Saldi Isra

Proses legislasi semakin bergerak pasti menjauh dari semangat reformasi. Paling tidak gejala itu dapat dilacak dari langkah merevisi sejumlah undang-undang yang sedang dan akan berlangsung di DPR. Bila dibiarkan, proses legislasi akan menjadi mesin pembunuh massal ”anak-anak reformasi”.

Sulit dibantah, pergerakan tersebut terjadi karena sebagian besar elite politik merasa tidak terikat (lagi) dengan amanat dan semangat era reformasi. Pergerakan menjauh dari reformasi itu lebih banyak dipicu kepentingan politik sesaat para elite. Bagaimanapun, banyak institusi dan produk hukum yang hadir selama tahun- tahun awal reformasi begitu menyulitkan sejumlah elite.

Hampir semua lembaga yang lahir dari rahim reformasi bergantung pada substansi undang-undang sehingga perkembangan dan perubahan kalkulasi politik di DPR menjadi amat menentukan. Pilihan ”membunuh” melalui proses legislasi dapat terjadi lebih cepat bila kepentingan eksekutif (baca: presiden) bertaut dengan keinginan mayoritas anggota DPR.

Dalam sistem legislasi yang dianut, pertautan kepentingan mayoritas kekuatan politik DPR dan presiden akan dengan mudah menjadi mesin pembunuh karena suatu undang-undang adalah produk bersama eksekutif-legislatif. Apalagi, kedua institusi itu lebih sering terperangkap dalam hubungan saling sandera.

Berlangsung lama

Upaya ”membunuh” melalui proses legislasi telah berlangsung cukup lama. Paling tidak gejala tersebut dapat dilacak ketika DPR-pemerintah bersama-sama sepakat memberikan makna berbeda atas sejumlah ketentuan dalam UUD 1945. Di antara upaya memberikan makna itu dapat ditelusuri ketika mempersempit makna Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 saat hendak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Penyempitan pemaknaan itu dilakukan dengan menambahkan syarat ambang batas perolehan suara bagi partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagaimanapun, dengan adanya syarat tersebut semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, tetapi tidak memenuhi batas minimal presidential threshold, kehilangan kesempatan untuk mengajukan pasangan calon. Demi memenuhi batasan minimal tersebut, ”kawin paksa” menjadi pilihan tak terelakkan.

Bila makna Pasal 6A Ayat (2) dipersempit, syarat menjadi calon anggota DPD yang diatur Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945 bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan justru diperluas. Dengan perluasan itu, partai politik mendapat ruang memperlebar sayap politik mereka sampai ke DPD. Upaya memperlebar sayap itu menghasilkan DPD dengan cita rasa partai politik.

Alhasil, yang bisa dijelaskan dengan pilihan politik yang zig-zag itu, mayoritas partai politik seperti kehilangan naluri konstitusional yang sehat dalam memaknai semangat dan pesan UUD 1945. Padahal, bila ingin membangun sistem yang lebih baik dan demokratis, proses legislasi seharusnya dijadikan instrumen untuk menutup segala kelemahan dalam UUD 1945.

Semangat reformasi terancam

Di tengah segala bentuk resistensi atas upaya membunuh ”anak-anak reformasi”, dalam banyak kasus pembentuk undang- undang benar-benar menutup mata dan telinga terhadap suara-suara yang berkembang di masyarakat. Saat ini ancaman serupa masih berlangsung. Setidaknya dalam beberapa waktu ke depan sejumlah ”anak reformasi” terancam dimatikan melalui proses legislasi.

Dalam revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, misalnya, berkembang kehendak menyusupkan kader partai politik menjadi anggota KPU. Meskipun tak didukung semua kekuatan politik, mayoritas partai politik sedang berupaya keras membangun KPU dengan cita rasa partai politik. Padahal, bila secara jujur dengan nurani yang bersih membaca dan memaknai Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945, orang partai politik menjadi anggota KPU adalah sesuatu yang diharamkan. Namun, nafsu serakah menguasai semua lembaga negara, makna ”mandiri” dalam Pasal 22E Ayat (5) segera menemui ajalnya.

Gejala membunuh melalui proses legislasi juga tengah berlangsung di ranah undang-undang terkait penegakan hukum. Di antara institusi hasil reformasi yang tengah terancam adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Konstitusi. Meski belum begitu konkret, revisi UU KPK berpotensi membunuh posisi extraordinary yang dimiliki lembaga ini. Jalan untuk memandulkan KPK menjadi lebih mudah dilakukan karena KPK dinilai sebagai lembaga ad hoc.

Meskipun sebagian kecil kalangan DPR ada yang berpendirian bahwa revisi UU KPK adalah cara memperkuat KPK, pendapat itu pasti sulit mengalahkan pandangan mayoritas. Apalagi, sudah sejak lama mayoritas kekuatan DPR berupaya memangkas kewenangan KPK. Dalam beberapa waktu terakhir keinginan tersebut sedang berada di puncak, terutama setelah KPK menahan sejumlah politisi yang terlibat skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Tidak hanya KPK, MK juga berada dalam ancaman yang sama. Dengan revisi UU MK, terbaca gelagat membatasi ruang gerak MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Argumentasi yang sering dimunculkan sejumlah kalangan di DPR, MK begitu ”liar” menggunakan kewenangannya. Bila upaya membatasi tidak tertahankan, revisi UU MK akan berujung pada matinya makna substansial kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan.

Di tengah ancaman atas lembaga-lembaga produk reformasi tersebut, publik sulit berharap terjadi perubahan mendasar di DPR. Harapan yang mungkin tersisa, presiden menolak akal bulus memperalat fungsi legislasi. Bilamana logika yang ada sebangun dengan DPR, presiden tidak saja kehilangan nyali menghadapi kekuatan mayoritas DPR, tetapi juga ada kemungkinan sama-sama berniat membunuh ”anak-anak reformasi”.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum; dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/22/04511831/legislasi.yang.membunuh