyat dilukai dengan pembangunan gedung baru bernilai triliunan rupiah. Juga dilukai dengan semakin seringnya anggota DPR ke luar negeri, tetapi tidak ada efek signifikan untuk kinerja DPR," paparnya. 

Dari sisi legislasi, dewan juga tidak memenuhi target program legislasi nasional. Dari target 70 UU, hanya enam UU yang sudah disahkan. "Secara kualitatif juga menyedihkan. Banyak UU diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji karena keikutsertaan publik tidak diindahkan," jelasnya. 

Dalam bidang pengawasan, DPR justru memanfaatkan fungsi itu. Fungsi pengawasan dijadikan alat menaikkan posisi tawar. "Di sisi budgeting lebih aneh lagi. Makin banyak usulan aneh dari DPR. Ketika usulan dana aspirasi ditolak, muncul program rumah aspirasi," ucapnya miris. 

Guru Besar Fakultas Hukum universitas Andalas, Saldi Isra, menambahkan tabiat buruk DPR tidak banyak berubah. Dari dulu kecenderungan suara rakyat selalu dianggap angin lalu. 

"Padahal sebagai representasi rakyat, DPR harusnya mempertajam pendengarannya," pungkasnya. 

Disiplin

Fungsi legislasi DPR memang memprihatinkan. Dari target 70 UU, yang selesai dibahas hanya enam. Pangkal utama seretnya produk legislasi dewan itu adalah kedisiplinan para wakil rakyat. 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Erryanto Nugroho menyangsikan anggota DPR periode ini bisa menyelesaikan tugas dengan lebih baik daripada DPR sebelumnya. "Mereka tidak bisa mencapai target kalau tidak ada perbaikan disiplin," jelasnya. 

Pimpinan DPR harus mengambil tanggung jawab untuk menjaga kedisiplinan anggota DPR karena mereka berfungsi menjaga citra parlemen. Peran Badan Kehormatan DPR juga harus efektif agar ada efek jera bagi anggota dewan pemalas. Jika tidak, masyarakat pun akhirnya jengah dan apatis. 

"Kita sudah berkali-kali bicara legislasi, tapi tidak ada perubahan. Malah makin jelek saja kinerja mereka," kata Koordinator Formappi Sebastian Salang. 

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ignatius Mulyono menambahkan pengerjaan tiap-tiap RUU menjadi tanggung jawab ketuanya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pimpinan DPR telah menetapkan hari Rabu dan Kamis sebagai hari legislasi, tetapi agenda tersebut sering kali mengalah dengan fungsi pengawasan dewan.(Din/X-4
)