Sumber: Mahkamah Konstitusi
Pada 11 April 2017, Presiden Joko Widodo resmi melantik Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017 – 2022. Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 April 2017 lalu. Selain Saldi, Pansel Hakim MK saat itu juga menyerahkan dua nama lainnya, yakni dosen Universitas Nusa Cendana (NTT) Bernard L Tanya dan mantan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi.
Putra pasangan Ismail dan Ratina mempunyai nama sejak lahir, Sal. Ketika hendak mendaftar SD, kepala Sekolah menanyakan kepada Sang Ayah perihal namanya yang terlau pendek. Sang Ayah pun menambahi ‘–di’ di belakang namanya menjadi Saldi. Barulah pada kelas 6 SD, ia menambahkan nama ‘Isra’ sebagai nama belakangnya yang merupakan singkatan dari nama kedua orang tuanya tercinta.
“Jadi ISRA itu bukan saya lahir malam isra miraj itu gabungan dari orang tua laki-laki dan perempuan IS itu Ismail dan RA itu Ratina. Jadi ismali ratina itu saya improvisasi tanpa ijin ke orang tua saya, sudahlah saya buat sendiri saja,” kenang penyandang gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada tersebut.
Tersesat ke Jalan yang Benar
Saldi yang mengambil jurusan fisika pada masa SMA, tidak pernah terbayang untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Seperti kebanyakan anak muda seusianya kala itu, cita-citanya hanya masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) atau masuk AKABRI apalagi ia memiliki nilai di atas rata-rata. Ia pun memilih untuk mengikuti PMDK ke ITB, namun siapa sangka, takdir belum berpihak padanya. Ayah tiga anak itu pun tak patah arang. Ia kembali mencoba peruntungannya dengan mengikuti Sipenmaru pada 1988 untuk jurusan Geologi ITB. Kembali, ia harus menelan pil pahit ketika namanya tak lolos. Meski banyak omongan yang hendak mengecilkan semangatnya untuk menjadi mahasiswa ITB, Saldi tetap bersikeras untuk kembali mengikuti UMPTN 1989 dan kembali beroleh kegagalan.
Dua kali gagal, akhirnya membuat Saldi memutuskan hijrah ke Jambi untuk mencari kerja. Usai merasa uang yang dimilikinya cukup untuk melanjutkan kuliah, ia kembali mencoba peruntungannya. Pada 1990, ia kembali mendaftar UMPTN, namun jika sebelumnya ia memilih jurusan IPA, maka ia beralih menjadi IPC dengan pilihan jurusan yang pragmatis. Tiga jurusan tujuannya, yakni Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas, dan terakhir, Jurusan Ilmu Hukum Universitas Andalas. Pilihan terakhirnya, menurut Saldi, merupakan pilihan yang tidak ia pikirkan dan ia cantumkan untuk mengisi jurusan IPS.
Pada akhirnya, Saldi pun lolos UMPTN, namun pada jurusan yang tak ia duga sebelumnya; Ilmu Hukum. Namun keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi tercapai. Ia pun kembali ke Padang dari perantauannya ke Jambi. Namun berita lolosnya Saldi sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas tidak serta-merta disambut baik oleh keluarga di Paninggahan, Solok. Keluarga menginginkannya tetap bekerja untuk menyokong perekonomian. Akan tetapi, ia berhasil meyakinkan keluarganya bahwa kuliahnya nantinya tidak akan memberatkan perekonomian keluarga. Untuk itulah, setiap akhir minggu, ia memutuskan mengajar di Madrasah Aliyah dekat dengan kampung halamannya.
Bagi Saldi, menjadi mahasiswa Fakultas Hukum benar-benar pengalaman baru. Jika sebelumnya, ia lebih familiar dengan rumus-rumus matematika dan fisika, kala itu ia harus banyak membaca dan menulis. Ia tetap tekun menjalani masa perkuliahannya sebagai mahasiswa fakultas hukum dan akhirnya menghasilkan Indeks Prestasi Semester 3,71. Ia lebih teryakinkan bahwa pilihannya tidak salah ketika pada Semester 2, Saldi meraih IP 4. Maka tak mengherankan ketika menamatkan pendidikan S1 pada 1995, ia mendapat Predikat Summa Cum Laude dengan IPK 3,86. Usai menamatkan pendidikan S1, Saldi yang merupakan lulusan terbaik langsung dipinang untuk menjadi dosen di Universitas Bung Hatta hingga Oktober 1995 sebelum akhirnya berpindah ke Universitas Andalas, Padang.
Akademisi, Penulis, sekaligus Aktivis
Ia pun mengabdi pada Universitas Andalas hampir 22 tahun lamanya sambil menuntaskan pendidikan pascasarjana yang ia tuntaskan dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia (2001). Kemudian pada 2009, ia berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude. Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Di sela kegiatannya sebagai pengajar, Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional. Ribuan karyanya yang ia tulis sejak masih duduk di bangku mahasiswa membuatnya dikenal luas di kalangan masyarakat. Tak heran, jika wajahnya kerap berseliweran di media massa baik elektronik maupun cetak sebagai narasumber. Ia pun dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan. Tak hanya itu, ia juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Tanah Air. Oleh karena itu, ia dikenal dalam dunia hukum tata negara Indonesia sebagai seseorang yang ‘tumbuh di jalanan’.
Impian yang Terwujud
Hal inilah yang awalnya membuat Saldi khawatir dan berulang kali memikirkan impiannya menjabat sebagai hakim konstitusi. Sebagai seorang yang bergelut dalam bidang tata negara, ia tak memungkiri memiliki impian untuk duduk sebagai hakim konstitusi. Namun, ia menuturkan impiannya menduduki posisi itu setelah usia 55 tahun. Akan tetapi, tiada yang dapat mengira jalan takdir yang dituliskan Tuhan untuk seorang Saldi Isra. Justru di usia yang masih terbilang muda yakni 48 tahun, posisi yang ia impikan berhasil ia duduki.
Bukanlah hal mudah bagi Saldi memutuskan untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang hakim konstitusi. Pergolakan batin dalam dirinya yang merasa belum mumpuni dari sisi usia hingga beratnya hati untuk menanggalkan status sebagai dosen menjadi pemikirannya. Pada akhirnya, kata-kata yang diberikan oleh Mantan Ketua MK periode 2008 – 2013 Moh. Mahfud MD berhasil menggugah hatinya untuk mendaftarkan diri pada proses seleksi hakim konstitusi tahun 2017 yang dibuka Presiden Joko Widodo. “Pak Mahfud pernah mengatakan ‘Mas, kalau Anda tetap tidak mau daftar, Anda sebetulnya tidak mau membuka jalan untuk generasi baru di MK. Nah, itu beberapa pertimbangan saya,” kenang penggemar olahraga bulutangkis ini.
Keberhasilannya tak lepas dari dukungan sang istri tercinta, Leslie Annisaa Taufik dan ketiga orang buah hatinya. Bagi Saldi, keluarga adalah tempat ia kembali pulang dan memulihkan kondisi jiwa dan raga dari jenuhnya aktivitas. Keluarga baginya adalah penyemangat hidup. Ia selalu berupaya untuk makan malam bersama dengan istri dan buah hatinya ketika ia kembali ke Padang.
“Saya kembali dari Jakarta itu dengan pesawat terakhir itu dari Jakarta 19:50. Sampai di Padang pukul 22.00 WIB dan itu saya berusaha untuk tidak makan di penerbangan maupun lounge supaya bisa makan bersama mereka (istri dan anak-anak). Padahal dari bandara ke tempat saya itu berjarak sekitar 35 kilometer. Rata-rata sampai rumah pukul 11.00 malam dan (mereka) masih menunggu,” ceritanya.
Di akhir pembicaraan, ia berharap keberadaannya di MK dapat memberikan sumbangsih bersama dengan hakim konstitusi lainnya beserta segenap pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK untuk mengembalikan muruah MK. Ia berharap semua elemen di MK bekerja di satu titik secara optimal hingga pelan-pelan membawa MK ke level yang lebih tinggi.