Oleh Saldi Isra
(Guru Besar Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas)

Tidak terasa, lebih empat bulan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Susno Duadji ditahan. Sepertinya, jenderal polisi bintang tiga itu sedang ditimpa nasib sial dalam upayanya membongkar praktik mafia di kepolisian. Seperti tengah melawan arus besar, Susno terpental saat berupaya meraih tanah tepi. Dengan dalil yang (mungkin) dicari-cari, tokoh sentral dalam skandal "cicak vs buaya" ini dijadikan tersangka dan ditahan dengan tuduhan suap.

Penetapan Susno menjadi tersangka (dan kemudian ditahan) telah diduga dan tidak begitu mengejutkan. Bisa jadi, kemurkaan sejumlah elite polri menjadi sulit dibendung ketika Susno membongkar sejumlah praktik mafia hukum. Di antara kasus yang dapat dikatakan sensitif yang dibeberkan Susno adalah kasus PT Arwana dan skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Dengan menyentuh praktik mafia hukum tersebut, bagi banyak pihak, membiarkan Susno melanjutkan aksinya potensial membuka semua borok jajaran kepolisian.

Karenanya, tak terlalu berlebihan penilaian sejumlah kalangan bahwa perubahan status hukum yang diikuti penahanan menjadi cara ampuh membungkam Susno. Meminjam istilah Peneliti Hukum ICW, Febri Diansyah, yang paling disesalkan publik agaknya tertuju pada kesan overprotective-nya kepolisian. Padahal, informasi Susno begitu berharga untuk membongkar kejahatan besar, tetapi sekaligus rentan disalahgunakan dalam praktik mafia hukum.

Dengan cara seperti itu, hampir dapat dipastikan, skandal pajak dan suap PT Arwana sulit diselesaikan secara tuntas. Padahal, publik menunggu arah penyelesaian sejumlah kasus termasuk transaksi keuangan mencurigakan petinggi Polri yang pernah disampaikan PPATK. Sulit dibantah, sebagai seorang perwira polisi yang pernah bertugas di PPATK, Susno pasti punya pengetahuan lebih dari cukup atas transaksi keuangan mencurigakan itu.  Karenanya, Susno pasti dipandang sebagai ancaman paling serius yang tidak mungkin dibiarkan bersuara bebas di ruang publik.

Ketika Susno berani memberikan keterangan atas sejumlah praktik mafia hukum, resistensi dan perlawanan sistemik menjadi sulit dielakkan. Meski demikian, sejumlah kalangan merasa optimis bahwa keterangan Susno masih dapat diproteksi dengan menggunakan konstruksi UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No 13/2006). Logikanya, UU No 13/2006 sengaja dirancang untuk memberikan perlindungan bagi mereka yang punya niat untuk memberikan keterangan (kesaksian) atas terjadinya tindak pidana.

Sayangnya, niat baik pembentukan UU No 13/2006 seperti tidak berlaku dalam kasus Susno. Keterangan Susno justru "memakan" dirinya sendiri. Buktinya, dia dijadikan tersangka dalam kasus PT Arwana. Kemudian, polisi menggunakan konstruksi Pasal 21 Ayat (1) KUHAP bahwa penahanan atas seorang tersangka dapat dilakukan karena diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.

Sebetulnya, tindakan kepolisian menjadikan Susno sebagai tersangka juga dipicu oleh tafsir keliru atas Pasal 10 Ayat (2) UU No 13/2006 yang menyatakan: seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan tersebut  dimaknai bahwa orang yang dijadikan tersangka dalam kasus yang sama tidak mendapatkan perlindungan.

Merujuk keterangan ahli Dr. Eddy OS Hiariej dalam sidang permohonan uji materiil UU No 13/2006 di MK (19/8), Pasal 10 Ayat (2) bersifat contra legem dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UU No 13/2006 yang hakikatnya menyatakan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Meski pendapat ahli itu mengundang debat mengenai impunity, paling tidak kasus yang dilaporkan harus diproses lebih dulu sebelum menentukan status hukum Susno.

Dengan diabaikannya keterangan yang diberikan dan penetapan pemberi  keterangan menjadi tersangka, penyidik mengabaikan manfaat yang seharusnya didapat dari keterangan Susno. Tidak hanya itu, tindakan demikian memberikan pesan kepada publik bahwa UU No 13/2006 tidak memberikan jaminan kepastian bagi pemberi keterangan dan kesaksian atas terjadinya suatu tindak pidana.

Manfaatkan pengadilan
Melihat perkembangan yang ada, Susno tidak mungkin berharap akan ada perubahan sikap di tubuh Polri termasuk di lingkaran eksekutif yang lain. Dengan mulai disidangkan, Susno harusnya mampu menggunakan ruang sidang melanjutkan upaya mengungkap praktik mafia hukum di kepolisian. Percayalah, ruang pengadilan tidak mungkin di bungkam oleh mereka yang merasa dirugikan oleh fakta-fakta yang dikemukakan Susno.

Merujuk pengalaman saat hadir di persidangan MK, mayoritas publik masih ingin mengetahui lebih banyak dari sekadar yang terungkap sejauh ini. Jika Susno mengungkapkan semuanya, dukungan publik bisa lebih besar dari apa yang telah dirasakan Susno selama ini. Dengan keberhasilan meraih dukungan publik, sangat mungkin, penjara hanya akan menjadi tempat transit sementara menuju tempat lain. Selain itu, dengan menjelaskan semua yang diketahui, diharapkan pengadilan melihat kasus Susno secara lebih komprehensif. Dengan cara itu, ujung proses persidangan Susno tidak berubah menjadi proses peradilan sesat.

Sebaliknya, jika tidak mau membeberkan semua yang diketahui, tambahan dukungan hanya impian belaka. Bahkan, bukan tidak mungkin, menutup sebagian fakta yang diketahui akan menurunkan dukungan publik secara drastis. Kalau hal itu yang terjadi, pertanda kiamat bagi Susno. Karena itu, Susno harusnya tidak mengabaikan arti penting proses persidangan yang tengah berlangsung. Petuah kuno menyebutkan: buruk muka, cermin dibelah. Adakah semua yang terjadi merupakan pertanda: "buruk kepolisian, Susno dibelah?" Semoga proses persidangan Susno menjawab semuanya.

 

Sumber:http://koran.republika.co.id/koran/0/118736/Membidik_Kasus_Susno