Peran Perguruan Tinggi

dalam Pemberantasan Korupsi

(Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari ”Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pendidikan Tinggi Hukum,

dan Launching Pembukaan Program Kekhususan Anti-korupsi”, diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa-Padang, di Hotel Inna Muara, Padang, 14 Maret 2009)

Oleh Saldi Isra

Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) F.Huk UNAND, Padang.

Kesatu

Dewasa ini, korupsi adalah masalah serius di banyak negara-negara Asia.[1] Begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum.[2] Dalam pandangan Peter Eigen, sampai batas-batas tertentu, korupsi tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusi, lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang di seluruh dunia.[3]

Di Indonesia, misalnya, dari waktu ke waktu, perkembangan tindak pidana korupsi sudah begitu meluas dalam masyarakat. Perluasan itu tidak hanya dalam jumlah kerugian keuangan negara dan kualitas tindak pidana yang dilakukan, tetapi juga semakin sistematis dan meluas sehingga menimbulkan bencana terhadap perekonomian nasional. Dalam sudut pandang hak asasi manusia, tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Karenanya, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). [4]

Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu meruyak di Indonesia. Begitu parahnya, bentuk penyalahgunaan wewenang itu malah dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak heran kalau dalam tiga tahun terakhir lembaga riset Political and Economic Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Prediket serupa datang pula dari Transparency International yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.[5]

Kedua

United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan korupsi sebagai the misuse of public power, office or authority for private benefit –through bribery, extortion, influence peddling, fraud, speed money, or embezzlement.[6] Hampir sejalan dengan UNDP, buku Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook memaknai korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan personal atau untuk keuntungan individual atau kelompok yang kepadanya seseorang berhutang kepatuhan/kesetiaan.[7]

Pengertian korupsi yang dikemukan UNDP dan buku Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook dapat dikatakan sebagai racikan dari pandangan Syed Hussein Alatas (1999), William J Chambliss (1973), dan Milovan Djilas (1973). Alatas cenderung melihat peranan segelintir tokoh yang berintegritas tinggi. Sedangkan Chambliss melihat korupsi sebagai bagian integral dari sebuah birokrasi akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi. Mereka ini, menurut Chambliss merupakan satu cabal (jejaring) yang tertutup, yang sukar dibongkar dari daam dan tidak juga mudah diubah dari luar (pendekatan struktural). Sementara Djilas lebih melihat korupsi dalam kaitan munculnya ‘kelas’ baru di negara-negara sosialis. [8]

Berdasarkan pandangan Alatas, Chambliss dan Djilas, Aditjondro membagi korupsi menjadi tiga lapis. Korupsi lapis pertama, suap (bribery) di mana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau penguasa pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara. Pemerasan (extortion) di mana prakarsa untuk meminta balas jasa datan dari birokrat atau pejabat pelayanan publik lainnya.Korupsi lapis kedua, nepotisme (diantara mereka yang punya hubungan darah dengan pejabat publik), kroniisme (diatara mereka yang idak punya hubungan darah dengan pejabat publik), ‘kelas baru’ (terdiri dari semua kader partai pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai semua pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting).Korupsi lapis ketiga, jejaring (cabal) yang bisa bercakup regional, nasional, aupun internasional, yang meliputi unsur pemerintahan, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum.[9]

Terlepas dari berbagai pandanga tentang korupsi, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, disebutkan ada lima faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, (3) faktor ekonomi dan birokratik, dan (4) faktor transnasional.[10]

Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Edmund Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu Ahmad Attory Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli suara, menyogok, merasuah calon-calon pemilihan atau angota-anggota partai supaya memenangkan si pemberi uang.[11]

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Bahkan, dalam praktik, tidak jarang peserta pemilihan umum membeli suara pemilih.[12] Untuk pemilihan kepala daerah, misalnya, disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk mendapatkan dukungan partai politik.[13]

Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyeba terjadinya korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertayaan: mengapa begitu sulit mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi.[14]

Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin tumbuh subur di negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Kekuasaan negara, digabungkan dengan informasi orang dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan bagi para pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau kepentingan para sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi pemerintah dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab. Sementara itu, faktor transnasional amat terkait dengan perkembanga lintas negara peningkatan kasus-kasus korupsi. [15]

Berbeda dengan pandangan di atas, dalam studi komparasi terhadap control of bureaucratic corruption di Hong Kong, India, dan Indonesia L Palmer (1985) mengidentifikasi tiga faktor penting penyebab terjadinya korupsi: opportunities (which depended on the extent of involvement of civil servant in the administration), salaries and policing (the probability of detection and punishment).[16] Namun, dari semua pendapat yang ada, pendapat Robert Klitgaard termasuk yang paling sering digunakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya korupsi. Menurut Klitgaard, korupsi (C) terjadi karena monopoli (M) ditambah dengan adanya diskresi oleh pejabat yang berwenang (D). Di mana, monopoli dan diskresi dilakukan tanpa akuntabilitas (A). Pandangan Klitgaard ini diformulasikan menjadi C = (M + D) – A.[17]

Ketiga

Pengalaman sebelum pemilihan langsung kepala daerah. Perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah merupakan sebuah keniscayaan dalam melakukan reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari segi politik ketatanegaraan, perubahan paradigma itu mesti terjadi dari pemerintahan yang bercorak highly centralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi. Tujuannya, mencegah terulangnya praktik strong state and weak society yang menutup ruang terhadap aspirasi masyarakat. Salah satu strategi perubahan tersebut, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22/1999) memberikan kekuasaan politik yang lebih besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan memisahkan secara tegas posisi legislatif daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah (Kepala Daerah).

Di luar pemisahan itu, ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan bahwa UU 22/1999 memberikan kekuasaan lebih kepada DPRD yaitu berupa kewenangan DPRD untuk menentukan kata-putus dalam proses pemilihan kepala daerah. Perubahan yang terjadi, memberikan DPRD posisi bargaining yang lebih dominan dalam menentukan pemimpin daerah. Di samping itu, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada DPRD untuk memberhentikan kepala kaerah di tengah masa jabatan. Hal ini dapat terjadi kalau laporan pertanggungjawaban tahunan (annual report) dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu (seperti melakukan tindak pidana) ditolak oleh DPRD.[18]

Pada awalnya, perubahan yang dibawa oleh UU No. 22/1999 terhadap posisi DPRD diharapkan akan memberikan nilai positif dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Tetapi dalam praktik yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar anggota DPRD kehilangan kepekaan dalam menyahuti kepentingan publik yang lebih luas. Misalnya, mengemukanya isu praktik politik uang (money politics) dalam hampir setiap pemilihan kepala daerah, serta munculnya kekisruhan dalam pertanggungjawaban kepala daerah.

Menarik apa yang ditulis oleh Andrinof A. Chaniago, anggota DPRD yang seharusnya berperan mengontrol tindakan eksekutif justru berkembang ke arah pemerasan negara oleh politisi. Para politisi lembaga legislatif daerah cenderung menggunakan kesempatan untuk menekan eksekutif agar mau melakukan penggerogotan keuangan negara lewat proses pengajuan Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah dan lewat mekanisme laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah.[19] Dalam hal ini patut pula disimak laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa selama kurun waktu 2004 terdapat 432 kasus korupsi yang meliputi hampir di semua wilayah Indonesia (lihat Tabel 1 dan 2). Dilihat dari sisi aktor, laporan ICW menunjukkan, 432 kasus korupsi yang terjadi pada 2004 menyeret mayoritas dua elit lokal di daerah, yakni anggota DPRD (124 kasus) dan Kepala Daerah (83 kasus).

Tabel 1

Kasus Korupsi di Daerah

Sumber: Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 ICW

Tabel 2

Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Sumber: Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 ICW

Keempat

Pengalaman ketika pemilihan langsung kepala daerah. Sebelum pemilihan langsung kepala daerah memberi ruang kepada calon perseorangan, sebagian partai politik benar-benar menikmati ”berkah” pemilihan langsung di daerah. Meski tidak ada pengakuan, jamak diketahui, mayoritas calon harus mengucurkan dana kepada partai politik agar bisa dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah. Misalnya, dalam proses seleksi pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, (sebagian) partai politik berubah menjadi mesin uang. Begitu proses pencalonan dibuka, partai politik pun meraup uang bagi mereka yang berminat. Mirip dengan pukat harimau, jumlah uang yang diraup juga sangat bervariasi, mulai dari ratusan juta rupiah sampai dengan (tawaran) ratusan miliar rupiah.

Setidaknya, testimoni Slamet Kirbiyantoro yang mengaku memberikan Rp 1,5 miliar kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Djasri Marin memberikan Rp 2 miliar kepada PDI-P dan Partai Persatuan Pembangunan (http:// www. antikorupsi. org) cukup untuk menjelaskan bagaimana partai politik (parpol) bekerja menjadi mesin uang. Jika ditambah dengan keterangan yang pernah dilansir Faisal Basri dan Sarwono Kusumaatmadja, mesin uang itu bekerja seperti pukat harimau. Dalam hal ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku kecewa dengan adanya pensiunan jenderal yang bakal dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta harus menyetorkan sejumlah dana kepada partai politik (Kompas, 23/6/2007). Ibarat investasi, uang yang ditanamkan selama dalam proses menjadi kepala daerah harus dikembalikan. Karena gaji seorang kepala daerah tidak untuk mengembalikan uang yang ditanamkan selama proses menjadi kepala daerah, penyimpangan (misalnya: korupsi) menjadi pilihan sulit dielakkan.

Praktik serupa meluas, di samping tidak adanya ancaman terhadap parpol, ancaman pidana bagi penyumbang dan penerima sumbangan dinilai terlalu ringan. Penyumbang hanya diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta. Sementara itu, pengurus parpol yang menerima sumbangan melebihi batas maksimum diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Melihat jabatan politik yang akan diraih dan posisi politik penerima, ancaman sanksi tersebut sulit untuk menghentikan terjadinya praktik politik uang dalam proses seleksi kepala daerah. Tambah lagi, formula sanksi dengan menggunakan rumusan "dan/atau" memberi ruang kepada hakim untuk hanya menjatuhkan sanksi denda semata, tanpa pidana penjara. Karenanya, kasus korupsi di daerah masih marak (lihat gambar).

Gambar 1

Peta Korupsi Daerah versi ”Kompas”

Sumber: Kompas, 21/07-2008

Kelima

Setelah terbukanya ruang bagi calon perseorangan untuk maju sebagai calon kepala daerah, tidak otomatis akan menghilangkan praktik korupsi di daerah. Paling tidak, tiga alasan berikut amat potensial memicu praktik korupsi di daerah, yaitu: (1) dana jumlah besar yang diperlukan incumbent untuk maju lagi sebagai calon kepala daerah periode berikutnya, (2) masih bagi incumbent, besarnya dana yang diperlukan untuk kampanye (seperti iklan) dengan alasan iklan program kerja, dan (3) ongkos politik bagi kepala daerah yang minority government guna menjaga “stabilitas” dengan DPRD.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mencegah praktik korupsi sebagai dampak pelaksanaan otonomi daerah itu? Jawabnya: menutup semua celah hukum yang memudahkan praktik politik uang (money politik) dalam proses politik di daerah dan menghukum berat para pelaku korupsi!

Keenam

Sebelum menjelaskan sub topik di atas, terlebih dahulu harus dijelaskan sikap dan posisi perguruan tinggi dalam mainstreaming isu korupsi selama ini. Maksudnya, apakah sikap dan posisi perguruan tinggi selama ini menegasikan agenda pemberantasan korupsi, atau justru sebaliknya yaitu mengafirmasi praktik korupsi?[20]

Pertanyaan (yang bersifat otokritik) tersebut muncul karena beberapa latar pemikiran. Pertama, dalam beberapa tahun terakhir, dari perguruan tinggi (khususnya di fakultas hukum) sering munculnya “saksi ahli” yang meringankan tersangka atau terdakwa korupsi. Kedua, sebagian kalangan perguruan tinggi yang bersuara lantang di kampus, setelah berpindah ke dunia lain sering terjebak dalam kasus “korupsi berjamaah”. Kasus yang menimpa Komisi Pemilihan Umum cukup untuk menjelaskan kondisi tersebut.[21] Karena kedua perkembangan itu, sering terjadi generalisasi bahwa perguruan tinggi, baik dalam kapasitas kelembagaan maupun personal, sudah menjadi bagian dari sitem yang korup dan karenanya sudah tidak punya kredibilitas dan integritas moral untuk bersuara lantang melawan korupsi.[22]

Ketiga, secara kelembagaan, perguruan tinggi (barangkali, dengan pengecualian sebagian organisasi kemahasiswaan) belum menampilkan sosok sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.[23] Padahal, secara individu, cukup banyak kalangan kampus (terutama staf pengajar dan mahasiswa) yang terlibat secara langsung dalam agenda pemberantasan korupsi. Keempat, sampai sejauh ini, perguruan tinggi masih belum terjamah oleh isu-isu antikorupsi. Padahal, tidak ada jaminan bahwa perguruan tinggi terbebas dari praktik korupsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, peran apakah yang seharusnya dilakukan oleh perguruan tinggi dalam agenda pemberantasan korupsi. Dengan tetap berpegang pada ‘doktrin’ Tri Dharma Perguruan Tinggi, setidaknya ada tiga peran penting yang harus dimainkan oleh perguruan tinggi.

Pertama, dalam segenap aktifitas (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) perguruan tinggi seharusnya memberikan ruang bagi berkembangnya agenda pemberantasan korupsi. Agenda ini akan amat terbantu kalau perguruan mampu memperbaiki kecenderungan yang disebutkan di atas.

Kedua, menjadi agenda setter dalam narasi besar (grand narration) pemberantasan korupsi. Kecenderungan selama ini, peran tersebut lebih banyak dilakukan oleh kalangan di luar perguruan tinggi terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).[24] Padahal, dalam pembaruan agenda pemberantasan korupsi, sebagian LSM juga melibatkan tenaga dan pemikiran dari perguruan tinggi. Oleh karenanya, perguruan tinggi harus mampu melakukan peran sebagai comprehensive anticorruption legislation reform[25] terutama memperbaharui aturan-aturan hukum yang tidak membantu agenda pemberantasan korupsi.

Ketiga, berupaya melakukan peran ganda sekaligus. Pada salah satu sisi, melakukan PRESSURE FROM WITH IN dalam bentuk building capacity lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan agenda pemberantasan korupsi. Sementara di sisi lain, melakukan PRESSURE FROM WITH OUT yaitu dengan melakukan ‘pengawalan’ secara ketat terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Ketujuh

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, perguruan tinggi amat diharapkan menjadi ujung tombak pmberantasan korupsi. Kalau peran itu dilakukan, meruyaknya praktik korupsi yang terjadi di daerah selama beberapa tahun terakhir bisa diminimalisir.



[1] Jon ST Quah, (2003), Causes and Cosequences of Corruption in Southeast Asia: Analysis of Indonesia, the Philippines and Tahiland, dalam Asian Journal of Public Administration, Volume 25, No. 2.

[2] Romli Atmasasmita, (2004), Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca-Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Menjelang Pengadilan Anti-Korupsi di Indonesia”, diselenggarakan oleh British Council, 15-16 September, di Jakarta.

[3] Peter Eigen, Pengantar, dalam Jeremy Pope, (2003), Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

[4] Bandingkan dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[5] Masyarakat Transparansi Indonesia, (2005), Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

[6] Jon ST Quah, (2003), Singapore’s Anti-Corruption Strategy: Is this Form of Governance Transferable to Others Asian Countries?, dalam John B Kidd dan Frank Jurgen Richter, Corruption and Governance in Asia, Palgrave Macmillan.

Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999). Pasal 2 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian.

[7] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.

[8] George Junus Aditjondro, (2002), Membedah Kembar Siam Pengusaha Politik dan Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sitemik bagi Aktivis dan Wartawan, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta.

[9] Ibid.

Uraian lebih jelas dan sistematis tentang ketiga lapis korupsi dapat dibaca dalam Rusdi Tampo, (2005), Ayo Lawan Korupsi: Gerak dan Langkah membangun Semangat Antikorupsi di Sulawesi Selatan, LBH P2I Makassar.

[10] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.

[11] Dikutip dalam Saldi Isra, (2000), Ancaman Politik Uang dalam Pemilihan Gubernur, Bukittinggi Pos, 10-16 Januari.

[12] Lebih jauh tentang isu ini dapat dibaca dalam Saldi Isra, (2004), Kampanye dengan Uang Haram, Citra Budaya Indonesia, Padang.

[13] Saldi Isra, (2005), Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu Krusial, dalam Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1, Jakarta.

[14] Saldi Isra, (2004), Getting rid of corruption in Indonesia: The future, dalan The Jakarta Post, Edisi Khusus Akhir Tahun, 30 Desember, Jakarta.

[15] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran …

[16] Jon ST Quah, (2003), Causes and…

[17] Robert Kiltgaard, (1988), Controlling Corruption, University of California Press, Berkely.

[18] Saldi Isra, 2002, Potret Lembaga Perwakilan Rakyat, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 18, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

[19] Andrinof A. Chaniago, 2002, Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.

[20] Pertanyaan (baca: gugatan) ini pernah saya sampaikan dalam Focused Group Discussion Pertama persiapan Anti-Corruption Summit yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 22 Juni 2005.

[21] Kedua poin ini adalah sebagian dari jawaban atas pertanyaan otokritik yang muncul dalam even pada catatan kaki 24.

[22] Ibid.

[23] Dalam hal ini menarik membaca buku Ayo Lawan Korupsi (2005), dari 22 organisasi yang bergerak membangun semangat antikorupsi di Sulawesi Selatan tidak satupun yang berasal dari perguruan tinggi.

[24] Lebih jauh tentang hal ini baca Richard Halloway, (1999), NGOs Fighting Corruption, Makalah disampaikan dalam 9th International Anti-Corruption Conference, Durban South Africa, 10-15 Ocotober.

[25] Tentang hal ini baca Jon ST Quah, (2004), Best Practices for Curbing Corruption in Asia, dalam The Governance Brief, Asian Development Bank.