Kompas, 13 Februari 2004

Kibar Akbar dan Kiamat Peradilan

Oleh Saldi Isra

(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat

dan Dosen Hukum Tata Negara fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Sesuai dengan rumor yang berkembang sebelumnya, permohonan kasasi Akbar Tandjung diterima oleh Mahkamah Agung (MA). Hasil ini menjadi bukti kesekian kalinya kegagalan MA memberi khabar pertakut bagi pelaku korupsi. Jangankan akan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, MA lembaga pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi ini lebih banyak melindungi para pencoleng uang rakyat.

Melalui putusan yang dibacakan secara terbuka kemarin, MA menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (dan Pengadilan Tinggi Jakarta) yang menyatakan bahwa Akbar Tandjung terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yaitu melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c UU No. 3 Tahun 1971 jo Pasal 43A UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 65 KUHP.

Alasan majelis hakim kasasi menganulir putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding terdahulu, Akbar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Apalagi, pemohon kasasi hanya menjalankan perintah atasan. Pasal 51 ayat (1) KUHP menentukan, barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. Berdasarkan ketentuan itu, karena menjalankan perintah presiden BJ. Habibie, Akbar tidak dapat dihukum.

***

Putusan kasasi di atas, pada salah satu sisi, memperjelas kibar Akbar dalam pentas politik nasional. Ketua Umum Partai Golkar ini berpeluang melanjutkan kiprah politiknya menghadapi pemilihan umum 2004. Ancaman kehilangan posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sirna seketika. Bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam ini akan menjadi bagian terpenting dalam semua skenario yang akan dibangun. Akbar berpelung menjadi king-maker dalam setiap proses politik pada masa yang akan datang.

Dengan posisi sekarang, Akbar paling berpeluang memenangkan tiket konvensi calon presiden Partai Golkar. Tiket itu dapat “diperdagangkan” Akbar untuk membangun koalisi dengan partai politik lainnya terutama dengan PDI Perjuangan. Jauh hari, tanda-tanda ke arah ini pernah secara eksplisit dinyatakan Akbar, pemenang konvensi dapat saja menjadi calon wakil presiden partai politik lain. Sinyal ini mengarah pada kesiapan Akbar bergabung dengan Megawati dalam pemilihan presiden mendatang.

Sementara di sisi lain, dengan dikabulkannya permohonan kasasi Akbar, menjadi khabar buruk (kiamat) dunia peradilan di negeri ini. Lembaga tempat mencari keadilan ini semakin menuju titik nadir, kepercayaan publik akan semakin memudar. Pengadilan gagal membumikan prinsip equality before the law. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang bukan Akbar. Sehingga dalam kasus yang sama, Dadang dan Winfried mendapat perlakuan an-equal before the law.

Kalau dicermati secara mendalam, putusan kasasi Akbar masih saja terperangkap dalam pola-pola putusan terdahulu. Menurut Harkristuti Harkrisnowo (2002), pola itu dapat dikategorisasikan ke dalam tida golongan. Pertama, kasus diputuskan hakim sebagai kasus perdata, sehingga tidak layak diproses dalam peradilan pidana. Kedua, tidak ada bukti otentik yang mendukung sehingga terdakwa dibebaskan. Ketiga, bukti sangat kuat tetapi terdakwa dijatuhi pidana ringan.

Dari ketiga pola itu, dikabulkannya permohonan kasasi Akbar masuk pada kategori kedua. Dalam kasus penyelewengan dana non-bugeter Bulog yang melibatkan Ketua Umum Prartai Golkar yang terjadi tidak saja kekurangan bukti sulit dimentahkan tetapi juga pada kelemahan penyusunan dakwaan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan. Sejak awal sudah bisa dideteksi ketidakmampuan penuntut umum membongkar semua kejanggalan dalam penyelewengan dana non-bugeter Bulog. Akibatnya, majelis hakim kasasi begitu mudah mementahkan dakwaan yang dilakukan oleh penuntut umum.

Pertanyaan yang patut dikemukakan, adakah ketidakmampuan mengemukakan semua fakta-fakta hukum karena keterbatasan manusiawi belaka? Atau, merupakan sesuatu yang disengaja (by design) untuk kemudian membebaskan Akbar?

Melihat posisi terdakwa dan kuatnya aroma politik yang mengitari kasus ini, bukan tidak mungkin skenario untuk membebaskan Akbar sudah dirancang dari awal. Rasanya, tidak masuk akal, jika penuntut umum berulang kali melakukan kesalahan yang sama yaitu membuat surat dakwaan tidak jelas (obscuur libel). Tambah lagi, kontra memori kasasi penuntut umum gagal menutup kelemahan-kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan demikian, kesalahan yang terjadi dalam kasus korupsi Akbar adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan.

Meski demikian, dalam kasus korupsi, obscuur libel yang dilakukan oleh penuntut umum masih mungkin ditutupi kalau hakim yang menangani kasus korupsi punya niat untuk memberantas praktik korupsi. Caranya, hakim harus mampu berfikir progresif. Meminjam pandangan Satjipto Raharjo (Kompas, 11/02), hakim yang berfikir progresif akan memainkan peran yang amat sentral dalam masa reformasi. Sayangnya, dalam kasus Akbar, mayoritas majelis hakim kasasi terperangkap dengan tata-cara dan prosedur penanganan kasus yang konservatisme.

Tidak hanya itu, konsevatisme mayoritas hakim kasasi itu diperparah oleh record majelis hakim. Misalnya, mayoritas majelis hakim kasasi Akbar mempunyai latar belakang hukum administrasi negara. Akibatnya, penyelewengan dana non-bugeter Bulog lebih dilihat dari aspek administrasi. Record lainnya, sebagian hakim kasasi menjalani fit and propert test di DPR, tidak ada di antara mereka yang secara tegas berjanji untuk memberantas korupsi. Sebagai mereka terjebak dalam retorika membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Semestinya, hakim-hakim yang menangani kasus korupsi --terutama kasus korupsi yang bersentuhan dengan kekuasaan-- haruslah orang-orang yang mempunyai kemampuan extra-ordinary dalam memahami seluk-beluk korupsi. Apalagi, pelaku korupsi adalah orang yang mempunyai kemampuan extra-ordinary untuk menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat dengan jabatannya. Bukan tidak mungkin, kewenangan itu pula yang digunakan oleh Akbar untuk mempengaruhi majelis hakim kasasi.

***

Bernard Swartz (1997) dalam bukunya Book of Legal Lists: The Best and The Worst in American Law mencoba mengidentifikasi sepuluh putusan pengadilan terbaik dan sepuluh putusan pengadilan terburuk serta sepuluh hakim terbaik dan sepuluh hakim terburuk dalam praktik pengadilan Amerika Serikat. Kalau hal yang sama dilakukan di Indonesia, dapat dipastikan putusan dan hakim kasasi Akbar dan akan masuk jajaran sepuluh putusan pengadilan the worst yang pernah ada di negeri ini. Bisa jadi, akan menempati peringkat nomor satu paling jelek.

Kini, semuanya sudah terjadi. Melalui dissenting opinion, publik pun sudah mengetahui pendirian semua majelis hakim kasasi. Terbukti, mayoritas majelis hakim kasasi tidak mempunyai sense antikorupsi. Selanjutnya, harus ada upaya untuk melakukan eksaminasi publik guna mempelajari secara mendalam kasus korupsi Akbar. Ini penting artinya, agar kesalahan-kesalahan yang menguntungkan pelaku korupsi dapat dieleminir pada masa mendatang.

Bagaimanapun, semua itu tidak akan mampu mencegak kiamat dunia peradilan. Kibar Akbar pun belum tentu akan sukses karena bisa jadi Ketua Partai Golkar ini akan menjadi common enemy kelompok-kelompok antikorupsi. Kita Tunggu.