FROM CORRUPTION TO ACCOUNTABILITY:

Is Civil Society Able To Exercise Accountability of Government to Its Citizen?[1]

By Saldi Isra[2]

Pengantar

Korupsi yang merajalela di Indonesia tumbuh dari pusat kekuasaan hingga daerah administrasi terendah. Melibatkan pelbagai pihak dengan beraneka jenis modus tindakan koruptif. Pemerintah dalam hal ini memiliki peran utama ”mematikan” atau menumbuhsuburkan bahaya korupsi tersebut. Dari data yang dipublikasikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2004 memperlihatkan bahwa modus tindakan koruptif tertinggi adalah penggelapan (embezzlement) sebanyak 104 kasus, korupsi yang disahkan melalui ketentuan hukum sebanyak 84 kasus, mark-up sebanyak 69 kasus, pemotongan anggaran sebanyak 35 kasus dan suap sebanyak 29 kasus. Dari pelbagai motif tindakan koruptif itu jenis pelaku tertinggi dikuasai oleh lembaga perwakilan daerah sebanyak 125 kasus, kepala daerah sebanyak 84 kasus, aparat pemerintahan daerah sebanyak 57 kasus, aparat departemen sebanyak 15 kasus, dan sekretaris daerah sebanyak 7 kasus.

Data di atas memperlihatkan bahwa keterlibatan aparat pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam kasus korupsi masih sangat tinggi. Faktornya sangat variatif, mulai dari kebutuhan, gaji yang rendah, serakah, tingkat moralitas yang rendah hingga kesempatan. Jeremy Pope memandang dari sudut tertentu korupsi dapat dilihat sebagai suatu problem dari individu-individu yang memiliki ambisi berlebihan dan serakah.[3] Namun sifat serakah manusia tersebut setidaknya akan dapat dibatasi dengan menciptakan sebuah sistem yang bersih, transparan dan akuntabel. Sistem yang ”bobrok” tersebut membuka ruang-ruang kesempatan untuk melakukan korupsi. Bisa jadi padamulanya pelaku korupsi tidak berniat melakukannya, namun dikarenakan terbuka kesempatan akhirnya tindak pidana korupsi itu terjadi juga. Kesempatan itu bisa muncul dari pelbagai elemen-elemen.

Penciptaan dan pemeliharaan integritas dalam kehidupan masyarakat dan pelayanan masyarakat memerlukan sejumlah elemen, termasuk undang-undang, peraturan-peraturan dan aturan tingkah laku (code of conduct); suatu masyarakat, yang kental dengan nilai-nilai keagamaan, politik dan sosialnya, mengharapkan kejujuran para politisi dan pejabat; profesionalisme dikalangan pejabat; suatu perasaan elitis di antara para pegawai negeri sipil tingkat atas; dan kepemimpinan politik yang memperhatikan moralitas dengan sungguh-sungguh, baik di kalangan pemerintah maupun swasta.[4] Elemen-elemen atau sistem tersebutlah yang kemudian menutup kesempatan-kesempatan korupsi. Salah satu sistem yang dikedepankan dalam memberantas korupsi adalah adanya mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang benar. Sayangnya beberapa negara di dunia (terutama negara-negara berkembang) gagal membangun sistem yang benar, bahkan seringkali sitem tersebutlah yang membuka ruang terjadinya praktik-praktik korupsi. Kondisi tersebut dipaparkan oleh Robert Harris sebagai berikut:

The irony to be noted is that government strategies that may be commonly regarded as good and sensible often create demands for, and facilitate the supply of illegal goods and services.[5]

Di dalam pemerintahan tentu saja para birokrat memiliki andil yang luar biasa dalam menciptakan sistem yang korup. Dalam catatan Artidjo Alkostar dipaparkan bahwa tindakan korupsi para birokrat lebih sering mengarah kepada nuansa politis. Mengapa korupsi politik banyak terjadi di kalangan birokrasi, karena birokrasi memiliki posisi strategis secara politik dan mengemban kepercayaan rakyat. Posisi strategis birokrasi digambarkan oleh Gabriel Almond bahwa; Bureaucracies are of enormous importance in the performance of the communication function in political systems. Even in Democratic political systems, the bureaucracy is one of the most important sources, if not the most important source of information about public issues and politically significant events.[6]

Jadi birokrasi memiliki fungsi utama pula sesungguhnya dalam menjalankan sistem itu sendiri. Sistem memang penting dan utama dalam melawan korupsi, namun sistem juga bergantung kepada para birokrat agar sistem tersebut dapat dijalankan dengan baik. Rober Klitgaard berpendapat bahwa para pengkritik birokrasi seringkali mempunyai bayangan dalam pikiran mereka bahwa pemerintah dan pegawai sipil bekerja secara cerdas dan aktif untuk memajukan pembangunan ekonomi, yang kemudian dihancurkan oleh usaha-usaha mereka menerima suap.[7]

Artidjo melihat permainan politik para birokrat agar mudah melakukan korupsi dengan ”merusak” sistem juga merupakan salah satu tehnik melakukan korupsi. Oleh karena itu sistem yang harus dibangun dalam memberantas korupsi adalah sistem yang menyebabkan setiap kesempatan melakukan korupsi mampu dilimitatifkan. Lalu seperti apakah sistem yang harus diciptakan agar praktik-praktik korupsi tidak dapat terjadi lagi?

Membenahi Sistem Bukan Manusia

Inggris juga pernah mengalami permasalahan kerusakan birokrasi dan hancurnya sistem karena korupsi. David Osborne menceritakan pengalaman Inggris tersebut dimasa pemerintahan Magaret Thatcher. Sampai dengan tahun 1986, Margaret Thatcher frustasi atas ketidakmampuannya mengubah birokrasi Inggris. Selama tujuh tahun, ia telah memberikan setakar demi setakar obat keras: perampingan, privatisasi, audit efisiensi, berperang melawan serikat pegawai. Tetapi ia gagal mengubah perilaku pegawai negerinya.[8] Kegagalan Margareth Thatcher tersebut disebabkan ia hanya memperhatikan pembenahan manusia semata. Merupakan suatu hal yang alamian jika manusia akhirnya tidak mampu menahan dirinya. Bahkan ketika diancam dengan pelbagai norma pidana yang paling keras sekalipun.

Pembenahan terhadap manusia harus diiringi dengan pembenahan sistem yang mengatur kehidupan manusia tersebut. Prinsip-prinsip pembenahan sistem tersebut dalam ranah kehidupan bernegara dikenal dengan istilah prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Menurut Teten Masduki, good governance adalah prinsip yang mengetengahkan keseimbangan hubungan antara masyarakat dengan negara serta negara dengan pribadi. Menurutnya setiap kebijakan publik seharusnya melibatkan berbaghai sektor baik masyarakat maupun sektor privat dengan code of conductnya yang jelas. Dalam hubungan denga dunia hukum ada berapa unsur dari good governance yang perlu menjadi perhatian antara lain:

1. Pertama, adanya aturan aturan hukum bagi seluruh tindakan ataupun kabijakan yang di ambil dalam proses penyelenggaran pemerintah.

2. Kedua adanya suatu perancangan peraturanperundang-undangan malalui beberapa ukuran standar misalnya standar empirik ,standar filosofistik standar futuralistik, dan standar HAM, serta standar keadilan.

Secara teori sesungguhnya terdapat 6 (enam) langkah dalam menghadirkan pemerintahan yang baik. Langkah-langkah tersebut tergambar dalam bagan berikut ini;

Bagan

Langkah-langkah Mewujudkan Good Governance[9]

 

Dari bagan di atas terlihat bahwa langkah paling luar (baca; paling awal) yang dilakukan dalam mewujudkan ”good governance adalah usaha untuk melibatkan elemen-elemen masyarakat dan organisasi masyarakat serta mewujudkan konsep akuntabilitas dalam pemerintahan. Partisipasi masyarakat jelas perlu. Setiap masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh apa yang menjadi haknya, termasuk juga dalam hal trasparansi dan akuntabilitas jalannya pemerintahan. Hal itu bahkan telah ”didengungkan” oleh Jean Jacques Rousseau berabad-abad yang lalu. Rousseau menyatakan bahwa defenisi dari kebebasan sipil adalah kesetaraan.[10] Artinya jika seorang pejabat bisa memperoleh suatu laporan jalannya pemerintahan dengan mudah maka begitu pula dengan rakyat jelata. Jika organisasi pemerintahan telah melakukan pembendaan hak dan kewajibannya untuk bersikap transparan dan akuntabel, maka organ-organ pemerintahan tersebut sudah dapat dikatakan tidak efektif lagi. Korupsi maupun organ-organ administrasi pemerintahan yang tidak efektif, mempunyai akibat langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara dunia ketiga.[11] Dalam mengatasi permasalahan tersebut sangat diperlukan sebuah sistem yang membuka ruang untuk keterlibatan publik dalam menjaga pemerintahan.

Perlunya Partisipasi Publik

Pemaparan di atas memperlihatkan betapa pentingnya sebuah konsep partisipasi publik. Pendapat yang mendukung hak publik mendapat informasi diungkapkan dengan ringkas oleh James Madison, salah seorang perumus undang-undang dasar Amerika Serikat: “Pemerintah bentukan rakyat tanpa informasi untuk rakyat atau cara untuk mendapatkannya tidak lain dari pembukaan untuk sebuah lelucon atau sebuah tragedi, atau kedua-duanya. Pengetahuan akan selalu menindas ketidaktahuan; dan rakyat yang ingin mengatur diri sendiri harus mempersejantai diri dengan kekuatan yang diberikan oleh pengetahuan.”[12]

Namun memang rakyat yang menginginkan partisipasi publik menghadapi kendala apabila pemerintahan tersebut cenderung otoriter. Biasanya pemerintahan ”jenis” ini aparatusnya cenderung menututup dirinya dari keterlibatan rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Pertarungan untuk mendapat informasi terjadi antara publik dengan menginginkannya dan orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan dan tidak menginginkan rakyat mendapat informasi. Filsafat Madison menyiratkan:

- Kerahasian menghambat pendidikan politik sebuah masyarakat sehingga pilihan-pilihan dalam pemilihan umum tidak didasari informasi yang lengkap;

- Peluang bagi perorangan untuk memberikan reaksi pada inisiatif politik menjadi tumpul; dan

- Tercipta iklim politik yang menyebabkan warga negara melihat pemerintah bukan dengan tanggung jawab dan kepercayaan, tetapi dengan sangkaan buruk dan ketidakpercayaan.[13]

Dalam kondisi Indonesia, Musa Asyarie menyadari bahwa Indonesia memiliki mental otoriterianisme dalam pemerintahannya tersebut dikarenakan juga faktor kesejarahan. Secara kultural birokrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik indonesia pada hakikatnya merupakan kelanjutan dan perpanjangan dari birokrasi pemerintahan penjajahan dan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dibangun berdasarkan orientasi kekuasaan.[14] Namun reformasi yang terjadi semenjak 1998 menyadari publik bahwa masyarakat amat diperlukan dalam menjaga agar pemerintahannya berjalan sesuai jalur demokrasi dan tujuan bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Maka Indonesia saat ini dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang lebih partisipatif.

Namun secara teori dapat dua teori dasar yang berbeda dalam melihat konsep partisipatif tersebut. Menurut Teori Demokrasi elit (elite democracy), bahwa ruang lingkup demokrasi adalah sebatas pada keikutsertaan warga dalam pemilihan umum yang bebas dan jujur, maka untuk seterusnya warga mempercayakan penyelenggaraan pemerintahan kepada mereka-mereka yang terpilih menjadi anggota legislative[15]. Teori ini tidak memberikan tempat bagi warganegara untuk berperanserta dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat yang dipilihnya. Teori tersebut menggambarkan bahwa ketika rakyat telah mempercayakan amanahnya melalui pemilihan umum yang demokratis, maka peranserta rakyat telah tersalurkan melalui perwakilannya. Penyimpangan yang wakil rakyat lakukan kedepan dapat diperbaiki dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan teori partisipasi demokratis memiliki perbedaan dalam menempatkan peran serta masyarakat.

Teori partisipari demokrasi (participatory democracy) di pihak lain berpendapat, bahwa warga, baik secara perorangan maupun secara kelompok, bukanlah semata-mata konsumen kepuasan (consumers of satisfaction), tetapi membutuhkan kesempatan dan dorongan untuk pengungkapan dan pengembangan diri (self expression and development)[16].

Menyadari bahwa partisipasi rakyat dalam pelaksanaan pemerintah adalah bagian dari pengembangan diri dan kesempatan dalam mengemukakan pendapat atau ekspresi masyarakat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan mutlak, maka peranserta masyarkat dalam sebuah negara menjadi teramat penting. Ada berbagai manfaat yang dinikmati semua pihak yang berkepentingan bila pemerintah terbuka dengan informasi;

- publik yang banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi;

- Parlemen, pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan-tindakan pemerintah; kerahasian adalah hambatan besar pada pertanggungjawaban pemerintah;

- Pegawai negeri mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada banyak orang, dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya;

- Arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif dan membantu pengembangan kebijakan yang lebih fleksibel; dan

- Kerjasama publik dengan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang makin banyak tersedia.[17]

Peran Publik Daerah

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa; “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Pasal tersebut memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat berperanserta dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip didalamnya[18]. Salah satu prinsip terpenting dari good governance adalah terdapatnya peranserta/partisipasi masyarakat itu sendiri dalam menentukan arah kebijakan pemerintahan. Partisipasi masyarakat adalah menempatkan semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka[19].

Masyarakat yang berada didalam lingkungan maju (kota/kabupaten besar) memiliki kesempatan dan sarana yang luas dalam berperanserta. Namun akan sangat berbeda dengan kondisi yang diperoleh oleh masyarakat daerah yang terbatas dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Hal itu disebabkan oleh pelbagai permasalahan, baik berupa pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain hal yang menghambat mereka untuk ikutserta dalam mewujudkan pemerintahan yang baik. Salah satu bagian terpenting yang kerap diabaikan oleh pemerintahan di daerah adalah memberikan sarana agar mudahnya masyarakat daerah dalam memberikan pendapat kepada pemerintahan di daerah.

Partisipasi aktual dalam proses pemerintahan daerah tergantung pada keterbukaan-keterbukaan yang ada dalam kerangka hukum. Memang berguna memilah-milah pelbagai aspek yang berbeda-beda dari sistem hukum. Dalam hal ini, kerangka pemberdayaan –seperangkat hak-hak yang mendukung aksi warga- adalah sangat perlu. Hal-hal ini mencakup kebebasan berserikat, mengeluarkan pendapat dan hak media, yang bersama-sama memungkinkan para warga berorganisasi, memperoleh informasi, dan memproyeksikan pandangan mereka melalui media. Hak atas informasi tentang proses pemerintahan sangatlah penting untuk menjamin keterbukaan dan akuntabilitas[20].

Dengan demikian disadari bahwa partisipasi publik sangat penting dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang baik. Penyimpangan yang kerap terjadi dari kinerja pemerintahan adalah tidak terdapatnya tranparansi dalam pelaksanaan pemerintahan dan terselubungnya kegiatan-kegiatan koruptif yang ‘menggerogoti’ keuangan daerah.

Dalam konteks ini mestilah dipahami bahwa misi otonomi daerah adalah memperkuat posisi masyarakat atau rakyat di daerah (baik secara politik, ekonomi, dan budaya), dengan menjadikan pemerintah sebagai fasilitator dan pelindung masyarakat; bukan sebaliknya memperkuat posisi negara (aparat pemerintah) dengan berbagai perilakunya yang selama ini sarat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), dan sangat centralistic oriented, dengan muatan kepentingan dari kalangan pengusaha (multinasional, nasional, dan atau lokal) serta tentara yang berpolitik dan berbisnis.[21]

Transparansi dan akuntabilitas pemerintahan merupakan salah satu aspek mendasar bagi terwujudnya penyelenggaraan tata pemerintah yang baik. Perwujudan taraf pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan publik, khususnya dalam penggunaan berbagai sumber daya yang berkaitan secara langsung dengan kepentingan publik. Tanpa adanya proses yang transparan, kolaborasi antarberbagai stakeholder sebagai salah satu unsur penting bagi terciptanya tata pemerintahan yang baik akan sangat sulit untuk terwujud. Adanya transparansi memberikan jaminan pada masyarakat akan adanya persebaran informasi kebijakan sehingga memudahkan masyarakat dan stakeholder untuk melakukan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan[22].

Fenomena KKN dapat menajdi indikator dari rendahnya akuntabilitas pemerintah kabupaten dan kota yang menjadi salah satu ciri penting dari tata pemerintahan yang baik. Keberadaan praktik KKN membuat pemerintah kabupaten dan kota bukan hanya tidak akuntabel di mata warganya, namun dapat juga membuat pemerintah semakin kehilangan kepercayaan dan legitimasi[23].

Bedasarkan fakta diatas, disadari bahwa peran publik dalam meluruskan kinerja pemerintahan menjadi sangat penting. Namun bagaimana mengatur agar publik mampu mengawasi pemerintahan di daerah terutama yang berkaitan dalam penyusunan anggaran yang kerap terjadi kecurangan-kecurangan dari penyelenggara negara harus kita kaji untuk disesuaikan dengan keterbatasan-keterbatasan masyarakat daerah yang ada. Dalam hal ini diperlukan pula aturan yang mendukung agar terbuka ruang bagi keterlibatan masyarakat daerah. Pasal 53 UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan membuka ruang yang terbatas sesungguhnya bagi partispasi publik dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk menciptakan ruang partisipasi dalam pemerintahan daerah, maka pemerintahan daerah (baik legislatif dan eksekutif) perlu ”ikhlas” untuk membentuk peraturan daerah yang bisa membuka ruang partisipasi masyarakat daerah. Pemerintahan Kabupaten Solok, Sumatera Barat memperlihatkan ”keikhlasan” tersebut. Melalui Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang Transparansi Administrasi Pemerintahan dan Partisipasi Publik, pemerintahan Kabupatten Solok telah membangun semangat dari prinsip good governance.

Sekian, terima kasih.

 



[1] Makalah disampaikan pada Wilton Park conference on Indonesia: political and economic prospects, diadakan oleh Wilton Park is a not-for-profit executive agency of the UK Foreign and Commonwealth Office, in Wiston House, Steyning, West Sussex, 3-6 March, 2008.

[2] Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas.

[3] Jeremy Pope (edt), Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Penerbit Utama Grafiti, Jakarta, 1999, h. 42.

[4] Ibid, hal. 39.

[5] Robert Harris, Political Corruption, In and Beyond the Nation State, Routledge Publisher, London and New York, 2003, hal. 56.

[6] Artidjo Alkostrar, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, 2008, h. 40.

[7] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, h44.

[8] David Osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Penerbit PPM, Jakarta, 2000, h.23.

 

[9] www.opm.co.uk, The Good Governance Standard for Public Services, h.4.

[10] Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, Visimedia, Jakarta, h.87.

[11] Robert Klitgard, Opcit, h.38.

[12] Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta, 2003, h. 428.

[13] Ibid. h.429.

[14] Musa Asyarie, Birokrasi Kekuasaan, Bisnis Proyek, dan Korupsi, dalam; Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Bukum Kompas, Jakarta, 2005, h. 72.

[15]. Takdir Rahmadi, Pengaturan Peranserta Warga Dalam Pengambilan Keputusan Pemerintahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah disampaikan pada Semiloka Dosen pendidikan kewiraan se-kodam I Bukit Barisan, 10-11 April 2000, Padang, h.2.

[16] Ibid, h.3.

[17] Jeremy Pope, Loc-cit.

[18] Badan Anti Korupsi (Bako) Sumbar, Pelayanan Publik oleh Pemerintahan di Daerah, Makalah disampaikan pada Rapat kerja Bako Sumbar, 2006. Lihat juga Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.

[19] Baca Good Governance: http://www. Transparansi.or.id.

[20] Hans Antlov dkk, Bila Warga Ikut menata Negara : Wacana Negeri-negeri Jiran, Thailand, Indonesia, Filipina, dialih-bahasakan oleh Frits Pangemanan, Logo Link, Manila Filipina, 2005, h.27.

[21] Zulfan Heri dalam Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah, Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, 2001, h. 307.

[22] Agus Dwiyanto. Dkk, Reformasi Tata Pemerintahn dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada,2003, h. 129.

[23] Ibid, h.105.