Peran Pers dalam Pemberantasan

Korupsi


(Makalah disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistisk dan Wawasan Jajaran Harian Umum Lampung Post, di Hotel Papandayan Bandung, 18-21 Juli 2005)

Oleh Saldi Isra

Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas; Penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) Tahun 2004

Pendahuluan

Dewasa ini, korupsi adalah masalah serius di banyak negara-negara Asia.[1] Begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum.[2] Dalam pandangan Peter Eigen, sampai batas-batas tertentu, korupsi tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusi, lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang di seluruh dunia.[3]

Di Indonesia, misalnya, dari waktu ke waktu, perkembangan tindak pidana korupsi sudah begitu meluas dalam masyarakat. Perluasan itu tidak hanya dalam jumlah kerugian keuangan negara dan kualitas tindak pidana yang dilakukan, tetapi juga semakin sistematis dan meluas sehingga menimbulkan bencana terhadap perekonomian nasional. Dalam sudut pandang hak asasi manusia, tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Karenanya, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). [4]

Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu meruyak di Indonesia. Begitu parahnya, bentuk penyalahgunaan wewenang itu malah dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak heran kalau dalam tiga tahun terakhir lembaga riset Political and Economic Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Prediket serupa datang pula dari Transparency International yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.[5]

Pertanyaannya, sejauh ini, upaya apakah yang telah dilakukan untuk memerangi praktik korupsi? Lalu, peran apakah yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga non-state (terutama perguruan tinggi) untuk memerangi praktik korupsi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini akan memfokuskan pada tiga isu pokok, yaitu (1) korupsi: beberapa penyebab, (2) perjalanan panjang pemberantasan korupsi dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia, dan (3) model korupsi dalam era otonomi daerah, (4) peran (apakah yang seharusnya dilakukan oleh) pers dalam pemberantasan korupsi.

Korupsi: Beberapa Penyebab

United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan korupsi sebagai the misuse of public power, office or authority for private benefit –through bribery, extortion, influence peddling, fraud, speed money, or embezzlement.[6] Hampir sejalan dengan UNDP, buku Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook memaknai korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan personal atau untuk keuntungan individual atau kelompok yang kepadanya seseorang berhutang kepatuhan/kesetiaan.[7]

Pengertian korupsi yang dikemukan UNDP dan buku Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook dapat dikatakan sebagai racikan dari pandangan Syed Hussein Alatas (1999), William J Chambliss (1973), dan Milovan Djilas (1973). Alatas cenderung melihat peranan segelintir tokoh yang berintegritas tinggi. Sedangkan Chambliss melihat korupsi sebagai bagian integral dari sebuah birokrasi akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi. Mereka ini, menurut Chambliss merupakan satu cabal (jejaring) yang tertutup, yang sukar dibongkar dari daam dan tidak juga mudah diubah dari luar (pendekatan struktural). Sementara Djilas lebih melihat korupsi dalam kaitan munculnya ‘kelas’ baru di negara-negara sosialis. [8]

Berdasarkan pandangan Alatas, Chambliss dan Djilas, Aditjondro membagi korupsi menjadi tiga lapis.

Korupsi lapis pertama, suap (bribery) di mana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau penguasa pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara. Pemerasan (extortion) di mana prakarsa untuk meminta balas jasa datan dari birokrat atau pejabat pelayanan publik lainnya.

Korupsi lapis kedua, nepotisme (diantara mereka yang punya hubungan darah dengan pejabat publik), kroniisme (diatara mereka yang idak punya hubungan darah dengan pejabat publik), ‘kelas baru’ (terdiri dari semua kader partai pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai semua pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting).

Korupsi lapis ketiga, jejaring (cabal) yang bisa bercakup regional, nasional, aupun internasional, yang meliputi unsur pemerintahan, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum.[9]

Terlepas dari berbagai pandanga tentang korupsi, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, disebutkan ada lima faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, (3) faktor ekonomi dan birokratik, dan (4) faktor transnasional.[10]

Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Edmund Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu Ahmad Attory Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli suara, menyogok, merasuah calon-calon pemilihan atau angota-anggota partai supaya memenangkan si pemberi uang.[11]

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Bahkan, dalam praktik, tidak jarang peserta pemilihan umum membeli suara pemilih.[12] Untuk pemilihan kepala daerah, misalnya, disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk mendapatkan dukungan partai politik.[13]

Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyeba terjadinya korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertayaan: mengapa begitu sulit mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi.[14]

Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin tumbuh subur di negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Kekuasaan negara, digabungkan dengan informasi orang dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan bagi para pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau kepentingan para sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi pemerintah dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab. Sementara itu, faktor transnasional amat terkait dengan perkembanga lintas negara peningkatan kasus-kasus korupsi. [15]

Berbeda dengan pandangan di atas, dalam studi komparasi terhadap control of bureaucratic corruption di Hong Kong, India, dan Indonesia L Palmer (1985) mengidentifikasi tiga faktor penting penyebab terjadinya korupsi: opportunities (which depended on the extent of involvement of civil servant in the administration), salaries and policing (the probability of detection and punishment).[16] Namun, dari semua pendapat yang ada, pendapat Robert Klitgaard termasuk yang paling sering digunakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya korupsi. Menurut Klitgaard, korupsi (C) terjadi karena monopoli (M) ditambah dengan adanya diskresi oleh pejabat yang berwenang (D). Di mana, monopoli dan diskresi yang dilakukan tanpa akuntabilitas (A). Pandangan Klitgaard ini sering diformulasikan menjadi C = (M + D) – A.[17]

Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Upaya pemberantasan korupsi bukan hal yang baru. Istilah korupsi dikenal secara yuridis melalui produk hukum antikorupsi yang diterbitkan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut tahun 1957 dengan nama Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Bahkan, Jaksa Agung Soeprapto (1950-1959) berani melakukan langkah besar dengan memeriksa menteri dan tokoh-tokoh kunci partai politik besar yang terindikasi melakukan korupsi. Tidak hanya itu, di dalam tubuh militer, pada tahun 1958 Kepala Staf Angkatan Darat AH Nasution melakukan pembersihan di tubuh Angkatan Darat dengan memutasikan sejumlah Panglima Daerah yang diduga melakukan korupsi.

Gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pada periode 1950-an mengalami kemunduran sepanjang kekuasaan Orde Lama. Di era 1960-an, pertentangan antara kaum kiri dan kanan semakin tajam. Yang berhaluan kiri mendapat patronase ekonomi dan politik. Mereka kian terlena oleh praktik korupsi. Di lain pihak, sumber-sumber bisnis yang dikuasai oleh TNI tetap berjalan dan tidak terkonrol. Kecenderungan politik saat itu kian memperparah kondisi perekonomian negara. Kebocoran dan penyalahgunaan kekuasaan terjadi di sejumlah sektor tanpa terkendali. Hukum disepelekan dan risiko korupsi sangatlah ringan.[18] Bahkan, sepanjang periode ini, demi kepentingan revolusi, Presiden Soekarno dapat mencampuri urusan peradilan.[19]

Ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto muncul sedikit harapan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Misalnya, melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1967 pemerintah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Tim ini memiliki dua tugas dan fungsi represif dan preventif dalam pemberantasan korupsi.[20] Berdasarkan hasil penelitian Mahmuddin Muslim, Tim Pemberantasan Korupsi mengalami kesulitan melakukan tindakan represif karena kuatnya perekonomian perkoncoan dalam tubuh pemerintah. Tim juga tidak berdaya melakukan tindakan represif jika pelakuknya adalah teman seperjuangan semasa menumbangkan Orde Lama. Selain itu, Tim juga tidak berdaya menghadapi kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat Orde Baru dan pejabat ABRI.[21]

Sekalipun pada awal tahun 1970-an pemerintah berhasil menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 3/1971), harapan pemberantasan korupsi dengan pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto tidak pernah terwujud. Bahkan, kedaan tidak bertambah baik. Kehadiran UU No 3/1971 gagal menghambat laju nafsu serakah para koruptor. Karenanya, sepanjang kekuasaan Soeharto, istana dan kroni-kroninya berkembang menjadi rejim kleptokrasi yang menguasai hampir semua sumber ekonomi vital negara.

Ketika Soeharto berhenti, perang melawan korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Langkah ke arah itu dimulai dengan pembentukan dan pengesahan sejumlah produk hukum. Misalnya, Ketetapam MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kemudian, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas KKN. Dukungan ke arah itu makin kuat dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, untuk mengatasi problem pemberantasan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum (seperti kepolisian dan kejaksaan), disahkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tampaknya, semua peraturan peundang-undangan di atas tidak cukup untuk melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi. Pendapat lain, mayoritas aparat penegak hukum tidak punya komitmen untuk memberantas korupsi. Dari pendangan itu, dapat dikatakan bahwa meruyaknya praktik korupsi karena hukum dan penegak hukum di negeri ini teramat ramah kepada para pelaku korupsi. Bahkan, dalam banyak kasus, pengungkapan korupsi justru membuka peluang terjadinya praktik korupsi di lingkungan penegak hukum. Salah satu contoh yang sering dipergunjingkan adalah penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dalam banyak kasus, tidak jarang, penerbitan SP3 terindikasi praktik korupsi atau suap.

Barangkali, menyadari bahwa strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 5/2004) berusaha memadukan antara penegakan hukum dengan perbaikan pelayanan publik, dan upaya pembaruan hukum.

Dalam agenda penegakan hukum, kepada Kepala Polri, Presiden Yudhoyono memberikan tiga instruksi khusus. Pertama, mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. Kedua, mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota polisi dalam rangka penegakan hukum. Ketiga, meningkatkan kerjasama dengan kejaksaan, badan pengawas keuangan dan pembangunan, pusat pelaporan keuangan dan analisis transaksi keuangan, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakkan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Sementara itu, kepada Jaksa Agung, Presiden Yudhoyono juga memberikan tiga instruksi khusus. Pertama, mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan keuangan negara. Kedua, mencegah dan memberi sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa/penuntut umum dalam rangka penegakan hukum. Ketiga, meningkatkan kerjasama dengan kepolisian, badan pengawas keuangan dan pembangunan, pusat pelaporan keuangan dan analisis transaksi keuangan, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Dalam hal perbaikan pelayanan publik, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara diinstruksikan untuk menyiapkan rumusan kebijakan untuk (a) meningkatkan pelayanan publik, (b) penyusunan penetapan kinerja pejabat pemerintahan, dan (c) penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik. Yang tidak kalah pentingnya, perintah untuk melakukan pengkajian sistem kepegawaian. Sementara itu, dalam upaya pembaruan aturan hukum, Presiden Yudhoyono memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyiapkan rumusan amandemen undang-undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Tidak hanya itu, diinstrusikan juga untuk menyiapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

Model Korupsi dalam Era Otonomi Daerah[22]

Kontroversi sekitar uang kadeudeuh yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat telah membuka mata semua orang, bagaimana anggota Dewan di daerah mengakali mata anggaran untuk menambah pendapatan pribadi. Keinginan mendapatkan uang kadeudeuh diajukan dengan pertimbangannya yang sangat sederhana, semua anggota Dewan menganggap telah berhasil mendorong terjadinya peningkatan pendapatan daerah. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD Provinsi Jawa Barat meminta “uang terima kasih” sebesar Rp 250 juta.

Meskipun perilaku menyimpang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat mendapat kritikan pedas dari berbagai kalangan, kejadian itu tidak menjadi pelajaran berharga di daerah lain. Misalnya, dengan nama “uang pensiun”, usaha mengakali mata anggaran juga dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah. Upaya ini dilakukan dalam rapat paripurna tanggal 31 Juli 2002 anggota Dewan menetapkan, pemberian tambahan tunjangan purnabakti atau “uang pensiun” bagi seluruh anggota DPRD dari Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta (Kompas, 06/10-2002).

Kalau ditelusuri lebih jauh, hasrat memperkaya diri melalui proses “halalisasi” dalam Peraturan Daerah (Perda) Aanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak hanya terjadi di daerah-daerah dengan anggaran besar tetapi juga di daerah dengan anggaran terbatas seperti Sumatera Barat. Upaya mengakali keuangan negara dapat dilihat dalam APBD tahun 2002, dimana, DPRD Provinsi Sumatera Barat menetapkan bahwa setiap anggota Dewan mendapat premi asuransi lebih dari Rp 2,5 juta setiap bulan. Ini ditambah lagi dengan adanya “dana aspiratif” sebesar Rp 200 juta setiap anggota DPRD.

Pertanyaan elementer yang patut dikemukakan, mengapa perilaku menyimpang anggota legislatif daerah untuk memperkaya diri tumbuh begitu subur? Mengapa Kepala Daerah (eksekutif) membiarkan anggota DPRD menentukan anggaran sendiri? Adakah perilaku menyimpang itu merupakan hasil kolusi antara anggota eksekutif dan legislatif daerah?

Salah satu perubahan paradigma yang terjadi dengan berlakunya UU 22/1999 adalah pemisahan secara tegas posisi legislatif daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah (Kepala Daerah). Sebelumnya, dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (UU 5/1974) tentang Pemerintahan di Daerah DPRD ditempatkan sebagai bagian dari pemerintah daerah yang dalam praktiknya berkembang menjadi subordinasi Kepala Daerah. Selama berada di bawah UU 5/1974 proses politik di daerah berlangsung dalam posisi strong state and weak society. Format politik Orde Baru secara sadar meniadakan hak politik DPRD sebagai saluran politik dalam menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Di luar pemisahan itu, ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan bahwa UU 22/1999 memberikan kekuasaan lebih kepada DPRD.

Pertama, adanya kewenangan DPRD untuk menentukan kata-putus dalam proses pemilihan Kepala Daerah. Pada masa UU 5/1974, meskipun DPRD menjadi “penyelenggara” pemilihan tetapi tidak dapat menentukan hasil akhir karena kekuasaan pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan Kepala Daerah. Perubahan yang terjadi, memberikan DPRD posisi bargaining yang lebih dominan dalam menentukan pemimpin daerah.

Kedua, adanya ketentuan bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada DPRD untuk memberhentikan Kepala Daerah sebelum berakhir masa tugas selama lima tahun.

Ketiga, berkurangnya kontrol pemerintah pusat terhadap semua proses politik yang terjadi di tingkat lokal. Pengurangan ini memberikan peluang kepada DPRD menjadi lembaga yang powerfull. Meskipun demikian, berkurangnya kontrol pemerintah pusat tidak terlepas dari munculnya “kesadaran” terhadap pentingnya kemandirian lembaga perwakilan dalam mewujudkan kedaulatan rakyat di tingkat lokal.

Semestinya, mencermati pergeseran paradigma legislatif daerah yang dianut oleh UU 22/1999, proses politik dan hubungan eksekutif-legislatif akan berlangsung sehat. Sayang, sejak UU 22/1999 diberlakukan secara utuh mulai 1 Januari 2001 memunculkan hal-hal yang tidak baik dan menyimpang dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Misalnya, dalam tataran praktis, daerah Kabupaten/Kota menjadi susah untuk dikendalikan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Atau, mengemukanya isu praktik politik uang (money politics) dalam hampir setiap pemilihan Kepala Daerah, serta munculnya kekisruhan dalam pertanggungjawaban Kepala Daerah.

Sebenarnya, masalah yang terjadi tidak diharapkan karena dapat memberi citra buruk dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Meskipun demikian, menurut Maswadi Rauf (2002:149) ekses yang muncul dapat dimengerti karena otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah. Di samping itu, otonomi daerah diberlakukan di dalam situasi euphoria masyarakat yang berkobar-kobar. Suasana kejiwaan seperti ini juga diwarnai oleh rasa kebebasan yang besar sehingga otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah kekacauan dan ketidakpastian hukum.

Sekiranya perubahan paradigma hubungan eksekutif-legislatif terjadi dalam suasana normal, maka ekses yang muncul tidak akan serumit yang terjadi. Desentralisasi politik lebih banyak membuka akses bagi elit lokal kepada sumber-sumber daerah yang sangat rawan terjadinya penyimpangan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Perubahan yang terjadi dalam suasana transisi menjadi sulit dikendalikan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya ketentuan hukum yang memberi peluang kepada masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol semua pusaran aktifitas yang ditimbulkan dari perubahan paradigma hubungan eskekutif-legislatif daerah.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian perubahan memunculkan dua kutub kekuasaan. Pada salah satu sisi, eksekutif sebagai pihak pengelola dan pengendalian keuangan daerah dengan kekuasaan politik yang terbatas. Sementara di sisi lain, legislatif muncul sebagai supremasi dalam memegang kendali politik dengan sumber keuangan yang amat tergantung kepada eksekutif. Dua kutub kekuasaan itu memberi peluang kepada eksekutif dan legislatif melakukan sinergi negatif untuk melakukan kolusi. Formulanya sederhana, dominasi kekuasaan politik menjadi lebih “mudah” diimbangi dengan sumber keuangan yang dikelola dan dikendalikan eksekutif.

Dengan demikian, posisi dan kelebihan yang dipunyai oleh kedua kutub terjebak pada pemeliharaan mempertahankan kepentingan masing-masing. Penguatan peran DPRD yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan horizontal melalui mekanisme checks and balances terperangkap dalam pola hubungan kolutif antara eksekutif dengan legislatif. Legislatif benar-benar meraih keuntungan perubahan paradigma hubungan eksekutif-legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Robert E. Jaweng (2002) menyindir, DPRD menikmati manisnya tuah kekuasaan, juga kekayaan yang mengikutinya.

Paling tidak ada tiga momen yang membuka peluang terjadinya kolusi antara eksekutif-legislatif daerah. Secara berkelakar, momen ini sering dikatakan sebagai masa “panen” anggota DPRD yang mengindikasikan adanya permainan uang yang mengitarinya.

Pertama, “panen raya” yang dilakukan dalam proses pemilihan Kepala Daerah. Meskipun hanya terjadi sekali lima tahun, proses pemilihan memberi peluang kepada anggota legislatif mendapatkan uang dengan jumlah berlimpah. Seperti sudah diketahui publik, cara yang paling mudah adalah melakukan money politics. Misalnya, pengakuan Mahfudz Djaelani, salah seorang kandidat Gubernur, sekitar indikasi politik uang yang terjadi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada awal bulan September lalu sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana sebagian anggota DPRD meraup uang dalam proses politik yang terjadi di daerah. Indikasi ke arah ini diperkuat dengan adanya pemberian kode atau tanda tertentu dalam penulisan nama pasangan Sutiyoso dan Fauzi Bowo.

Bagi sebagian anggota DPRD, keuntungan yang diperoleh dalam proses pemilihan Kepala Daerah bisa menjadi berlipat ganda. Ini dapat terjadi sekiranya pejabat yang akan berakhir masa tugas berkeinginan lagi menjadi menjadi Kepala Daerah untuk periode kedua. Dibandingkan dengan calon baru, orang yang sedang menduduki jabatan Kepala Daerah harus melewati proses pertanggungjawaban akhir masa jabatan. Peluang terjadinya kolusi dipicu oleh ketentuan bahwa Kepala Daerah yang ditolak laporan pertanggungjawaban akhir jabatannya tidak dapat dicalonkan kembali untuk menduduki masa jabatan berikutnya.

Dari penelusuran Kompas (16/09-2002), seorang pejabat DKI Jakarta mengeluhkan bahwa pertanggungjawaban Gubernur cuma jadi ajang blackmail bagi para anggota DPRD. Untuk meloloskan laporan pertanggungjawaban, Gubernur DKI Jakarta memerlukan uang dana yang tidak sedikit. Meskipun sulit dibuktikan kebenarannya, kecenderungan serupa juga terjadi di provinsi lain.

Kedua, “panen tahunan” yang dilakukan sekitar proses penilaian terhadap laporan tahunan (annual report) Kepala Daerah. Banyak cerita miring di sekitar laporan tahunan ini, misalnya terjadi tawar-menawar di “belakang layar” untuk memuluskan laporan tahunan Kepala Daerah. Kalau dibaca dengan cermat, peluang untuk terjadinya kongkalingkong antara DPRD dan Kepala Daerah by accident dapat muncul berdasarkan Pasal 46 ayat (1) UU 22/1999, Kepala Daerah yang ditolak laporan pertanggungjawabannya harus melengkapi dan menyempurnakan lapaoran itu dalam jangka waktu paling lama 30 hari.

Barangkali, kesempatan melakukan penyempurnaan agar tercipta proses yang lebih fair dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap Kepala Daerah. Sayang dalam praktik yang terjadi justru sebaliknya, waktu untuk melakukan perbaikan cenderung digunakan untuk melakukan bargaining.

Dari pengamatan terhadap beberapa daerah yang pernah bermasalah dalam laporan pertanggungjawaban, manuver politik yang dilakukan angota Dewan sangat sederhana yaitu menolak laporan pertama Kepala Daerah. Kemudian setelah diberi kesempatan memperbaiki, laporan kedua diterima dengan catatan. Sulit membantah aroma kolusi yang mengitari klausul “diterima dengan catatan” itu. Biasanya, Kepala Daerah yang mendapat dukungan simple majority dalam pemilihan akan semakin rawan masuk dalam perangkap impechment DPRD.

Ketiga, “panen sela” yaitu peluang melakukan yang dapat terjadi pada saat pembicaraan beberapa agenda strategis di daerah. Pada batas-batas tertentu, peluang ke arah ini mirip dengan isu suap yang terjadi di Komisi IX DPR RI dalam kasus divestasi Bank Niaga. Di daerah, peluang ke arah lebih banyak terjadi pada penyiapan beberapa Peraturan Daerah (perda) strategis, misalnya dalam penyusunan Perda Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) atau proyek-proyek raksasa yang mengharuskan adanya keterlibatan peran politik DPRD.

Berdasarkan penjelasan di atas, menarik apa yang ditulis oleh Andrinof A. Chaniago, anggota DPRD yang seharusnya berperan mengontrol tindakan eksekutif justru berkembang ke arah pemerasan negara oleh politisi. Para politisi lembaga legislatif daerah cenderung menggunakan kesempatan untuk menekan eksekutif agar mau melakukan penggerogotan keuangan negara lewat proses pengajuan Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah dan lewat mekanisme laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah.[23] Karena perkembangan tersebut, selama kurun waktu 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang meliputi hampir di semua wilayah Indonesia (lihat tabel).

Sumber: Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 ICW

Melihat meluasnya praktik korupsi di daerah, dalam pandangan TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.[24]

Peran (yang Seharusnya Dilakukan oleh) Pers dalam Pemberantasan Korupsi

Sebelum menjelaskan sub topik di atas, terlebih dahulu harus dijelaskan sikap dan posisi pers dalam mainstreaming isu korupsi selama ini. Maksudnya, apakah sikap dan posisi pers selama ini menegasikan agenda pemberantasan korupsi, atau justru sebaliknya yaitu mengafirmasi praktik korupsi?

Pertanyaan (yang bersifat otokritik) tersebut muncul karena beberapa latar pemikiran.

Berdasarkan penjelasan di atas, peran apakah yang seharusnya dilakukan oleh perguruan tinggi dalam agenda pemberantasan korupsi. Dengan tetap berpegang pada ‘doktrin’ Tri Dharma Perguruan Tinggi, setidaknya ada tiga peran penting yang harus dimainkan oleh perguruan tinggi.

Pertama, dalam segenap aktifitas (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) perguruan tinggi seharusnya memberikan ruang bagi berkembangnya agenda pemberantasan korupsi. Agenda ini akan amat terbantu kalau perguruan mampu memperbaiki kecenderungan yang disebutkan di atas.

Kedua, menjadi agenda setter dalam narasi besar (grand narration) pemberantasan korupsi. Kecenderungan selama ini, peran tersebut lebih banyak dilakukan oleh kalangan di luar perguruan tinggi terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).[25] Padahal, dalam pembaruan agenda pemberantasan korupsi, sebagian LSM juga melibatkan tenaga dan pemikiran dari perguruan tinggi. Oleh karenanya, perguruan tinggi harus mampu melakukan peran sebagai comprehensive anticorruption legislation reform[26] terutama memperbaharui aturan-aturan hukum yang tidak membantu agenda pemberantasan korupsi.

Ketiga, berupaya melakukan peran ganda sekaligus. Pada salah satu sisi, melakukan CAPACITY BUILDING FROM WITH IN dengan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan agenda pemberantasan korupsi. Sementara di sisi lain, melakukan PRESSURE FROM WITH OUT yaitu dengan melakukan ‘pengawalan’ secara ketat terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Dalam pandangan Jeremy Pope, salah satu pilar terpenting dalam pengembangan sistem integritas nasional yang diperlukan dalam pemberantasan korupsi adalah media yang independen dan bebas.[27] Menurut Pope, salah satu hal yang paling berbahaya bagi pers adalah menyensor diri sendiri, yakni wartawan dan redaksi tidak menerbitkan berita-berita yang mengancam kepentingan usaha, pemilih surat kabar atau orang-orang dekat dengan mereka.[28]

Mengembangkan Jurnalisme Investigasi. Menurut Pope, jurnalisme investigasi mungkin dilakukan dengan berbagai kondisi:

1. Apakah wartawan mendapat gaji yang cukup untuk hidup?

2. Apakah wartawan aman secara fisik bila mengungkap kasus korupsi dan/atau menyelidiki pemimpin-pemimpin yang berpengaruh di sektor swasta atau sektor publik?

3. Apakah tuntutan pidana pencemaran nama baik terhadap wartawan jarang atau sering dilakukan?

4. Apakah media secara taratur menerbitkan artikel yang ditulis oleh wartawan investigasi?

5. Apakah ada sekolah untuk melatih wartawan, termasuk pelatihan dalam jurnalisme investigasi?[29]

Penutup

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, perguruan tinggi amat diharapkan menjadi ujung tombak pmberantasan korupsi. Kalau peran itu dilakukan, meruyaknya praktik korupsi yang terjadi di daerah selama beberapa tahun terakhir bisa diminimalisir.



[1] Jon ST Quah, (2003), Causes and Cosequences of Corruption in Southeast Asia: Analysis of Indonesia, the Philippines and Tahiland, dalam Asian Journal of Public Administration, Volume 25, No. 2.

[2] Romli Atmasasmita, (2004), Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca-Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Menjelang Pengadilan Anti-Korupsi di Indonesia”, diselenggarakan oleh British Council, 15-16 September, di Jakarta.

[3] Peter Eigen, Pengantar, dalam Jeremy Pope, (2003), Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

[4] Bandingkan dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[5] Masyarakat Transparansi Indonesia, (2005), Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

[6] Jon ST Quah, (2003), Singapore’s Anti-Corruption Strategy: Is this Form of Governance Transferable to Others Asian Countries?, dalam John B Kidd dan Frank Jurgen Richter, Corruption and Governance in Asia, Palgrave Macmillan.

Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999). Pasal 2 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian.

[7] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.

[8] George Junus Aditjondro, (2002), Membedah Kembar Siam Pengusaha Politik dan Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sitemik bagi Aktivis dan Wartawan, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta.

[9] Ibid.

Uraian lebih jelas dan sistematis tentang ketiga lapis korupsi dapat dibaca dalam Rusdi Tampo, (2005), Ayo Lawan Korupsi: Gerak dan Langkah membangun Semangat Antikorupsi di Sulawesi Selatan, LBH P2I Makassar.

[10] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.

[11] Dikutip dalam Saldi Isra, (2000), Ancaman Politik Uang dalam Pemilihan Gubernur, Bukittinggi Pos, 10-16 Januari.

[12] Lebih jauh tentang isu ini dapat dibaca dalam Saldi Isra, (2004), Kampanye dengan Uang Haram, Citra Budaya Indonesia, Padang.

[13] Saldi Isra, (2005), Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu Krusial, dalam Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1, Jakarta.

[14] Saldi Isra, (2004), Getting rid of corruption in Indonesia: The future, dalan The Jakarta Post, Edisi Khusus Akhir Tahun, 30 Desember, Jakarta.

[15] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran …

[16] Jon ST Quah, (2003), Causes and…

[17] Robert Kiltgaard, (1988), Controlling Corruption, University of California Press, Berkely.

[18] Masyarakat Transparansi Indonesia, (2005), Di Balik Palu…

[19] Saldi Isra, (2005), Antikorupsi: Nasionalisme Baru Indonesia, dalam Media Indonesia, 18 Mei, Jakarta.

[20] Secara represif, yaitu melakukan tindakan-tindakan penyelesaian melalui jalur hukum terhadap pelaku korupsi sesuai aturan yang berlaku. Sementara, secara preventif, yaitu memberikan saran kepada pemerintah mengenai tindakan-tindakan administrasi atau tindakan lainnya yang dianggap akan mengurangi terjadinya praktik-praktik korupsi.

[21] Mahmuddin Muslim, (2004), Jalan Panjang Menuju KPTPK, Gerakan Rakyat Antkorupsi Indonesia (GeRAK), Jakarta.

[22] Bagian ini berasal dari Saldi Isra, (2002), Kolusi Eksekutif-Legislatif di Daerah, Edisi Khusus Media Indonesia “Satu Indonesia: Mimpi Kaum Muda tentang indonesia Masa Depan”, 20 Desembar. Pengutipan sumber (dengan cara in-note) juga tidak dilakukan perubahan.

[23] Andrinof A. Cahniago, (2002), Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.

[24] Indonesia Corruption Watch, (2004), Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004, Jakarta.

[25] Lebih jauh tentang hal ini baca Richard Halloway, (1999), NGOs Fighting Corruption, Makalah disampaikan dalam 9th International Anti-Corruption Conference, Durban South Africa, 10-15 Ocotober.

[26] Tentang hal ini baca Jon ST Quah, (2004), Best Practices for Curbing Corruption in Asia, dalam The Governance Brief, Asian Development Bank.

[27] Jeremy Pope, (2003), Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

[28] Ibid.

[29] Ibid.