Saldi Isra

Gayus HP Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, kembali menjadi berita utama hampir semua media massa nasional.

Selain karena dampak berita terkuaknya rekening gendut Dhana Widyatmika, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga menjatuhkan hukuman enam tahun kepada Gayus karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Hukuman enam tahun penjara ini bukan vonis pertama yang diterima Gayus. Sebelumnya, terbukti menyalahgunakan wewenang saat menjadi pegawai pajak dengan menyuap polisi dan hakim serta memberikan keterangan palsu, ia dihukum 12 tahun penjara. Dalam kasus pemalsuan paspor, yunior Dhana Widyatmika ini divonis dua tahun penjara.

Putusan enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider empat bulan kurungan yang dijatuhkan majelis hakim (Kompas, 2/3/2012) bukan sesuatu yang luar biasa di tengah desain besar agenda pemberantasan korupsi. Namun, putusan itu memiliki pesan khusus karena diikuti dengan perintah untuk menyita pundi-pundi Gayus yang disimpan di sejumlah bank. Tidak hanya itu, majelis hakim juga memerintahkan untuk menyita aset-aset berharga lain yang dimiliki Gayus.

Dengan adanya perintah menyita untuk negara uang Rp 74 miliar; 2 mobil; rumah di Gading Park View, Jakarta; dan 31 batang emas masing-masing 100 gram, majelis hakim memulai sebuah langkah besar guna menimbulkan efek jera di tengah perang melawan korupsi. Pesan putusan itu jelas: pelaku korupsi tak cukup hanya dijatuhi hukuman konvensional, tetapi sekaligus harus dimiskinkan.

Terobosan

Ketika korupsi dirasakan sebagai ancaman amat serius, penjatuhan pidana maksimal dianggap cara paling efektif untuk membuat koruptor takut. Karena itu, keberanian menjatuhkan pidana maksimal selalu menjadi sebuah penantian. Bahkan, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi ruang untuk menjatuhkan hukuman mati. Terlepas dari kontroversi di sekitar hukuman mati, belum ada pelaku korupsi yang diganjar dengan pidana mati.

Boleh jadi karena ada ketakutan untuk menjatuhkannya, ancaman pidana mati dalam UU No 31/1999 menjadi kehilangan makna hakiki dalam menghambat laju praktik korupsi. Bukti yang paling sulit dipatahkan, lebih dari satu dasawarsa terakhir praktik korupsi makin masif, sistematis, dan kian sulit dikendalikan. Bahkan, melihat kecenderungan yang ada, sulit menemukan institusi publik yang benar-benar bebas dari praktik korupsi.

Sadar akan dampak dari praktik korupsi, kegagalan menjatuhkan hukuman maksimal, termasuk dalam menjatuhkan pidana mati, tidak serta-merta menghentikan pemikiran untuk menimbulkan efek jera dalam memberantas korupsi. Salah satu gagasan yang dikemukakan adalah memangkas (dan jika perlu menghilangkan) segala bentuk fasilitas dan kemewahan yang diberikan kepada mereka yang terlibat dalam kasus korupsi.

Sebagaimana pernah dikemukakan dalam ”Pangkas Kemewahan Koruptor” (Kompas, 6/11/2011), kemewahan yang dinikmati mereka yang tersangkut kasus korupsi terjadi mulai dari hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, kemewahan tidak hanya terjadi selama dalam proses penyidikan, tetapi yang paling mengerikan, hakim kian terbiasa menjatuhkan vonis di bawah lima tahun. Dengan vonis ringan tersebut, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi kehilangan pesan dan makna secara hakiki karena di hilir amat mudah mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Karena pengalaman tersebut, perlu dilakukan berbagai terobosan yang memberikan pesan jelas dan tegas sehingga mampu membuat orang takut melakukan korupsi. Salah satu terobosan yang didorong adalah memiskinkan koruptor. Sebagaimana pernah dikemukakan pada sebuah diskusi yang diselenggarakan Kompas (22/2/2011), pilihan memiskinkan didasarkan pemikiran bahwa banyak pelaku korupsi yang tidak takut dengan hukuman penjara. Rasa takut sirna karena koruptor masih dapat menikmati hasil korupsi setelah menghabiskan masa tahanan. Apalagi, selama masa tahanan, uang hasil korupsi dapat saja dimanfaatkan untuk ”membeli” segala macam kemewahan.

Menilik kecenderungan yang ada, salah satu motivasi yang menyebabkan orang melakukan korupsi adalah karena mereka takut hidup miskin. Dengan adanya pilihan memiskinkan, banyak pihak akan berpikir ulang untuk korupsi. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Tipikor Jakarta seharusnya dilihat sebagai terobosan dengan pesan yang sangat jelas: korupsi adalah langkah awal menuju pemiskinan.

Langkah awal

Sebagai bagian dari upaya menumbuhkan efek jera sehingga orang takut melakukan korupsi, putusan Pengadilan Tipikor Jakarta harus dipandang sebagai langkah awal. Langkah memiskinkan koruptor dapat dikatakan masih jauh dari cukup hanya bersandar pada putusan tersebut. Bahkan, untuk Gayus sendiri, dengan melihat kemungkinan jejaring yang ada, tak ada jaminan bekas pegawai golongan IIIA Ditjen Pajak ini akan benar-benar miskin. Dengan menempatkannya sebagai langkah awal, putusan majelis hakim ini semestinya diikuti tindakan lain sehingga upaya pemiskinan melalui proses hukum benar-benar menjadi kabar menakutkan. Proses penegakan hukum harus mampu menjamah semua pihak yang terindikasi menjadi bagian dan turut serta menikmati hasil korupsi. Untuk itu, sekiranya terbukti, pihak-pihak yang ikut menikmati harus pula dimiskinkan. Keharusan ini tak mungkin dihindarkan karena Pasal 2 Ayat (1) UU No 31/1999 memberi ruang untuk memiskinkan mereka yang ikut menikmati hasil korupsi.

Bahkan, dalam skandal suap yang menempatkan Gayus di titik sentral, penelusuran seharusnya dilakukan pula untuk melacak kemungkinan keuntungan yang didapat keluarga, rekan kerja, termasuk atasan, dan pihak lain yang terkait. Melihat kemungkinan jejaring di sekeliling Gayus, amat sulit dicerna akal sehat Gayus bekerja untuk dan atas kehendak sendiri. Setidaknya, cara berpikir demikian menemukan basis argumentasi dengan terbongkarnya kasus rekening gendut pegawai pajak bernama Dhana Widyatmika.

Selain tindakan tersebut, upaya pemiskinan koruptor seharusnya juga sudah dimulai dari proses awal, terutama sejak dinyatakan sebagai tersangka. Langkah ini perlu dilakukan agar kemampuan keuangan, termasuk yang berasal dari hasil korupsi, tidak dimanfaatkan menjadi modal memengaruhi proses hukum. Sekali lagi merujuk proses hukum skandal suap pajak, betapa leluasanya Gayus menggunakan dana hasil perbuatan curang ketika menjadi pegawai pajak guna ”membeli” otoritas penegak hukum dan petugas rumah tahanan. Dengan kemampuan keuangan berlimpah, tidak hanya pergi ke Bali, Gayus pun dengan begitu mudah melakukan perjalanan ke luar negeri.

Merujuk proses hukum Gayus, agar pengalaman serupa tidak terulang, penyidik harus membekukan semua harta yang dimiliki Dhana Widyatmika. Selain rekening senilai Rp 60 miliar, penyidik juga harus mampu mengendus kemungkinan adanya rekening lain. Bagaimanapun, tidak ada yang berharap rangkaian tamparan yang pernah dihadirkan Gayus kembali mencoreng wajah penegakan hukum negeri ini. Karena itu, proses pemiskinan bagi Dhana harus dimulai sejak awal.

Di atas itu semua, banyak kalangan berharap agar terobosan yang dilakukan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus Gayus tak menjadi putusan pertama dan terakhir. Untuk itu, dalam proses berikutnya, pengadilan tinggi (banding) dan Mahkamah Agung (kasasi) tak menganulir terobosan tersebut. Tak hanya itu, tak kalah penting, semua pengadilan tipikor di daerah mengikuti cara berpikir dan terobosan yang dilakukan Pengadilan Tipikor Jakarta. Bagaimanapun, mengabaikan pesan yang ada di belakang penjatuhan hukuman bagi Gayus sama saja memelihara kemewahan lain bagi koruptor. Dalam pengertian itu, pemiskinan menjadi semacam keniscayaan untuk segera keluar dan menjauh dari pelukan koruptor. Karena itu, segera miskinkan koruptor sebelum negeri ini benar-benar terperosok dalam kemelaratan serius nan panjang.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang