Sabtu, 10 Desember 2011

Empat pimpinan KPK periode 2011-2015 akhirnya terpilih melalui voting di Komisi III DPR RI yang dilanjutkan dengan terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua.
Keputusan politik itu mengejutkan banyak kalangan, terutama Abraham yang dinilai sebagai anak muda dari daerah dan belum berpengalaman menghadapi dinamika pemberantasan korupsi di pusat pemerintahan negeri ini.
Sikap seperti itu juga sempat menghinggapi guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Prof DR Saldi Isra, yang mengaku sempat kaget dengan terpilihnya Abraham. Karena itu, Saldi berpendapat, tugas pertama Abraham adalah membangun soliditas pimpinan serta komunikasi yang baik dengan komisioner lain yang notabene jauh lebih tua darinya.
Kasus-kasus yang dinanti penyelesaiannya itu, menurut Saldi, adalah kasus dugaan korupsi pada pencairan dana talangan untuk Bank Century, kasus dugaan suap dengan cek pelawat yang diduga untuk memenangkan Miranda Goeltom sebagai pejabat BI, kasus-kasus yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, dan kasus dugaan korupsi BLBI.
Lebih lanjut Saldi menuturkannya kepada wartawan Harian Umum Suara Karya Nefan Kristiono dan fotografer Muhammad Guntur.
Pansel Capim KPK menerapkan ranking delapan nama calon pimpinan KPK kepada Presiden. Apakah penerapan sistem itu untuk menguntungkan salah seorang calon?
Kami anggota Pansel Calon Pimpinan KPK pernah menanyakan kepada Pak Patrialis (Ketua Pansel) apakah ada pesanan tertentu yang harus kita perhatikan selama pemilihan (calon pimpinan KPK - Red) ini. Pak Patrialis mengatakan ini betul-betul independen, tidak ada pesanan apa-apa.
Perdebatannya apa sehingga timbul gagasan sistem ranking itu?
Kita memang sudah berdebat dari awal, apakah sistem ranking itu digunakan atau tidak. Sistem ranking itu kemudian kita pilih karena itu memang fakta yang ditemukan. Bagaimana Anda mengatakan ada calon di ranking sembilan atau 10 yang tidak diloloskan, jika tidak ada ranking delapan sampai ranking satu. Jadi, apa yang salah dengan sistem ranking tersebut?
Jadi, bukan karena Pansel mengharap DPR akan memilih empat nama teratas dari ranking yang dibuat?
Harapannya, iya. Meskipun kami berpikir secara realitas politik, hal itu sulit terjadi. Paling tidak, ranking tersebut bisa menahan agar pilihan DPR tidak terlalu jauh dari hal yang kita bayangkan ideal.
Dari hasil fit and proper test DPR terhadap calon pimpinan KPK, Anda merasakan apa?
Begitu empat pimpinan (KPK - Red) itu terpilih, saya merasa sebagai pilihan yang masuk akal dan masih bisa diterima akal sehat, melihat konstelasi politik yang ada di Komisi III.
Jadi, Pansel ingin membentuk komposisi pimpinan KPK yang kuat?
Ya. Dari berbagai latar belakang. Sebab, memang kebutuhan yang diperlukan untuk KPK, menurut Pansel.
Begitu saya tahu hasil pilihan DPR, yang saya pikirkan, 'Sayang sekali Pak Yunus tidak terpilih.' Karena, menurut kita, Pak Yunus itu latar belakang dan keahliannya (pengalaman di PPATK dan menguasai soal perbankan), akan sangat bermanfaat banyak untuk KPK.
Padahal, semula saya tidak begitu yakin Bambang Widjojanto tidak lolos. Bahkan, kalau ada yang menanyakan mana yang peluangnya besar untuk lolos, Bambang atau Yunus. Saya selalu katakan peluang Yunus yang lebih besar. Bahkan menjelang pemilihan fit and proper test dilakukan, saya masih yakin peluang Yunus-lah yang besar.
Soal terpilihnya Abraham sendiri bagaimana?
Saya termasuk orang yang kaget. Kaget karena, pertama, sosok Abraham memang integritasnya tidak kita ragukan, tetapi dia kan masih banyak bermain di tingkat lokal. Tetapi, waktu pemilihan dia bisa mendapat dukungan 55 suara, sama dengan suara yang diperoleh Bambang Widjojanto. Itu yang membuat saya kaget.
Kekagetan saya pun bertambah ketika dia terpilih menjadi ketua. Bahkan, dengan suara mayoritas. Kemudian, saya berpikir, ada faktor senioritas yang seharusnya perlu dipertimbangkan oleh kawan-kawan Komisi III DPR RI. Sebab, di situ (calon pimpinan KPK lainnya - Red) ada Pak Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Pak Zulkarnain, dan Pak Adnan Pandupraja. Kan akan ada hambatan psikologis saat Abraham Samad berhadapan dengan para senior itu.
Tetapi, saya harus mengatakan bahwa memang sulit membangun logika yang linier antara apa yang kita bayangkan dengan pilihan politik di DPR. Meski begitu, saya beranggapan masalahnya tidak terlalu besar, sebab sistem kepemimpinan di KPK adalah kolektif kolegial. Dengan konsep itu, seharusnya tidak perlu ada hambatan psikologis karena dia dan empat orang komisioner yang terpilih adalah pimpinan yang sama. Ketua hanya untuk keperluan administrasi.
Hal yang kedua, supaya sistem kolektif kolegial berjalan, saya pernah ungkapkan kepada Abraham, beberapa saat setelah dia terpilih sebagai ketua, bahwa jangan pernah berpikir bahwa dia adalah ketua. Tetapi, yang harus dia pikirkan adalah kelima orang itulah ketuanya. Jadi, anggaplah ini adalah sekelompok orang yang diberi mandat yang sama dan harus bekerja bersama.
Saya berharap sikap seperti itu bisa membangun soliditas. Dengan demikian, membuat KPK bisa bekerja lebih kencang lagi.
Pansel ingin KPK bisa menangani kasus-kasus ekonomi yang rumit. Sedangkan pimpinan yang terpilih sekarang memiliki latar belakang yang homogen, yaitu hukum. Bagaimana menyikapinya?
Itu hanya persoalan teknis yang tidak terlalu rumit mengatasinya. Hal yang dari awal kita pertimbangkan sebenarnya adalah Pansel harus menemukan orang yang tidak akan menjadi beban KPK setelah terpilih. Sebab, jika ada orang yang terpilih memiliki banyak masalah, maka hal tersebut bisa digunakan untuk menyandera KPK di kemudian hari. Itu kriteria yang kita sepakati dari awal.
Apakah dengan komposisi komisioner saat ini, KPK jilid III akan lebih represif dari sebelumnya?
Sebetulnya bukan soal seperti itu. Tetapi, sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus besar yang masih terbengkalai seperti harapan publik dan janji yang mereka ungkapkan saat mengikuti proses seleksi. Misalnya, Abraham Samad menyatakan akan mundur jika dalam satu tahun tidak bisa menyelesaikan empat kasus besar itu.
Sepanjang mereka solid, saya percaya mereka sanggup menyelesaikan kasus-kasus besar. Tetapi, saya tidak tahu kasus besar yang dimaksud Abraham.
Apakah di antara empat komisioner baru itu, menurut Anda, ada yang bisa tersandera oleh kekuatan di balik kasus besar tadi?
Itu pertanyaan menarik, terutama kalau kita perhatikan dukungan yang demikian besar kepada Abraham Samad, misalnya. Ini apakah benar-benar dukungan sesungguhnya, atau apa?
Saya menganggap jika ada komunikasi mereka kepada orang partai politik semata-mata merupakan cara agar para calon itu bisa terpilih. Tetapi, setelah terpilih mereka harus meninggalkan semua komitmen dengan partai politik terutama komitmen yang mengancam agenda pemberantasan korupsi. ***


Source:http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=292850