POTRET LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
Dimuat dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 18, Tahun 2002.
Pendahuluan
Melihat perkembangan sepanjang tahun 2002, sulit mencari bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang pasti, citra lembaga legislatif ini berada dalam posisi terendah sepanjang sejarah parlemen Indonesia. Banyak contoh yang dapat membuktikan bahwa DPR sedang berada di titik nol. Misalnya, kegagalan pembentukan Panitia Khusus Badan Urusan Logistik (Pansus Bulog), rendahnya tingkat kehadiran dalam setiap rapat paripurna, keengganan untuk melaporkan kekayaan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), beberapa anggota DPR tersangkut kasus tindak pidana korupsi dan terakhir merebaknya isu suap di Komisi IX dalam rencana divestasi Bank Niaga.
Pergerakan menuju titik nol terasa sejak DPR mulai kehilangan kemampuan dalam merespon dan mengekspresikan kepentingan publik. Beberapa kasus yang dikemukakan di atas hanya sedikit dari sekian banyak contoh negatif yang di alamatkan ke DPR selama ini. Padahal, banyak kalangan di luar DPR mengharapkan agar lembaga ini muncul dengan komitmen dan moralitas politik yang tinggi untuk membawa negeri ini keluar dari multikrisis yang telah menghabiskan waktu lebih dari lima tahun. Harapan agar DPR menjadi lokomotif perubahan hanyalah impian belaka.
Jangankan untuk melakukan perubahan, malahan perjalanan waktu membuktikan semakin tingginya krisis kepercayaan publik terhadap DPR. Beberapa “uji sahih” yang pernah dilakukan, memperlihatkan anjloknya citra DPR di mata publik. Misalnya hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada tanggal 30-31 Mei 2002, dari 830 responden 77,0% menilai citra anggota DPR adalah buruk. Angka itu merosot tajam lebih dari 17 poin dibandingkan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan pada tanggal 24-25 Oktober 2001, dimana, dari 802 responden ‘hanya’ 59,6% yang menilai citra DPR buruk (Kompas, 10/06-2002).
Krisis kepercayaan terhadap lembaga perwakilan rakyat tidak hanya terjadi di tingkat pusat tetapi juga di daerah. Pada batas-batas tertentu, perilaku menyimpang juga mewarnai perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dari pengamatan Afan Gaffar, kebijaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU No 22/1999) tentang Pemerintahan Daerah memiliki kecenderungan memunculkan perilaku anomali di kalangan anggota DPRD.
Menarik apa yang ditulis oleh Andrinof A. Chaniago, anggota DPRD yang seharusnya berperan mengontrol tindakan eksekutif justru berkembang ke arah pemerasan negara oleh politisi. Para politisi lembaga legislatif daerah cenderung menggunakan kesempatan untuk menekan eksekutif agar mau melakukan penggerogotan keuangan negara lewat proses pengajuan Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah dan lewat mekanisme laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Misalnya, kontroversi sekitar uang kadeudeuh yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat telah membuka mata semua orang, bagaimana anggota Dewan di daerah mengakali mata anggaran untuk menambah pendapatan pribadi. Atau permintaan “uang pensiun” yang dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah. Contoh lain di Sumatera Barat, setiap anggota Dewan mendapat premi asuransi lebih dari Rp 2,5 juta setiap bulan dan setiap tahun setiap anggota DPRD mendapat “dana aspiratif” lebih dari Rp 200 juta.
Tulisan ini akan mengupas beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh anggota lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat nasional maupun di daerah. Diharapkan, dengan memaparkan beberapa kasus yang menjadi perhatian publik, dapat digambarkan sosok lembaga perwakilan rakyat dalam beberapa waktu terakhir.
Penguatan Lembaga Perwakilan Rakyat
Sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sulit membayangkan DPR akan sekuat sekarang. Meskipun sebelumnya, dalam kerangka fikir normatif-konstitusional, kedudukan DPR adalah kuat. Namun dalam praktik, DPR tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara optimal. Setelah perubahan UUD 1945, penguatan posisi DPR tidak hanya terjadi dalam pengaturan di tingkat konstitusi tetapi juga di dalam praktik ketatanegaraan. Banyak pendapat mengatakan bahwa perubahan UUD 1945 menghasilkan supremasi DPR. Bahkan, ada penilaian bahwa praktik penyelenggaraan negara berada di bawah ancaman tirani DPR. Penguatan serupa juga terjadi pada lembaga perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Dewan Perwakilan Rakyat
Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut. Model supremasi MPR lebih dekat kepada teori Jean Bodin bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap warga negara tanpa ada pembatasan. Bahkan kalau diteliti lebih jauh, dalam hal hubungan negara dan masyarakat, konsep kedaulatan Jean Bodin sangat dipengaruhi oleh cara pandang Niccolo Machiavelli.
‘Keberanian’ mengamandemen Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD. Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan representasi wilayah (daerah). Perubahan ini, diharapkan, menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari yang lainnya.
Dari analisis content diketahui beberapa pasal hasil perubahan berpotensi merusak mekanisme check and balances. Potensi ini dapat diamati dalam pasal-pasal tentang DPR yang berhubungan dengan DPD maupun dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Pertama, perubahan radikal terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD. Padahal sebelum dilakukan perubahan, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu karena lebih diposisikan sebagai “tukang stempel” dalam membuat undang-undang. Semestinya, penguatan posisi DPR dalam proses legislasi harus diikuti dengan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk melakukan veto.
Dalam sistem presidensiil Amerika Serikat (AS), misalnya, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) poin 2 Konstitusi AS menyatakan all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan undang-undang (RUU) itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.
Berbeda halnya dengan contoh di atas, supremasi DPR dalam proses legislasi menjadi sangat dominan karena Presiden tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengesahkan RUU. Keharusan bagi Presiden untuk menandatangani semua RUU yang telah disetujui secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (5) bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak disetujui, RUU itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Kedua, adanya rumusan “reaktif” Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Pasal ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitu mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?
Ketiga, beberapa perubahan menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan, antara lain adalah (1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, (2) peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (3) pengangkatan Hakim Agung, (4) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, masih ada agenda lain yang memerlukan “pertimbangan” DPR, antara lain adalah (1) pengangkatan Duta dan Konsul, (2) menerima penempatan duta negara lain, (3) pemberian amnesti dan abolisi.
Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).
Dominasi posisi DPR tidak hanya terhadap lembaga-lembaga di luar legislatif tetapi juga terjadi terhadap DPD. Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Sebagai representasi kepentingan daerah, DPD secara limitatif hanya diberikan kewenangan untuk mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Bahkan dalam fungsi legislasi, Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memberi garis demarkasi secara tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.
Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam sistem perwakilan.
Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, senate atau upper- house (DPD) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi house of representative (DPR). Misalnya di Australia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama yaitu (1) meneliti ulang setiap RUU yang diajukan oleh DPR, dan (2) melalui three-fold committee system mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan RUU. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu RUU.
Penguatan peran DPR pasca-perubahan UUD 1945 berbeda dengan kecenderungan perkembangan parlemen secara umum. Menurut Bambang Cipto, dalam era modern-industrial pemerintah justru lebih sering terlibat dalam proses pembuatan undang-undang. Pemikiran Bambang Cipto ini sejalan dengan pendapat K.C. Wheare bahwa badan politik ini (DPR, penulis) lebih sering menghabiskan waktunya untuk hal-hal selain pembuatan undang-undang. Mereka berperan aktif dalam mengkritik atau memperbarui pemerintahan dan ikut serta dalam diskusi persoalan-persoalan nasional.
Mencermati pergeseran kekuasaan yang sangat besar di atas, perubahan UUD 1945 mendorong DPR menjadi lembaga negara yang supreme di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir semua kekuasaan negara bertumpu ke DPR. Singkat kata, perubahan UUD 1945 memunculkan concentration of power and responsibility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Secara signifikan, berlakunya UU No. 22/1999 telah mengurangi intervensi pemerintah pusat terhadap proses politik di tingkat lokal. Ini sejalan dengan gagasan membangun mekanisme demokrasi di atas pilar-pilar politik lokal yang kuat. Salah satu upaya konkrit adalah memisahkan secara tegas posisi legislatif daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah (Kepala Daerah).
Di luar pemisahan itu, ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan bahwa UU 22/1999 memberikan kekuasaan lebih kepada DPRD.
Pertama, adanya kewenangan DPRD untuk menentukan kata-putus dalam proses pemilihan Kepala Daerah. Pada masa UU 5/1974, meskipun DPRD menjadi “penyelenggara” pemilihan tetapi tidak dapat menentukan hasil akhir karena kekuasaan pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan Kepala Daerah. Perubahan yang terjadi, memberikan DPRD posisi bargaining yang lebih dominan dalam menentukan pemimpin daerah.
Kedua, adanya ketentuan bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada DPRD untuk memberhentikan Kepala Daerah di tengah masa jabatan. Hal ini dapat terjadi kalau laporan pertanggungjawaban tahunan (annual report) dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu (seperti melakukan tindak pidana) ditolak oleh DPRD.
Ketiga, berkurangnya kontrol pemerintah pusat terhadap semua proses politik yang terjadi di tingkat lokal. Pengurangan ini memberikan peluang kepada DPRD menjadi lembaga yang powerfull. Semua ini dilakukan karena adanya “kesadaran” akan pentingnya kemandirian lembaga perwakilan daerah dalam mewujudkan kedaulatan rakyat di tingkat lokal. Pengalaman penyelenggaraan proses politik daerah di bawah UU 5/1974, bahwa DPRD hanya berfungsi sebagai tukang stempel keinginan pemerintah pusat di daerah.
Potret Lembaga Perwakilan Rakyat
Semangat reformasi yang menggerakkan sebagian besar publik untuk melakukan pembaharuan, semestinya direspon secara benar dan tepat oleh lembaga perwakilan rakyat. Menurut Faisal Siagian dan Anwari WMK semua itu penting artinya bagi upaya kolektif bangsa ini dalam rangka memasuki era transisi demokrasi secara mulus untuk kemudian bergerak ke arah konsolidasi demokrasi. Sayangnya, dari perkembangan yang ada, jangankan untuk mendorong perubahan lembaga perwakilan rakyat, publik malah terperangkap dalam perilaku menyimpang. Bahkan, pada banyak kasus, terjadi legal hazard yang dilakukan lembaga perwakilan rakyat terhadap produk hukum yang mereka buat sendiri.
Dewan Perwakilan Rakyat
Sepertinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bergerak akan semakin mendekati titik nol dalam mengaktualisasikan keinginan dan kepentingan publik pada tahun ini. Indikasinya sudah semakin jelas, yaitu dalam tiga bulan pertama tahun 2002 masyarakat semakin kehilangan kepercayaan kepada DPR karena ketidakmampuan lembaga ini merespon dan mengekspresikan diri sebagai representasi rakyat. Paling tidak, kecenderungan ini dapat diamati dari tiga peristiwa berikut.
Pertama, keengganan sebagian wakil rakyat untuk melaporkan harta kekayaan mereka kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Meskipun sudah banyak kritik yang dialamatkan kepada wakil rakyat terkait dengan keengganan mereka menyerahkan daftar harta kekayaan, tetapi sebagian anggota DPR masih saja tidak mempedulikannya.
Sebenarnya, jika DPR benar-benar mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas korupsi, nada-nada miring itu tidak perlu muncul. Apalagi, secara hukum amanat untuk menyelenggarakan negara untuk bebas dan bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sudah menjadi kesepakatan nasional. Hal ini secara hukum dapat dilihat dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dalam kedua produk hukum ini secara tegas dinyatakan bahwa melaporkan harta kekayaan adalah kewajiban bagi setiap peenyelenggara negara.
Semestinya, sebagai penyelenggara negara, menjadi keharusan bagi semua anggota DPR untuk melaporkan harta kekayaan karena ini sangat terkait dengan kewibawaan mereka dalam melaksanakan fungsi kontrol. Meminjam pendapat Hamid Awaludin, anggota DPR yang belum mengembalikan daftar kekayaan kepada KPKPN sudah kehilangan otoritas moral untuk melakukan kontrol terhadap eksekutif. Oleh karena itu, menjadi wajar kalau praktik korupsi semakin meruyak karena lembaga yang diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi memperlihatkan kecenderungan menjadi salah pusat praktik korupsi.
Kedua, kegagalan DPR untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Buloggate II Pada tanggal 18 Maret lalu. Di tingkat publik, pembentukan Pansus Buloggate II akan mempunyai manfaat ganda. Di samping untuk mensinergiskan dengan proses hukum terhadap Akbar Tandjung, pembentukan pansus di DPR diharapkan dapat menimbulkan efek domino untuk mengungkap semua penyelewengan dana non-budgeter Bulog. Ini menjadi penting karena banyak sinyalemen bahwa beberapa partai politik juga ikut “menikmati” dana ini.
Sekiranya DPR memang mempunyai komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi, maka pembentukan Pansus Buloggate II dapat dijadikan sebagai salah satu bukti konsistensi mereka dalam menyelesaikan kasus-kasus megakorupsi. Apalagi, ini sudah menjadi kaharusan institusional bagi DPR untuk melaksanakan rekomendasi Sidang Tahunan (ST) MPR 2001, terutama untuk dua hal pokok yaitu (1) menindaklanjuti pendapat umum sesuai dengan fungsi pengawasan DPR, dan (2) DPR perlu aktif dan pro-aktif mendorong penyelesaian kasus-kasus KKN, baik yang baru maupun yang lama, dengan memperhatikan prioritas.
Di samping itu, dalam konteks pemberantasan praktik korupsi, lembaga perwakilan rakyat dan semua anggotanya mempunyai peran krusial untuk melakukan upaya konkrit memerangi korupsi. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) ada 4 (empat) peran penting yang harus dilakukan oleh anggota lembaga perwakilan rakyat, yaitu (1) memastikan integritas personal mereka sendiri dan juga parlemen sehingga dapat menjadi aktor yang kredibel dalam pemerintahan untuk mengontrol korupsi, (2) menggunakan jenjang ketinggian otoritas lembaga mereka untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu-isu korupsi, dan (3) membantu meyakinkan bahwa tidak satu pun kelompok kepentingan yang mendomisasi secara total kepentingan nasional.
Ketiga, rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR secara fisisk dalam forum-forum yang tidak mempunyai “nilai politik” penting. Misalnya, dalam Rapat Paripurna membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 25 Maret 2002 lalu yang hanya dihadiri secara fisik oleh 49 orang anggota DPR. Padahal, yang menandatangani daftar hadir berjumlah 309 anggota (Kompas, 28/03-2002). Tingkat kehadiran fisik yang sangat memprihatinkan ini semakin membuktikan anggapan yang berkembang selama ini bahwa sebagian besar anggota DPR lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dibandingkan dengan publik yang lebih luas.
Meskipun sudah lama dipergunjingkan, masalah kehadiran anggota DPR baru mendapat perhatian publik secara luas dalam beberapa bulan belakangan. Mencuatnya persolan ini didorong oleh dua sebab, yaitu (1) adanya “ancaman balasan” dari Fraksi Golkar terhadap kelompok yang mengajukan petisi kepada Akbar Tandjung, dan (2) adanya amanat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 untuk meningkatkan disiplin anggota DPR dalam menghadiri segala jenis rapat.
Keempat, merebaknya isu suap di Komisi IX dalam kasus divestasi Bank Niaga. Isu ini pertama kali diungkapkan oleh dua orang anggota Fraksi PDI Perjuangan, Meilono Suwondo dan Indira Damayanti. Keduanya menyebutkan bahwa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menyogok sejumlah anggota Komisi IX untuk melancarkan proses divestasi Bank Niaga. Menurut keduanya, besar suap diperkirakan berkisar dari 1.000 sampai 15.000 dolar AS.
Di tingkat publik, keempat peristiwa itu menjadi titik penting untuk melakukan penilaian dan sekaligus untuk membedakan keberadaan lembaga ini dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya dalam memposisikan diri sebagai representasi rasionalitas publik. Apalagi secara hukum, lembaga ini terikat dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 bahwa DPR wajib menindaklanjuti aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemahaman mayoritas yang ada di tingkat publik, ketentuan ini merupakan sebuah keniscayaan untuk melakukan percepatan perbaikan keadaan yang semakin tidak menentu. Ketika harapan itu semakin jauh dari kenyataan, penilaian bahwa DPR sekarang tidak lebih baik dari lembaga perwakilan rakyat yang pernah ada adalah sesuatu yang tidak terbantahkan.
Semestinya perilaku tidak terpuji ini tidak perlu terjadi jika mereka dengan sepenuhnya memahami bahwa DPR tidak hanya mempunyai fungsi pengawasan tetapi juga mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi legislasi. Apalagi, semua anggota DPR terikat dengan Kode Etik yang mereka sepakati untuk menciptakan DPR yang produktif, terpercaya dan berwibawa. Dalam Pasal 6 Kode Etik ditegaskan :
(1) anggota DPR harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya.
(2) ketidakhadiran secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut merupakan suatu pelanggaran Kode Etik.
Secara jujur harus diakui, perilaku menyimpang anggota terutama indikasi korupsi dan rendahnya tingkat kehadiran secara fisik, adalah merupakan pelanggaran nyata terhadap Kode Etik. Langkah yang semestinya dilakukan adalah membentuk Dewan Kehormatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 58 ayat (5) Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR bahwa Dewan Kehormatan dapat dibentuk apabila ada pengaduan/pelaporan anggota DPR melakukan pelanggaran (1) persyaratan untuk menjadi anggota DPR, (2) melanggar sumpah/janji sebagai wakil rakyat, (3) larangan melakukan pekerjaan/usaha yang biayanya berasal dari APBN dan (4) Kode Etik DPR.
Dari empat bentuk pelanggaran yang terdapat dalam Pasal 58 ayat (5) Tatib pelanggaran terhadap sumpah/janji sebagai wakil rakyat dan pelanggaran Kode Etik adalah alasan yang paling memungkinkan untuk membetuk Dewan Kehormatan DPR. Kemungkinan ini muncul karena dua pertimbangan, yaitu (1) dalam bagian pendahuluan Kode Etik DPR dinyatakan bahwa komitmen politik, moralitas dan profesionalitas akan sangat menentukan kualitas kerja dan kinerja lembaga legislatif dalam mewujudkan DPR yang kuat, produktif, terpercaya, dan berwibawa dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, dan (2) tujuan utama membentuk Kode Etik adalah untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Perubahan yang dibawa oleh UU No. 22/1999 terhadap posisi DPRD diharapkan akan memberikan nilai posistif dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Tetapi dalam praktik yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar anggota DPRD kehilangan kepekaan dalam menyahuti kepentingan publik yang lebih luas. Misalnya, mengemukanya isu praktik politik uang (money politics) dalam hampir setiap pemilihan Kepala Daerah, serta munculnya kekisruhan dalam pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Sesungguhnya penyimpangan yang terjadi tidak diharapkan, karena dapat memberi citra buruk dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Meskipun demikian, menurut Maswadi Rauf ekses yang muncul dapat dimengerti karena otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah. Di samping itu, otonomi daerah diberlakukan di dalam situasi euphoria masyarakat yang berkobar-kobar. Suasana kejiwaan seperti ini juga diwarnai oleh rasa kebebasan yang besar sehingga otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah kekacauan dan ketidakpastian hukum.
Sekiranya perubahan paradigma hubungan eksekutif-legislatif terjadi dalam suasana normal, maka ekses yang muncul tidak akan serumit yang terjadi. Desentralisasi politik lebih banyak membuka akses bagi elit lokal kepada sumber-sumber daerah yang sangat rawan terjadinya penyimpangan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Perubahan yang terjadi dalam suasana transisi menjadi sulit dikendalikan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya ketentuan hukum yang memberi peluang kepada masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol semua pusaran aktifitas yang ditimbulkan dari perubahan paradigma hubungan eskekutif-legislatif daerah.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian perubahan memunculkan dua kutub kekuasaan. Pada salah satu sisi, eksekutif sebagai pihak pengelola dan pengendalian keuangan daerah dengan kekuasaan politik yang terbatas. Sementara di sisi lain, legislatif muncul sebagai supremasi dalam memegang kendali politik dengan sumber keuangan yang amat tergantung kepada eksekutif. Dua kutub kekuasaan itu memberi peluang kepada eksekutif dan legislatif melakukan sinergi negatif untuk melakukan kolusi. Formulanya sederhana, dominasi kekuasaan politik menjadi lebih “mudah” diimbangi dengan sumber keuangan yang dikelola dan dikendalikan eksekutif.
Dengan demikian, posisi dan kelebihan yang dipunyai oleh kedua kutub terjebak pada pemeliharaan untuk mempertahankan kepentingan masing-masing. Penguatan peran DPRD yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan horizontal melalui mekanisme checks and balances terperangkap dalam pola hubungan kolutif antara eksekutif dengan legislatif. Legislatif benar-benar meraih keuntungan perubahan paradigma hubungan eksekutif-legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Robert E. Jaweng menyindir, DPRD menikmati manisnya tuah kekuasaan, juga kekayaan yang mengikutinya.
Pengamatan dan telaah mendalam terhadap beberapa kasus, paling tidak ada tiga momen yang membuka peluang terjadinya kolusi antara eksekutif-legislatif daerah. Secara berkelakar, momen ini sering dikatakan sebagai masa “panen” anggota DPRD yang mengindikasikan adanya permainan uang yang mengitarinya.
Pertama, “panen raya” yang dilakukan dalam proses pemilihan Kepala Daerah. Meskipun hanya terjadi sekali lima tahun, proses pemilihan memberi peluang kepada anggota legislatif mendapatkan uang dengan jumlah berlimpah. Seperti sudah diketahui publik, cara yang paling mudah adalah melakukan money politics.
Bagi sebagian anggota DPRD, keuntungan yang diperoleh dalam proses pemilihan Kepala Daerah bisa menjadi berlipat ganda. Ini dapat terjadi sekiranya pejabat yang akan berakhir masa tugas berkeinginan lagi menjadi menjadi Kepala Daerah untuk periode kedua. Dibandingkan dengan calon baru, orang yang sedang menduduki jabatan Kepala Daerah harus melewati proses pertanggungjawaban akhir masa jabatan. Peluang terjadinya kolusi dipicu oleh ketentuan bahwa Kepala Daerah yang ditolak laporan pertanggungjawaban akhir jabatannya tidak dapat dicalonkan kembali untuk menduduki masa jabatan berikutnya.
Dari penelusuran Kompas (16/09-2002), seorang pejabat DKI Jakarta mengeluhkan bahwa pertanggungjawaban Gubernur cuma jadi ajang blackmail bagi para anggota DPRD. Untuk meloloskan laporan pertanggungjawaban, Gubernur DKI Jakarta memerlukan uang dana yang tidak sedikit. Meskipun sulit dibuktikan kebenarannya, kecenderungan serupa juga terjadi di provinsi lain. Misalnya, besar kemungkinan uang kadeudeuh di DPRD Jawa Barat dan dana purnabakti di DPRD Jawa Tengah punya korelasi positif dengan laporan akhir masa jabatan Kepala Daerah.
Kedua, “panen tahunan” yang dilakukan sekitar proses penilaian terhadap laporan tahunan (annual report) Kepala Daerah. Banyak cerita miring di sekitar laporan tahunan ini, misalnya terjadi tawar-menawar di “belakang layar” untuk memuluskan laporan tahunan Kepala Daerah. Kalau dibaca dengan cermat, peluang untuk terjadinya kongkalingkong antara DPRD dan Kepala Daerah by accident dapat muncul berdasarkan Pasal 46 ayat (1) UU 22/1999, Kepala Daerah yang ditolak laporan pertanggungjawabannya harus melengkapi dan menyempurnakan lapaoran itu dalam jangka waktu paling lama 30 hari.
Barangkali, kesempatan melakukan penyempurnaan agar tercipta proses yang lebih fair dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap Kepala Daerah. Sayang dalam praktik yang terjadi justru sebaliknya, waktu untuk melakukan perbaikan cenderung digunakan untuk melakukan bargaining. Pengamatan terhadap beberapa daerah yang pernah bermasalah dalam laporan pertanggungjawaban, manuver politik yang dilakukan angota Dewan sangat sederhana yaitu menolak laporan pertama Kepala Daerah. Kemudian setelah diberi kesempatan memperbaiki, laporan kedua diterima dengan catatan. Sulit membantah aroma kolusi yang mengitari klausul “diterima dengan catatan” itu.
Ketiga, “panen sela” yaitu peluang melakukan yang dapat terjadi pada saat pembicaraan beberapa agenda strategis di daerah. Pada batas-batas tertentu, peluang ke arah ini mirip dengan isu suap yang terjadi di Komisi IX DPR RI dalam kasus divestasi Bank Niaga. Di daerah, peluang ke arah lebih banyak terjadi pada penyiapan beberapa Peraturan Daerah (perda) strategis, misalnya dalam penyusunan Perda Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) atau proyek-proyek raksasa yang mengharuskan adanya keterlibatan peran politik DPRD.
Penutup
Potret buram lembaga perwakilan rakyat memunculkan keresahan mendalam di tingkat publik. Ini muncul karena dalam situasi seperti sekarang diperlukan komitmen dan moralitas politik yang tinggi lembaga perwakilan untuk keluar dari persoalan bangsa yang sedang dihadapi. Sebagai representasi rakyat, DPR dan DPRD sangat diharapkan mampu menjadi lokomotif untuk membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensional yang sudah berlarut-larut.
Tetapi setelah berjalan lebih dari 3 tahun, disadari bahwa langkah mempercepat pelaksanaan pemilihan umum untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat guna melakukan perubahan yang mendasar agar segera keluar dari krisis, berubah menjadi sesuatu yang ironi. Jujur saja, keinginan melakukan perubahan justru terhambat oleh perkembangan yang terjadi di lembaga perwakilan rakyat itu sendiri.
Kepustakaan
Afan Gaffar, 2002, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Perilaku Anomali Anggota DPRD dalam Perspektif Politik Hukum, dalam Jurnal Hukum Respublica, No. 3 Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning-Riau, Pekanbaru.
Agus Heryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (edit), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Amzulia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Pustaka Gramedia, Jakarta.
Andrinof A. Cahniago, 2002, Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Bambang Cipto, 1995, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Industrial, Rajawali Pers, Jakarta.
Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (edit.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Denny Indrayana, 2002, Ancaman Tirani DPR, dalam Harian Umum Kompas, 2 September, Jakarta.
Faisal Siagian dan Anwari WMK, 2002, Partai Politik Pasca Orde Baru, dalam Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Indonesia Gorruption Watch, 2000, Peran Parlemen Dalam Memberantas Korupsi.
K.C. Wheare, 1963, Legislautre, Oxford University Press, New York.
Maruto MD & Anwari MWK (edit.), Reformasi Politik dan kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Maswadi Rauf, 2002, Pemerintah daerah dan Konflik Horizontal, dalam Syamsuddin Haris (Edit.), Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia dan Partnership for Governance Reform, Jakarta.
Pratikno, 1999, Hubungan Pusat-Daerah : Gelombang Ketiga, dalam Jurnal UNISIA, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Robert E. Jaweng, 2002, Ihwal Hubungan Kepala Daerah-DPRD, Apa yang Salah? Dalam Harian Kompas 23 September, Jakarta.
Saldi Isra, 2002, Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Harian Umum Kompas, 2 September, Jakarta.
-------------, 2002, DPR : Buram Berlatar Suram, dalam Harian Umum Kompas 26 Oktober, Jakarta.
-------------, 2002, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam dalam Jurnal Hukum Respublica, No. 3 Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning-Riau, Pekanbaru.
-------------, 2002, Kolusi Eksekutif-Legislatif Daerah dalam Media Indonesia Edisi Khusus Akhir Tahun 20 Desember, Jakarta.
Syamsuddin Haris (edit.), Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia dan Partnership for Governance Reform, Jakarta.
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dimanika Tatanegara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Saldi Isra, 2002, DPR : Buram Berlatar Suram, dalam Harian Umum Kompas 26 Oktober, Jakarta.
Afan Gaffar, 2002, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Perilaku Anomali Anggota DPRD dalam Perspektif Politik Hukum, dalam Jurnal Hukum Respublica, No. 3 Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning-Riau, Pekanbaru.
Andrinof A. Cahniago, 2002, Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Saldi Isra, 2002, Kolusi Eksekutif-Legislatif Daerah dalam Media Indonesia Edisi Khusus Akhir Tahun 20 Desember, Jakarta.
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dimanika Tatanegara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta.
Terkait dengan hal ini, baca : Agus Heryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (edit), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; Saldi Isra, 2002, Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Harian Umum Kompas, 2 September, Jakarta; dan Saldi Isra, 2002, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam dalam Jurnal Hukum Respublica, No. 3 Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning-Riau, Pekanbaru.
Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca Denny Indrayana, 2002, Ancaman Tirani DPR, dalam Harian Umum Kompas, 2 September, Jakarta.
Sebelumnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Setelah perubahan menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Sebelumnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan MPR terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah (UD) dan golongan-golongan (UG). Setelah perubahan menjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum.
Amzulia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Pustaka Gramedia, Jakarta.
Bambang Cipto, 1995, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Industrial, Rajawali Pers, Jakarta.
K.C. Wheare, 1963, Legislautre, Oxford University Press, New York.
Saldi Isra, 2002, Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Harian Umum Kompas, 2 September, Jakarta.
Pratikno, 1999, Hubungan Pusat-Daerah : Gelombang Ketiga, dalam Jurnal UNISIA, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Faisal Siagian dan Anwari WMK, 2002, Partai Politik Pasca Orde Baru, dalam Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Indonesia Corruption Watch, 2000, Peran Parlemen Dalam Memberantas Korupsi.
Maswadi Rauf, 2002, Pemerintah Daerah dan Konflik Horizontal, dalam Syamsuddin Haris (Edit.), Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Partnership for Governance Reform, Jakarta.
Robert E. Jaweng, 2002, Ihwal Hubungan Kepala Daerah-DPRD, Apa yang Salah? Dalam Harian Kompas 23 September, Jakarta.