HANYA berselang sehari dari pemungutan suara pemilu presiden dan wakil presiden, Selasa (8/7), Sidang Paripurna DPR menyetujui perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.

Berbeda dari bayangan banyak pihak yang concern terhadap perkembangan lembaga perwakilan, persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah tidak hanya merevisi beberapa substansi, tetapi juga berujung pada kesepakatan mengganti produk hukum yang dikenal sebagai UU MD3 ini.

Jamak diketahui, keharusan melakukan perubahan disebabkan beberapa pasal UU No 27/2009 dinyatakan kehilangan validitas konstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Di antara contoh yang dapat dikemukakan, DPR dan pemerintah harus mengadopsi substansi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 92/PUU-X/2012 yang membatalkan beberapa pasal di dalam UU No 27/2009 karena mereduksi dan membatasi kewenangan DPD dalam proses legislasi. Kebutuhan lain, pembatasan kewenangan DPR dalam membahas RAPBN sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No 35/PUU-XI/2013.

Apabila dibaca penjelasan umum naskah hasil persetujuan, upaya mengadopsi putusan MK No 92/PUU-X/2012, misalnya, dapat dilacak dengan mengembalikan roh Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 bahwa pembahasan RUU dilakukan DPR dan pemerintah serta DPD menyangkut legislasi dalam Pasal 22D UUD 1945. Namun, dengan membaca secara utuh hasil perubahan, semangat itu terasa setengah hati karena peran fraksi muncul kembali di ujung pembahasan, yaitu ketika menyampaikan pendapat mini akhir fraksi. Padahal, ketika tak lagi jadi bagian dalam pembahasan bersama, fraksi kehilangan alasan untuk sampaikan pendapat akhir.

Sekiranya langkah mengadopsi putusan MK menyebabkan lebih dari 50 persen substansi UU No 27/2009 perlu diubah sehingga pergantian lebih tepat dari perubahan, jelas bahwa pilihan DPR dan pemerintah memiliki basis argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, apabila dibaca dengan cermat hasil naskah pergantian yang telah disetujui, sebagian substansinya bergerak menuju agenda lain. Paling tidak, agenda itu menjadi bentangan polarisasi politik setelah pemilu anggota legislatif 9 April. Karena itu, dalam batas-batas tertentu, sebagian substansi yang dihasilkan jadi upaya sistematis sejumlah politisi untuk merampas kuasa politik di Senayan.

Salah satu contoh yang patut dikemukakan adalah hapusnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai salah satu instrumen penting dalam pengawasan  akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Dengan hapusnya BAKN, banyak kalangan percaya fungsi pengawasan akan kehilangan elan karena kehilangan ketajaman melihat kemungkinan adanya penyalahgunaan keuangan negara. Paling tidak dalam beberapa tahun terakhir, BAKN mampu melakukan penajaman terhadap hasil audit keuangan negara yang dilakukan dan dihasilkan BPK.

Boleh jadi, agenda itu pula yang mendorong sejumlah kekuatan politik sengaja memilih momen injury time pilpres. Dengan momen itu, mayoritas kekuatan politik di DPR dan pemerintah sengaja menghindari perdebatan yang lebih partisipatif dan terbuka dalam proses pergantian UU No 27/2009. Artinya, jangankan ruang dan kesempatan untuk adanya partisipasi publik yang lebih luas, sebagian dari kekuatan politik DPR pun sengaja dibuat tidak berkutik untuk membawa pembahasan melewati perangkap injury time. Buktinya, ketukan palu persetujuan gagal dihentikan meskipun tiga fraksi (PDI-P, PKB, dan Hanura) memilih langkah walk out.

 

Akrobat politik

Mulai dari perjalanan waktu, rencana, hingga proses perubahan UU No 27/2009 dimulai sejak sekitar satu tahun lalu. Dengan tidak terlalu banyaknya materi yang harus diperbaiki, mestinya perubahan telah tuntas sebelum pelaksanaan pemilu legislatif. Paling tidak, persetujuan bersama DPR dan pemerintah telah dilakukan sebelum hasil pemungutan suara 9 April. Bagaimanapun, ketika pembahasan masih saja berlangsung, sementara hasil pemilu legislatif telah diketahui, politisasi dan upaya membajak substansi perubahan sulit dihindarkan.

Pertimbangan untuk mempercepat penyelesaian proses perubahan ini tidak terlepas dari pengalaman serupa lima tahun lalu. Pada saat itu, pembahasan substansi UU No 27/2009 masih berlangsung di tengah bentangan hasil pemilu legislatif 2009. Karena itu, beberapa materi yang dihasilkan benar-benar menjadi cerminan kalkulasi dan polarisasi politik antara Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan. Dalam batas-batas tertentu, jebakan yang sama kembali menghampiri dinamika pergantian UU No 27/2009 pada saat komposisi sepuluh partai politik penghuni Senayan 2014-2019 diketahui.

Salah satu arena yang diperebutkan adalah desain aturan di sekitar pemilihan pimpinan DPR. Sebagaimana dapat dibaca dalam naskah hasil persetujuan bersama, Pasal 84 menyatakan pimpinan DPR terdiri dari satu ketua dan empat wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Selanjutnya ditegaskan, pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap. Substansi perubahan ini bertolak belakang dengan Pasal 82 UU No 27/2009 yang menghendaki pimpinan DPR berasal dari parpol berdasar urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Bahkan, untuk ketua DPR ditegaskan berasal dari parpol peraih kursi terbanyak pertama di DPR.

Kesan membajak substansi perubahan ini dapat dilacak dari semua dokumen yang mengiringi pergantian UU No 27/2009. Di antara bukti yang menguatkan kesan ini bahwa sejak semula naskah akademik yang menjelaskan alasan dan pokok-pokok perubahan sama sekali tak pernah mencantumkan keinginan mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Patut diduga, munculnya gagasan ”akrobatik” mengubah mekanisme pemilihan pimpinan ini tak dapat dilepaskan dari polarisasi kekuatan parpol pendukung pasangan capres dan cawapres.

Sebetulnya, jika persetujuan ini terjadi jauh sebelum hasil pemilu legislatif diketahui dan polarisasi politik pengajuan pasangan capres dan cawapres belum terbentuk, perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR tak akan menimbulkan kecurigaan yang luas. Namun, begitu semuanya terbaca dan terbentang ke permukaan, tindakan akrobatik tersebut sulit dikatakan bukan merupakan bagian dari strategi untuk merampas kuasa politik di Senayan. Merujuk fakta itu, tak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa PDI-P menjadi pihak yang paling dirugikan dari perilaku akrobatik ini.

Selain masalah itu, jika diletakkan dalam bingkai desain kelembagaan lembaga perwakilan rakyat, perubahan mekanisme pengisian pimpinan DPR juga terjebak dalam cara berpikir yang inkonsisten dan tidak linear. Dalam hal ini, naskah pengganti UU No 27/2009 menggunakan cara pengisian yang berbeda antara pimpinan legislatif pusat dan pimpinan legislatif di daerah. Cara berpikir demikian bisa dilacak dengan pengaturan bahwa mekanisme pengisian pimpinan DPRD tak berbeda dengan yang lama, yaitu berasal dari parpol berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD. Bahkan, ketua DPRD tetap berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama.

Relasi DPR-presiden

Upaya akrobatik mengubah mekanisme tersebut tentu saja tidak berhenti sampai pada meraih posisi pimpinan dan ketua DPR saja. Dengan meletakkan dalam desain pola hubungan eksekutif-legislatif dalam UUD 1945, langkah politik mengubah pola ini hampir dapat dipastikan terkait dengan keinginan menciptakan pola relasi DPR-presiden setelah Pemilu 2014. Sebagai kelompok yang ”memenangi” pertarungan pergantian UU No 27/2009, parpol pendukung desain ini jelas bergerak dalam bingkai hubungan DPR-presiden selama lima tahun ke depan.

Meski proses persetujuan diambil sebelum dilakukan pemungutan suara pemilu presiden dan wakil presiden, pendukung desain ini pasti telah memperkirakan dua kemungkinan. Pertama, dengan komposisi suara mayoritas di DPR, apabila pasangan Prabowo-Hatta berhasil meraih kursi RI 1 dan RI 2, mereka menjadi lebih mudah memuluskan sekaligus menjalankan semua agenda pemerintah di DPR. Boleh jadi, suara-suara berbeda dari kekuatan parpol lain hanya akan menjadi aksesori dan pemanis proses politik di DPR. Bahkan, sangat mungkin kekuatan politik di luar barisan pendukung gagasan ini hanya jadi penonton bekerjanya ”mesin” pendukung Prabowo-Hatta di DPR.

Kedua, sekiranya Prabowo-Hatta gagal meraih suara mayoritas, sangat mungkin pendukung gagasan ini berubah menjadi kelompok penghambat agenda-agenda Jokowi-Kalla di DPR. Paling tidak, pendukung gagasan ini potensial mematrikan suasana tegang relasi DPR-presiden selama lima tahun ke depan. Dengan kemungkinan pilihan tersebut, Jokowi-Kalla akan selalu terbelenggu dengan ketegangan yang nyaris tidak berkesudahan. Hal ini tidak bermakna bahwa jika Prabowo-Hatta yang memenangi pemilu, pasangan ini akan terbebas dari rongrongan kelompok pendukungnya sendiri. Bukankah pengalaman pemerintahan SBY membuktikan betapa pragmatisnya pilihan politik pendukung koalisi.

Namun, perlu dicatat, misalnya, dalam fungsi legislasi, posisi pimpinan DPR tak selalu jadi penentu dalam pembahasan dan persetujuan bersama sebuah RUU. Dalam posisi demikian, seberapa besar pun kekuatan parpol yang ada di DPR untuk memuluskan penyelesaian RUU, semuanya tak akan terjadi jika presiden (pemerintah) menolak ikut membahas dan menyetujui bersama RUU sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Jadi, betapa pun lemahnya dukungan parpol di DPR, posisi presiden sama kuatnya dengan 560 anggota DPR.

Begitu pula dengan kemungkinan menggunakan ancaman pemakzulan, desain UUD 1945 tak lagi memberi ruang dengan mudah dan sederhana untuk memakzulkan presiden. Berkaca dari pengalaman relasi DPR-presiden dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pembelahan kekuatan politik di DPR lebih banyak bersifat pragmatis. Meskipun demikian, sebagian kekuatan yang bermain di balik layar akrobat perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dalam perubahan UU No 27/2009 akan selalu bertahan dalam posisi pragmatis. Karena itu, siapa saja yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, mereka tetap menjadi kekuatan kunci untuk merampas kuasa politik Senayan.

Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE