Sepuluh Tahun Otonomi Daerah:

Kemajuan dan Persoalan Pemberantasan Korupsi di Daerah[1]

Saldi Isra[2]

A. Prolog : Otonomi Daerah pasca-Soeharto

Sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998, cita-cita desentralisasi dan otonomi daerah tidak pernah bisa diwujudkan[3]. Karena itu, ketika sistem otoriter yang sentralistik runtuh bersamaan dengan mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, sejumlah daerah yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat menuntut dan melakukan gerakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]

Ketentuan UUD 1945 Pasal 18 dan 18B mengisyaratkan bahwa sistem pemerintahan daerah menurut UUD 1945 menempatkan pemerintah daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini berhubung dianutnya bentuk negara kesatuan menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, artinya Negara Republik Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang didesentralisasi .[5]

Berakhirnya kekuasaan Soeharto membawa perkembangan yang “luar biasa” dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia, misalnya kuatnya keinginan untuk menata kembali hubungan pusat dan daerah. Terkait dengan keinginan itu, hasil Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1998 dapat dikatakan sebagai startingpoint pembaruan pemerintahan daerah. Amanat untuk menata ulang hubungan pusat dan daerah dapat dibaca dalam Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Mempertahankan dan Memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian, secara eksplisit, Pasal 7 Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 memerintahkan untuk pelaksanaan pembaruan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dengan undang-undang.

Sebagai amat dari Ketetapan MPR tersebut pemerintah mengundangkan UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang didasarkan pada UUD 1945 sebelum amandemen dan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang didasarkan pada UUD 1945 amandemen keduanya tidak ada perbedaan yang signifikan yaitu tetap digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, hanya saja penerapan yang berbeda. UU Nomor 32 Tahun 2004 menganut rumah tangga seluas-luasnya diterapkan pada dua susunan pemerintahan daerah sedangkan dalam UU No. 22/1999 pada Daerah Kabupaten/Kota dilaksanakan penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat sedangkan pada Daerah Propinsi sifatnya terbatas.

Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan keleluasan pada daerah yang menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Daerah diberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya[6], nyata dan bertanggung jawab. UU Nomor 22 Tahun 1999 itu sendiri dan ditegaskan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, terdapat pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah Propinsi sedangkan Daerah Kabupaten/Kota menangani urusan rumah tangga yang tidak ditangani oleh Pemerintah dan Daerah Propinsi (urusan rumah tangga daerah yang ditangani merupakan residu). UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan baik Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota menjalankan urusan rumah tangga daerah yang seluas luasnya. Kewenangan urusan rumah tangga yang akan ditangani tidak disebutkan oleh susunan daerah mana yang akan diberikan kewenangan yang lebih besar, tetapi didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan[7].

Penyerahan kewenangan pemerintahan kepada Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota mengandung arti susunan daerah itu mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi karakteristik sendiri-sendiri dengan menyatakan kesanggupan untuk melaksanakan kewenangan sesuai dengan potensi dan tata cara masing-masing daerah, sehingga daerah itu merupakan badan hukum yang bersifat publik yang tidak mempunyai hierarki[8] pemerintahan daerah. Namun Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi yang melaksanakan asas dekonsentrasi menjalankan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat didaerah, salah satu dari pelaksanaan asas dekonsentrasi adalah melakukan pengawasan kepada Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian secara tidak langsung Pemerintah Daerah Propinsi merupakan pemerintah atasan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

B. Negara Koruptor “nomor wahid”

Di beberapa negara miskin, korupsi bahkan merupakan soal hidup atau mati manusia, terutama ketika anggaran kesehatan, alokasi obat-obatan gratis, sekolah dasar, air bersih, bantuan bencana alam, beras murah, atau bahkan bahan bakar dihisap melalui penyalahgunaan kewenangan. Ia dapat menjadi malapetaka kemanusiaan (TI, 2008). Sedangkan kita tahu, Indonesia hingga saat ini masuk dalam jajaran negara terkorup di dunia. Sebuah lembaga yang secara rutin melakukan analisis keadaan korupsi negara-negara dunia, seperti Transparency Interantional (TI) --meskipun tidak begitu utuh-- telah menjelaskan posisi Indonesia.

Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak cukup kuat dan konsisten. Penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi dan penyusunan Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 menjadi basa-basi birokrasi. Hampir tak bergigi dalam konteks perlawanan terhadap gurita korupsi ini.

Dalam Inpres No 5/2004 Presiden memerintahkan (a) Menko Perekonomian, (b) Menteri Keuangan, (c) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, (d) Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menteri PAN), (e) Menteri Hukum dan HAM, (f) Mendiknas, (g) Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, (h) Jaksa Agung, (i) Kepala Polri, serta (j) Gubernur dan Wali kota/Bupati untuk melakukan percepatan pemberantasan korupsi.

Banyak yang berharap Inpres No 5/2004 dapat dijadikan ”senjata” yang cukup ampuh untuk menekan tingkat korupsi. Karena mengacu kepada Undang-Undang No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Inpres tersebut, dapat dipandang sebagai suatu kebijakan karena merupakan arah/tindakan yang digariskan Presiden. Namun, setelah hampir lima tahun berjalan, Inpres tersebut seakan dipinggirkan oleh lembaga-lembaga yang menerima instruksi percepatan pemberantasan korupsi.

Hemat saya, ada dua penyebab lumpuhnya daya berlaku Inpres 5/2004. Pertama, Inpres 5/2004 tidak diikuti dengan sanksi yang diberikan kepada penerima instruksi bila tidak menjalankan amanat yang tertera dalam Inpres tersebut. Memang sepintas agak ganjil bila Inpres memiliki sanksi. Namun bila Presiden SBY ingin bersungguh-sungguh memerangi korupsi, bisa saja Inpres tersebut memberikan sanksi administrasi berupa pengurangan jumlah pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) misalnya kepada Kepala Daerah yang tidak menindaklanjuti Inpres 5/2004 tersebut. Atau bentuk sanksi lain yang dapat memberikan ganjaran terhadap pejabat negara yang tidak memiliki komitmen dalam pemberatasan korupsi.

Kedua, Inpres 5/2004 tidak mengatur klausul monitoring dan evaluasi. Alhasil, Inpres tersebut tidak dapat dievaluasi dan dicermati penerapannya di daerah-daerah. Semestinya, Inpres tersebut mesti diikuti dengan pendelegasian kewenangan kepada institusi lain, misalnya kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan evaluasi berkala dan memberikan penilaian terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Harapan publik yang hampir jatuh ke titik nadir, mulai tumbuh kembali ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat serius membongkar praktek busuk di berbagai institusi sentral. Gubernur yang selama ini bahkan tak mampu disentuh Kejaksaan, ditangkap untuk pertama kali (Kasus Aceh, 2004). Bahkan, hingga tahun 2008. Pasca pergantian komisioner, KPK seperti tancap gas, yang bahkan mampu menjerat tujuh anggota Legislatif (DPR-RI) dalam tuduhan korupsi. Sebuah tindakan yang hampir tidak pernah dibayangkan sebelumnya.[9] Namun angka-angka ini berbanding terbalik dengan kinerja Kejaksaan.[10]

C. ”Akar” Korupsi di daerah

Terhadap fenomena korupsi massal yang terjadi, khususnya di era desentralisasi sebenarnya tak bisa dilepaskan dari model birokrasi di Indonesia. Richard Robinson (1986) sebagaimana dikutip Anang Arief Susanto menyebutkan bahwa jenis birokrasi di Indonesia adalah birokrasi patrimonial sehingga praktek korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi sulit untuk dikendalikan. Kultur patrimonial sangat tidak kondusif bagi terciptanya budaya berfikir kritis dan reflektif.[11]

Kerangka desentralisasi sebagaimana telah diatur dalam UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah 2004 memiliki dua dimensi dasar. Dimensi tersebut sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah kebijakan desentralisasi yang diinginkan policy maker. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam UU No 32/2004 menitik-beratkan pada apa yang sering disebut sebagai desentralisasi administratif (administrative decentralization). Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pelayanan umum.

Praktek korupsi pasca-Soeharto yang kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor menggambarkan ironi desentralisasi sebagaimana telah digambarkan diatas. Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), mulai Januari hingga Desember 2004 saja, atau pada saat tahun pertama pemberlakuan UU 32/2004, terdapat 239 kasus korupsi di berbagai daerah dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh anggota parlemen (DPRD) yang notabenenya secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Sampai sejauh ini, setidaknya sudah ada 102 kasus korupsi.

Makin hari, kasus-kasus korupsi di daerah menjadi bagian yang mulai dianggap “hal biasa” dalam praktek pemerintahan daerah. Di Sumatera Barat misalya. Korupsi di Sumbar dalam kurun waktu tahun 2008 terlihat buruknya kinerja aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan dan kehakiman di Sumbar dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi di Ranah Minang ini. Dari 103 kasus korupsi yang terungkap selama tahun 2008 dengan kerugian Negara mencapai Rp125,79 miliar belum satu sen pun yang bisa dikembalikan kas Negara. Bahkan, delapan kasus korupsi dengan 45 tersangka divonis bebas oleh pengadilan.[12]

Bila dirinci lebih jauh dari kontek administrasi pemerintahan daerah, korupsi tumbuh dan berkembang dapat dilihat dari tiga persoalan penting. Pertama, sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah tanpa diikuti oleh pengawasan yang memadai.

Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.

Di ranah aparat penegak hukum, masalah izin pemeriksaan pejabat daerah yang harus keluar dari presiden adalah masalah krusial yang belum terpecahkan hingga sekarang. Untuk keluarnya izin presiden memang menempuh jalan yang amat panjang dan berliku. Sebagai contoh, Poltabes Padang berkeinginan memeriksa seorang anggota DPRD Kota Padang. Surat permintaaan izin kepada presiden terlebih dahulu dikirim ke Polda Sumbar yang kemudian diteruskan ke Mabes Polri. Di tingkat Mabes tidak sebatas hanya masalah administrasi saja, namun juga akan diadakan gelar perkara untuk menentukan layak tidaknya diteruskan ke Sekretariat Negara (Sesneg). Di Sesneg pun dilakukan gelar perkara lagi guna memastikan apakah pemeriksaan kepala daerah tersebut layak mendapat izin presiden.

Hal yang sama juga berlaku jika perkara tersebut berasal dari Kejaksaan Negeri yang berkeinginan melakukan pemeriksaan kepala daerah. Surat permintaan berikut berkas pemeriksaannya dikirim melalui Kejaksaan Tinggi diteruskan ke Kejakgung. Di Kejakgung akan diadakan gelar perkara untuk mencermati apakah harus diteruskan ke Sekneg atau tidak. Demikian berlikunya proses mendapat izin dari presiden untuk memeriksa seorang kepala daerah.

Dari rentetan birokrasi perizinan di atas, peluang terjadinya distorsi atas izin presiden amat terbuka lebar. Pertama, dengan alasan klasik atau human error, dapat saja surat permohonan untuk mendapatkan izin dari daerah ke Kejakgung atau Mabes Polri terlambat datang atau bahkan hilang (dan dihilangkan) di tengah jalan. Kedua, proses gelar perkara di Jakarta, sebelum surat permohonan sampai di kantor Sesneg kemungkinan pengaburan pokok perkara atau bahkan mengubah fakta-fakta hukum yang ada pun bisa terjadi. Apalagi proses gelar perkara di Kejakgung dan Mabes Polri dilakukan amat tertutup, nyaris tanpa pantauan publik. Disamping itu, sampai hari ini tidak ada kejelasan tata cara ataupun dasar hukum yang jelas bagaimana proses gelar perkara itu dilakukan. Proses yang tertutup seperti ini, sekali lagi, membuka peluang penyelewenangan kekuasaan yang amat rentan. Citra buruk dari Kejakgung yang menguak akhir-akhir ini setidaknya dapat dijadikan gambaran proses gelar perkara di Kejakgung yang syarat dengan intervensi, jual-beli perkara dan suap-menyuap. Ketiga, setelah gelar perkara, proses di kantor Sesneg pun masih syarat dengan peluang penyelewengan. Apalagi bila perkara tersebut kembali digelar.

D. Epilog : Pentingnya Membentuk KPK Daerah

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga harus ditangani secara luar biasa pula. Semangat ini tercantum di dalam UU No. 30 Tahun 2002. KPK didirikan dengan misi utama melakukan penegakan hukum. Lembaga penegak hukum konvensional, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, terbukti tidak mampu memberantas korupsi. Juga lembaga dan komisi khusus yang berkali-kali dibentuk, ternyata tak kunjung berhasil menyapu habis koruptor. Korupsi pada dasarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan yang bisa melakukan korupsi. Dalam banyak kasus, korupsi kerap melibatkan pejabat tinggi, elit politik dan ekonomi. Situasi ini menyebabkan Kejaksaan atau Kepolisian acapkali tidak bisa leluasa untuk menegakkan hukum. Kondisi ini diperparah lagi, karena para penegak hukum tersebut justru merupakan sumber dan pelaku sekaligus pelindung para koruptor.

Dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian, KPK dinilai lebih baik dalam hal memilih kasus-kasus strategis. Posisi sebagai triger mechanisme menjadikan lembaga ini harus benar-benar menempatkan perkara besar dan secara langsung membahayakan publik atau perekonomian negara sebagai indikator. Setidaknya ada sejumlah kasus utama yang telah ditangani KPK, yakni: Skandal Aliran dana YPPI, Suap Ketua Tim BLBI Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI Sjamsul Nursalim, suap yang melibatkan pimpinan Komisi Yudisial dan Komisioner KPPU, gratifikasi dalam Alih Fungsi Hutan, dan kasus yang melibatkan sejumlah anggota DPR aktif menjadi catatan gemilang KPK di tahun 2008.

Melihat potret korupsi di daerah yang tergambar di atas, gagasan pembentukan perwakilan KPK di daerah menjadi kebijakan yang amat strategis. Barangkali kewenangan KPK Daerah dikurangi dibandingkan dengan KPK Pusat. Misalnya perwakilan KPK di daerah dengan kewenangan terbatas yang bersifat non penindakan, seperti menerima laporan masyarakat dan melakukan tugas-tugas dibidang pencegahan. Atau bisa juga KPK daerah memiliki kewenangan dalam penanganan kasus yang nilai kerugian negaranya minimal adalah Rp500 juta. Dasar pemikirannya adalah karena faktanya jumlah korupsi di daerah lebih besar dibanding pusat. Data Independent Report Indonesia ICW 2007 misalnya, 60,6% aktor korupsi banyak terjadi di tingkat rendah. UU No. 30 Tahun 2002 sesungguhnya membuka peluang terwujudnya pembentukan perwakilan KPK di daerah. Pasal 19 ayat (2) menyatakan “KPK dapat membentuk perwakilan di daerah ibukota provinsi”.

Kita berharap dengan pembentukan KPK di daerah dapat meminimalisir (atau bahkan mehilangkan) praktek-praktek korupsi di daerah. Mudah-mudahan.

Sekian dan terima kasih,

Padang, 17 Feb. 2009



[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Kreatif dan Mandiri Tanpa Korupsi”. Diselenggarakan oleh Harian Padang Ekspres, Hotel Pangeran Beach, 17 Februari 2009.

[2] Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

[3] Syamsuddin Haris,”Pendahuluan”, dalam Syamsuddin Haris dkk, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Naskah Akademik dan RUU Usulan LIPI, Pusat Penelitian LIPI dan Partnership for Governance Reform, Jakarta. 2003, hlm. 3.

[4] Marlis Rahman dkk, Reformulasi Hubungan Pusat dan Daerah dalam Membangun Indonesia Baru, dalam Jurnal Yustisia, No. 9 Thn VII, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2000, hlm. 65-73.

[5] Josef Riwu Kaho berpendapat sebelum adanya amandemen Pasal 18 UUD 1945, Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 menempatkan pemerintah daerah sebagai (subsistem) bagian dari sistem pemerintahan Indonesia, (lihat; Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 6)

[6] UU Nomor 22 Tahun 1999 memakai istilah otonomi luas sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 memakai istilah seluas-luasnya

[7] UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 11

[8] UU Nomor 32 Tahun 2004 pengaturan tidak adanya hierarki antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, tidak disebutkan secara tegas.

[9] Pada tahun 2008, tercatat KPK menangani 51 kasus dalam tahap penyidikan dan pelimpahan ke Pengadilan, serta 34 kasus yang divonis di tahun 2008. Ditambah 1 orang masih buron1. Dengan demikian sekitar 86 orang sudah dijerat KPK dengan variasi modus, sektor dan karakteristik aktor. Jenis Kasus ”Pengadaan barang dan Jasa” masih menjadi modus utama, yakni 37 dari 86 kasus (43,02%); Penyalahgunaan Anggaran 17 kasus (19,77%); Penyuapan 19 kasus (22,09%); danPungutan Liar 13 kasus (15,12%).

[10] Selama 2008, ICW mencatat lebih dari separuh kasus korupsi yang divonis bebas di peradilan umum. Tahun 2008, terdapat 194 perkara korupsi dengan 444 terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Di tingkat pengadilan negeri ada 159 perkara, banding di pengadilan tinggi 10 perkara, dan kasasi di Mahkamah Agung 25 perkara. Nilai kerugian negara dari perkara-perkara itu mencapai Rp 11,7 triliun. Dari 444 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 277 terdakwa (62,38 persen) divonis bebas pengadilan. Hanya 167 terdakwa (37,61 persen) yang akhirnya divonis bersalah. Namun, ICW melihat, dari 167 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah, vonisnya belum memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

[11] Rainer Rohdewohld, “Decentralisation and the Indonesian Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?” dalam “Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation”, Institute of Southeast Asian Studies, 2003, hal 264.

[12] Data ini diambil dari hasil evaluasi LBH Padang atas progress report pemberantasan (harian Padang Ekspres edisi 10 Desember 2008)