Quo Vadis Pemekaran Daerah?[1]
Oleh Saldi Isra[2]
A. Otonomi Dan Pemekeran Daerah
Pengertian otonomi berarti pemerintahan sendiri (auto = Sendiri, nomus = pemerintahan) yang mempunyai makna kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dapat disebut pula penyerahan penuh kepada daerah otonom untuk melaksanakan urusan rumah tangga.
Dalam negara kesatuan, otonomi dapat dilihat dari empat sudut pandang. Pertama, ditinjau dari sudut politik sebagian permainan kekuasaan yang dapat mengarah kepada penumpukan kekuasaan yang seharusnya kepada penyebaran kekuasaan (distribution or dispersion of power). Tetapi juga sebagai tindakan pendemokrasian untuk melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. Kedua, ditinjau dari sudut teknis organisatoris sebagai cara untuk menerapkan dan melaksanakan pemerintahan yang efisien. Ketiga, ditinjau dari sudut kultural adanya perhatian terhadap keberadaan atau kekhususan daerah. Keempat ditinjau dari sudut pembangunan, desentralisasi atau otonomi secara langsung memperhatikan dan melancarkan serta meratakan pembangunan.
Lebih jauh lagi, otonomi tidak saja merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang sifatnya technical administration atau pratical administration saja tetapi terdapat adanya kebebasan daerah dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan berdasarkan aspirasi dari rakyat dalam wilayah territorial otonomi. Proses tersebut merupakan suatu process of political interaction, hal ini berarti bahwa otonomi sangat erat kaitannya dengan demokrasi, hal mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi pada tingkat nasional dalam suasana sentralistik, melainkan juga demokrasi ditingkat lokal (local democracy) yang arahnya kepada pemberdayaan (empowering) atau kemandirian daerah.
Salah satu cara untuk menjalankan otonomi daerah tersebut adalah melalui pembentukan daerah. UUD 1945 mengatur bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya. Kemudian Pasal 4 ayat (3) UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi; ”Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Ketentuan ini kemudian lebih teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Daerah, yang menggantikan PP No 129/2000.
Mengacu kepada PP 78 Tahun 2007 tersebut, proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
(1) Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah.
(2) Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
(3) Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Namun dalam praktiknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Praktiknya selama ini, yang meminta pemekaran adalah daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (daerah induk) dan tidak mendapatkan pemerataan pelayanan pubik. Sehingga yang terjadi pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan pembangunan, tetapi kepentingan elite nasional dan elite lokal.
B. Pemekaran Daerah di Era Reformasi
Sampai saat, sudah ada 483 kabupaten/kota dari 33 provinsi yang terbentuk. Penambahan daerah ini dimulai pada tahun 1999. Sampai tahun 2008, sudah ada penambahan 191 Daerah Otonom Baru (DOB). Rinciannya, tahun 1999 sebanyak 45 DOB, tahun 2000 sebanyak tiga DOB, tahun 2001 sebanyak 12 DOB, tahun 2002 sebanyak 38 DOB, tahun 2003 sebanyak 49 DOB, tahun 2004 sebanyak 1 DOB, pada tahun 2007 sebanyak 25 DOB dan tahun 2008 sebanyak 18 daerah pemekaran, dan tahun 2009 sudah ada 2 DOB.
Pemekaran paling banyak terjadi di Papua. Selama 2008 telah lahir delapan daerah baru. Yaitu, Kabupaten Mambremo Tengah, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Dogiyai. Keenam kabupaten tersebut berada di Papua. Disusul Sumatera Utara sebanyak lima daerah. Kemudian tiga daerah baru lahir di Lampung dan dua daerah masing-masing di Sulawesi Utara dan Maluku. Provinsi-provinsi yang memiliki satu daerah baru adalah Jambi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Papua Barat, serta Bengkulu dan Banten.
Selain itu, disahkan UU Nomor 35/2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2008 menjadi UU tentang Perubahan atas UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa saat ini otsus meliputi dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Sebagai catatan, untuk otsus di tiga provinsi (Papua, Papua Barat, dan Aceh), pemerintah mengalokasikan dana otsus Rp 8,7 triliun pada 2009.
Di tahun 2009 ini, DPR sudah mengesahkan dua Undang-undang pembentukan daerah. Yakni; Undang-undang No. 12 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti di Propinsi Riau dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Propinsi Papua Barat. Dengan demikian, di Indonesia sekarang terdapat 33 provinsi, 396 kabupaten, dan 93 kota.
Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi
Sejak Pemberlakuan UU 22/1999
![]() |
C. Pemekaran yang Salah Sasaran
Pada 2001, jumlah kabupaten/kota di Indonesia 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah 4 provinsi baru). Jumlah ini terus meningkat hingga pada awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota. Suatu pertumbuhan pemerintah daerah yang sangat fantastis terutama pada jumlah kabupaten/kota baru. Jumlah ini akan terus meningkat seiring masih berkembangnya tuntutan daerah untuk dapat dimekarkan. Tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN akibat adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.
Hingga awal tahun 2009 ini Departemen Dalam Negeri telah menerima usulan pembentukan sebanyak 21 provinsi baru dan 94 kabuapaten/kota, selama kurun waktu 2008. Departemen Dalam Negeri dalam evaluasinya menyebutkan 104 daerah (lima provinsi dan 97 kabupaten) pemekaran yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2004, sekitar 76 di antaranya masih bermasalah. Berbagai macam masalah yang timbul, dari mulai aset daerah induk yang belum diserahkan ke daerah pemekaran sampai letak ibu kota yang masih belum pasti. Penjelasan pada awal 2005 dari Depdagri, beberapa persoalan yang muncul diantaranya, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran.
Hasil penelitian Badan Dunia untuk Program Pembangunan (United Nations Development Program - UNDP) dan Bappenas menemukan setelah lima tahun dimekarkan, kondisi daerah otonom baru masih berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Penduduk miskin menjadi terkonsentrasi di daerah otonom baru. Hasil evaluasi UNDP dan Bappenas menyebutkan, kondisi daerah-daerah pemekaran lebih buruk dibandingkan dengan daerah induk. Studi tersebut juga menemukan, penyebab kondisi tersebut didominasi keterbatasan sumber daya alam dan manusia daerah pemekaran. Hasil penelitian yang dirilis Juli 2008 menyimpulkan tentang kegagalan pemekaran daerah.
Riset itu dilakukan terhadap enam provinsi dan 72 kabupaten/kota di Indonesia selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu ekonomi daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur di daerah. Berdasar hasil studi tersebut, UNDP dan Bappenas meminta pemerintah menghentikan sementara pemekaran daerah hingga dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Provinsi dan Kabupaten Hasil pemekaran 10 tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 mengungkapkan pemekaran daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat.Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan pemekaran daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian pemekaran empat provinsi menjadi delapan provinsi, terjadi perbedaan struktur ekonomi daerah baru dan lama. Provinsi yang dimekarkan tersebut adalah Sumatera Selatan dan Bangka-Belitung, Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Utara dan Gorontalo, serta Maluku dan Maluku Utara. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat juga menurun akibat perlambatan kegiatan ekonomi masyarakat. Kondisi ketenagakerjaan setelah pemekaran provinsi justru lebih buruk dibanding sebelum pemekaran.
Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam. Aliran dana inilah yang akan ditransfer kepada pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah baru berdasarkan kriteria dan formula tertentu.
Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal tersebut menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, sehingga secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.
Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah dan pada akhirnya mewujudkan kesejahteran masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi. Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.
Bila dibaca Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Namun, kriteria tersebut dirasakan kurang bersifat operasional. Misalnya, dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan.
Lemahnya dasar penentuan kriteria ini telah menimbulkan celah terjadinya potensi kerja sama antara daerah yang ingin dimekarkan dan aparat pemerintah pusat termasuk DPR. Selain itu, prosedur pemekaran yang berdasarkan hasil penelitian yang dibuat oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu tindakan manipulasi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan, ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah. Sehingga yang terjadi selama ini pemekaran daerah otonom (yang dilaksanakan sejak 1999) disebabkan sentimen etnis dan tidak meratanya pembagian kue pembangunan. Realitas ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk meninjau ulang pemekaran daerah.
D. Moratorium Pemekeran Daerah
Pasca tragedi meninggalnya Ketua DPRD Sumut Azis Angkat setelah dikeroyok para demonstran, semestinya pemerintah menetapkan kebijakan yang tegas menyangkut masalah pemekaran. “Tragedi demokrasi” tersebut adalah momentum tepat untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru. Moratorium atau penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan pemekaran daerah yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik yang tak teredam.
Dengan kejadian di Medan itu, DPR dan pemerintah harus berani mengambil keputusan politik menetapkan moratorium. Tingginya konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat dan luasnya ”partisipasi” masyarakat terhadap pemekaran daerah. Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Ini jelas berseberangan dengan tujuan dari otonomi itu sendiri.
Dari berbagai hasil penelitian yang dijelaskan di atas, tampak helas bahwa pemekaran bukanlah jawaban utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yang terjadi adalah sebaliknya, pemekaran membuka peluang untuk terjadinya bureaucratic and political rentseeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pemekaran wilayah, baik dana dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Di sisi lain, sebagai sebuah daerah otonom baru, pemerintah daerah dituntut untuk menunjukkan kemampuannya menggali potensi daerah. Hal ini bermuara kepada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada gilirannya menghasilkan suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Pemekaran juga dianggap sebagai bisnis kelompok elit di daerah yang menginginkan jabatan dan posisi. Eforia demokrasi juga mendukung. Partai politik, yang memang sedang tumbuh, menjadi kendaraan kelompok elit ini menyuarakan aspirasinya, termasuk untuk mendorong pemekaran daerah.
Lebih jauh lagi, konsekuensi pemekaran jelas makin memberatkan beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk membiayai daerah-daerah baru tersebut. Baik untuk pembiayaan aparatur baru, infrastruktur seperti perkantoran baru, ataupun anggaran pelayanan publik. Karena itu, ada baiknya pemerintah menghentikan dulu pemekaran pada 2009 sampai selesai dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan otda dan pemekaran.
Pemekaran ternyata tidak cukup sampai di sini. Meski, dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 22 Agustus 2008 Presiden SBY menyampaikan perlunya dilakukan evaluasi terhadap pemekaran. Sebab, sejak dilakukan kali pertama pada 1999, belum sekali pun pemerintah mengevaluasi daerah-daerah hasil pemekaran.
Padahal, pemerintah sebenarnya sudah membuat dua instrumen evaluasi. Selain PP 78/2007 tentang Pembentukan, Penggabungan, dan Penghapusan Daerah, pemerintah sudah mengeluar PP 6/2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD). Kalau kedua regulasi itu dilaksanakan, akan bisa dibuat pertimbangan. Apakah daerah pemekaran layak tetap menjadi daerah otonom ataukah harus dilakukan penghapusan dan kemudian digabungkan dengan daerah lain.
Selain itu, bila dibaca Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional. Revitalisasi tersebut diarahkan untuk: (1) memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; (2) mendorong kerjasama antar pemerintah daerah; (3) menata kelembagaan pemerintah daerah agar lebih efektif dan efisien; (4) meningkatkan kualitas aparatur pemerintah daerah; (5) meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah; serta (6) menata daerah otonom baru (DOB).
Dalam situasi pemekaran yang begitu marak ini, maka relevan juga soal tuntutan adanya evaluasi daerah otonom, utamanya daerah otonom baru. Bahkan, pemerintah tak perlu ragu untuk menggabung daerah yang memang gagal melakukan otonomi daerah. Memang, berbagai pemekaran daerah yang terjadi tak mesti ditimpakan begitu saja kepada pemerintah saat ini, sebab juga sudah berlangsung sejak tahun 1999. Tapi, juga menjadi tetap relevan untuk melihat upaya pemerintah menata atau melakukan moratorium pemekaran.
Padang, 14 April 2009.
[1] Makalah dipersiapkan dalam rangka Seminar “Quo Vadis Pemekaran Daerah”, diadakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Hotel Bumiminang, Padang 14 April 2009.
[2] Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas