Dewan Perwakilan

 

Daerah:


Antara Keterbatasan dan Akuntabilitas

(Makalah Disampaikan dalam Konsultasi Regional Membangun Sistem Akuntabilitas

Anggota Dewan Perwakilan Daerah terhadap Stakeholders , di Batam 28 Desember 2004)

Oleh Saldi Isra

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal MPR sebagai lembaga negara tertinggi. Di bawahnya terdapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liegi allein bei der Majelis) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes). Sementara itu, DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan bahwa kedudukan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka DPR dapat mengundang MPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa guna meminta pertanggungan jawab presiden.[1] Meskipun disebutkan bahwa kedudukan DPR adalah kuat, dalam perjalannya, keberadaan DPR lebih merupakan alat legitimasi presiden. Fungsi-fungsi konstitusional (legislasi, pengawasan, dan anggaran) DPR dapat dikatakan lumpuh total.

Setelah amandemen, DPR mengalami perubahahan, fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses pembentukan undang-undang. Perubahan ini penting artinya karena undang-undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD 1945.

Kemudian, perubahan Pasal 5 Ayat (1) diikuti dengan mengamandemen Pasal 20 UUD 1945 menjadi: (1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang; dan (5) dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi uandang-undang dan wajib diundangkan.[2]

Selanjutnya, Amanademen Kedua UUD 1945 juga memunculkan ketentuan baru yang semakin memperkokoh posisi DPR. Ketentuan itu dirumuskan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu (1) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; dan (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.

Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amandemen menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan yang meliputi: (1) menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain; (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara; (3) menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; (4) pengangkatan Hakim Agung; (5) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga “pertimbangan” DPR, seperti: (1) pengangkatan Duta; (2) menerima penempatan duta negara lain; dan (3) pemberian amnesti dan abolisi. Kekuasaan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).

Posisi DPR dalam UUD 1945 memunculkan pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya, bagaimana dengan kewenangan DPD sebagai kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat?

Secara jujur harus diakui, keberhasilan membentuk kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan DPD dalam Sidang Tahun MPR 2001 tidak terjadi seperti membalik telapak tangan. Selama pembahasan berkembang kontroversi yang mengemuka yaitu adanya kekhawatiran bahwa eksistensi DPD akan memporakporandakan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disinyalir, keberadaan DPD akan mengurangi efektifitas kebijakan pusat terhadap daerah. Ujung-ujungnya, DPD dituding mengusung semagat federasi yang sangat bertentangan dengan negara kesatuan.[3] Padahal, seperti disebutkan pada bagian terdahulu, tidak ada hubungan antara sistem bikameral dengan bentuk federalisme.

Meskipun mengundang kontroversi, kehadiran DPD sudah tidak terhindari lagi. Bahkan, lembaga baru ini diatur dalam ketentuan yang sama sekali baru, yaitu Bab VIIA tentang DPD. Eksistensi DPD dinyatakan dalam Pasal 22C UUD 1945, yaitu (1) anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, (2) anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun; dan (4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.

Berkenaan dengan kewenangan, DPD (1) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; (2) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; dan (3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Kalau kewenangan DPR dan DPD diletakkan dalam gagasan menciptakan bikameral dengan kewenangan yang relatif seimbang, maka dapat dikatakan bahwa sistem bikameral Indonesia dibangun dalam model soft bicameralism. Padahal, dari perkembangan pemikiran selama berlangsungnya Amandemen UUD 1945 bahwa penataan lembaga perwakilan rakyat diletakan dalam model strong bicameralism yaitu dengan memberikan kewenangan yang relatif berimbang antara DPR dan DPD. Semua ini bertujuan agar mekanisme chekcs and balances dapat berjalan relatif seimbang antara DPR dan DPD. Beberapa penjelasan berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD.

Pertama, dalam fungsi legislasi. Perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan penambahan Pasal 20A Ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi presiden[4] tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Oleh karena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD mempuyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang.

Banyak pendapat mengatakan, perubahan Pasal 20 Ayat (1) dan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.[5] Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan (rancangan, penulis) undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.[6]

Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, lembaga semacam DPD (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya di Austarlia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, meneliti ulang setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, yaitu House of Representatives (DPR). Dan, kedua, melalui three-fold committee system[7] mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu rancangan undang-undang.[8]

Kedua, dalam fungsi anggaran. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, …memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat terbatas yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil saja penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans, kalau kesempatan itu tidak ada, Majelis Tinggi seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN.[9]

Ketiga, fungsi pengawasan. Tidak berbeda dengan fungsi legislasi dan fungsi anggaran, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas.[10] Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, (e) pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f) pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam lembaga perwakilan rakyat.

Ketidakseimbangan antara DPD dan DPR juga dapat dicermati dalam proses pemberhantian presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa jabatannya (impeachment).[11] Berdasarakan Pasal 7B Ayat (1) sampai Ayat (6) UUD 1945, usul pemberhentian dapat diajukan kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR apabila presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7A UUD 1945. Kalau Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka MPR akan menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR. Untuk itu, Pasal 7B Ayat (7) UUD 1945 menentukan, keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Kalau ditelaah ketentuan kuorum yang dalam proses impeachment di MPR, peran DPD dapat diabaikan. Saat ini jumlah anggota DPR 550 orang[12] dan anggota DPD 128 orang[13]. Berarti anggota MPR berjumlah 678 orang. Menurut Refly Harun, impeachment dapat dilakukan tanpa melibatkan DPD karena jumlah anggota DPR yang 550 orang sudah lebih dari ¾ jumlah anggota MPR hanya berjumlah 508 orang. Hal yang sama juga berlaku dalam proses perubahan UUD 1945.[14] Celakanya, menurut Refly Harun lagi, konstitusi menyatakan bahwa bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Artinya, kehadiran DPD dalam MPR tidak bersifat kelembagaan, melainkan perseorangan. Seandainya interpretasi konstitusi dipaksakan bahwa MPR ada apabila ada anggota DPR dan DPD yang hadir sekaligus, tanpa kehadiran anggota DPD maka forum MPR tidak absah, cukup bagi DPR untuk seorang saja anggota DPD agar forum MPR menjadi sah.[15]

Bagimana setelah UU Susduk

Ketika Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPR Daerah (UU Susduk) masih dalam tahap pembahasan (baca: rancangan), banyak kalangan berharap agar DPR memperjelas beberapa persoalan mendua yang terdapat dalam UUD 1945 terutama memaknai kembali semangat strong bicameralism. Hasilnya, “jauh panggang dari api”, UU Susduk semakin memperkuat hegemoni DPR dan mengukuhkan sistem trikameral.

Khusus terhadap DPD, hegemoni DPR dapat dilihat perbedaan tugas dan wewenang antara DPR dan DPD yang terdapat dalam Pasal 26 Ayat (1) UU Susduk dan Pasal UU Susduk. Pasal 26 Ayat (1) UU Susduk secara detail menyebutkan tugas dan wewenang DPR yang meliputi:

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama;

b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;

c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan  dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;

d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah;

g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;

j. memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;

k. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden;

l. memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada presiden untuk ditetapkan;

m. memberikan pertimbangan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;

n. memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang;

o. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan

p. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.

Sementara itu, tugas dan wewenang DPD yang terdapat dalam Pasal 42 UU Susduk sangat terbatas, yaitu:

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.

(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Pada salah satu sisi, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai: (1) hak interpelasi, (2) hak angket, dan (3) hak menyatakan pendapat. Di luar hak institusi, anggota DPR juga diberi hak, di antaranya: (1) mengajukan rancangan undang-undang, (2) mengajukan pertanyaan, (3) menyampaikan usul dan pendapat, dan (4) imunitas. Sementara di sisi lain, DPD hanya berhak mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang sebagai mana dimaksukan dalam Pasl 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Bahkan, khusus untuk penggunaan hak angket, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa. Kalau penggilan paksa itu tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, DPR dapat melakukan penyenderaan. Melihat rumusan itu, bukan tidak mungkin, suatu ketika ada di antara anggota DPD yang menjadi sandera DPR.

Membangun Akuntabilitas

Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.[16]

Sejalah dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang sistem dua kamar terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi.[17]

Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, kedua pendapat di atas menghendaki sistem bikameral dengan kewenangan yang relatif berimbang antara kedua kamar/majelis di lembaga perwakilan rakyat (strong bicameralism), bukan soft bicameralism yang menjadikan satu kamar atau majelis mempunyai kekuatan lebih ketimbang yang lainnya. Dengan strong bicameralism, mekanisme chekcs and balances di antara kedua kamar/majelis dapat berjalan lebih seimbang. Tidak hanya itu, dengan strong bicameralism, mereka yang menjadi wakil rakyat menjadi lebih mudah untuk melaksanakan aspirasi dan akuntabilitas terhadap konstituen.

Pertanayaannya, bagaimana membangun sistem akuntabilitas anggota DPD dalam kewenangan konstitusional yang amat terbatas?

Sekalipun DPD mempunyai wewenang yang terbatas, akuntabilitas anggota tidak mungkin diketepikan. Bagaimanapun, kewenangan terbatas itu tetap harus dipertanggungjawabkan. Kalau tidak, sekecil apapun kekuasaan (wewenang) cenderung disalahgunakan (power tends to corrupt). Misalnya, dalam Pasal 41 UU Susduk ditentukan bahwa DPD mempunyai fungsi (a) pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu; dan (b) pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Akuntabilitas yang harus dituntut, misalnya, bagaimana anggota DPD mengawasi pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Akuntabiltas menjadi sebuah keniscayaan karena berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf e, f, g, dan h UU Susduk, anggota DPD mempunyak kewajiban (1) memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, (2) menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah, (3) mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, dan (4) memberikan pertanggung-jawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Akuntabiltas tidak hanya bagaimana wewenang itu dipertanggungjawabkan tetapi juga memberikan kesempatan kepada masyarakat terutama konstituen untuk berpartisipasi. Partisipasi itu dapat dilakukan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan partisipasi dalam melakukan evaluasi suatu kebijakan.

Terkait dengan partisipasi, dalam Pasal 2 Ayat (1) PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara dinyatakan bahwa peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk (a) hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara; (b) hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; dan (c) hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.

Untuk memberi tempat pada akuntabilitas, anggota DPD harus melakukan semua proses politik secara transparan. Pembahasan-pembahasan tertutup yang sudah menjadi kebiasaan di lembaga lain mesti dihindari. Proses transparan diperlukan agar perilaku menyimpang tidak terjadi. Di samping itu, anggota DPD harus mampu melaksanakan pengawasan internal dan kode ethik. Kode etik tidak saja diperlukan untuk menjaga martabat, kehormatan, citra. dan kredibilitas individu anggota tetapi juga menjaga institusi DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana anggota DPD ‘berkomunikasi’ dengan konstituen mereka.

Batam, 28 Desember 2004.



[1] Baca kembali Penjelasan UUD 1945 terutama bagian Sistem Pemerintahan Negara.

[2] Sebelum diamandemen Pasal 20 UUD 1945 menyatakan: (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR, dan (2) jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mndapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

[3] Bima Arya Sugiarto, (2002), Sidang Tahunan MPR 2002: Menuju Institusionalisasi, Menyelamatkan Transisi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI, No. 2, Jakarta.

Menurut Bima Arya Sugiarto, penolakan terhadap DPD sekaligus membuka polemik mengenai hasil Amandemen Kedua atas Pasal 18 UUD 1945 mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasal tersebut dipandang memiliki nuansa federalisme yang sangat kental dengan pernyataan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali untuk urusan-urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat.

[4] Dalam sistem presidensiil Amareika Serikat, misalnya, Presiden dapat menolak seluruh bill yang diajukan oleh House of Representative and the Senate. Penolakan ini secara tegas ditentukan dalam Pasal 1 ayat (7) poin 2 Konstitusi AS, all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan undang-undang itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.

[5] Saldi Isra, (2004), Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Loc.cit.

[6] Kevin Evans, (2002), Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

[7] Pada tahun 1970, dibentuk tiga komite di Senat yang mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketiga komite itu dikenal dengan three-fold committee system. Ketiga komite dimaksud adalah:

1. Standing Committees atau Permanent Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi jalannya administrasi seluruh departemen pemerintah.

2. Select Committees atau Special Inquiry Adhoc Committees. Komite ini membidangi urusan rumah sakit, kesehatan, peredaran obat, dan segala yang menyangkut penyalahgunaan obat-obatan, keamanan, hak-hak migran, serta pasar modal.

3. Estimates Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi penggunaan dana yang dialokasikan ke berbagai departemen pemerintah.

Lebih jauh tentang hal ini baca, Amzulia Rifai, (1994). Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

[8] Amzulia Rifai, ibid.

[9] Kevis Evans, (2002), Loc.cit.

[10] Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.

[11] Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

[12] Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota (UU Susduk) menyatakan, anggota DPR berjumlah 550 orang.

[13] Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Kemudian, Pasal 33 Ayat (1) UU Susduk menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang. Karena jumlah provinsi 32, maka jumlah anggota DPD 32x4 orang yaitu 128 orang.

[14] Refly Harun, (2004), Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah, dalam Koran Tempo, 18 Apil, Jakarta. Lihat juga, http://www.korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html

[15] Ibid

[16] Ramlan Surbakti, (2002), Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.

[17] Bagir Manan, (2003b), Loc.cit.