Saldi Isra

Perdebatan panjang melelahkan mengenai ambang batas (pencalonan) presiden segera mengisi ruang publik. Melacak rancangan pemilihan umum secara menyeluruh, perdebatan serupa merupakan kelanjutan dari logika pembentuk undang-undang yang telah meneguhkan ambang batas parlemen secara nasional dalam pengisian anggota legislatif.

Kebutuhan akan kehadiran calon alter- natif dari luar jalur partai mengharuskan adanya pembahasan ulang pilihan politik yang meneguhkan ambang batas minimal dalam pengusulan paket calon presiden dan wakil presiden. Selain alasan konsti- tusi, meneguhkan ambang batas presiden juga kian mendorong hegemoni partai besar dalam menentukan calon presiden.

Pengalaman Pemilu 2009: partai dengan dukungan suara menengah ke bawah dalam pemilu legislatif hanya jadi pemain figuran saat pengajuan calon presiden. Pa- dahal, desain UUD 1945 memberikan ruang yang sama bagi semua partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden. Karena itu, ambang batas jadi momok bagi partai menengah ke bawah.

Tak hanya itu. Rekayasa di tingkat un- dang-undang guna memberlakukan ambang batas berdasarkan hasil pemilu anggota legislatif juga merupakan soal tersendiri. Dalam sistem presidensial, sangat mungkin pemilih punya alasan berbeda dalam memilih anggota legislatif dan pemimpin eksekutif tertinggi.

Desain konstitusi

Sebagai hukum dasar, UUD 1945 memberi arah lebih dari cukup dalam menata proses mengajukan calon presiden. Terkait dengan itu, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

Dalam posisi sebagai norma dasar, aturan yang ada masih mungkin dijelaskan le- bih jauh oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Meski demi- kian, elaborasinya tak boleh menyimpangi sesuatu yang dinyatakan definitif. Misalnya, Pasal 6A Ayat (2) itu mematok garis tegas: pasangan diusulkan oleh partai peserta pemilu. Arahan itu sekaligus memberi pesan dan demarkasi bahwa partai yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon.

Dengan pemahaman seperti itu, tidaklah tepat dan tidaklah beralasan membatasi ruang bagi partai yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu mengajukan pasangan calon. Pada dua pemilu presiden sebelumnya, ketaktepatan itu dipelihara dengan menghadirkan ambang batas. Bahkan, ambang batas yang ada cenderung meningkat tajam dari pemilu ke pemilu.

Buktinya, pada Pemilu 2004, pasangan calon hanya dapat diajukan oleh partai atau gabungan partai yang mendapat suara minimal 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR. Begitu pula dengan Pemilu 2009: partai dapat mengajukan calon jika memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional. Dari kecenderungan itu, menuju Pemilu 2014, mungkin ada kenaikan lagi sehingga hanya dua pasang calon yang ikut pemilu.

Dengan membaca perdebatan para pengubah konstitusi, kanalisasi melalui partai dalam mengajukan pasangan calon menjadi jalan tengah di antara dua pandangan yang berkembang. Di satu sisi berkembang pemikiran agar calon hanya diajukan oleh dua partai yang meraih suara terbesar pertama dan kedua dalam pemilu legislatif. Di sisi lain, ada keinginan mendorong calon perseorangan.

Menjelang Sidang Tahunan MPR 2001, perbedaan pandangan itu didamaikan dengan memberikan ruang kepada semua partai yang dinyatakan sebagai peserta pemilu. Bahkan, dalam rapat Komisi A, 5 November 2001, Wakil Ketua Slamet Effendy Yusuf (Golkar) menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan serentak: lima kotak untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota.

Sekalipun masih terdapat suara berbeda dalam merespons pandangan Slamet Effendy Yusuf, sampai pengambilan keputusan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001) tak ada pandangan dominan yang menghendaki adanya ambang batas untuk mengajukan pasangan calon bagi partai peserta pemilu. Bahkan, logika di balik kemungkinan adanya putaran kedua yang ditetapkan pada Perubahan Keempat UUD 1945 (2002) adalah bentuk antisipasi kemungkinan banyaknya calon presiden yang disebabkan banyaknya partai peserta pemilu.

Sebagai negara yang memilih dan mempertahankan sistem presidensial, pilihan menjadikan persentase hasil pemilu anggota DPR sebagai basis menghitung ambang batas mengajukan calon presiden sulit dibenarkan.

Dalam sistem presidensial, lembaga legislatif dan pemimpin eksekutif tertinggi (baca: presiden) sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat. Dengan itu, pilihan rakyat untuk satu lembaga tidak pada tempatnya digunakan dalam proses pengisian lembaga lain.

Merusak logika presidensial

Bukti bahwa mandat (pilihan) rakyat tak selalu sama antara yang ditujukan ke- pada salah satu lembaga dapat dilihat dari perbedaan hasil pemilihan anggota DPR dan hasil pemilu presiden. Pada Pemilu 2004, pemilih memberikan dukungan lebih besar kepada Partai Golkar. Namun, pada pemilu presiden, calon Partai Golkar gagal meraih dukungan terbesar. Bahkan, dalam Pemilu 2009, suara Partai Demokrat lebih kecil dibandingkan dengan suara yang diraih SBY. Suara Partai Demokrat kecil berarti pemilih tak menghendaki partai ini berkekuatan mayoritas di DPR.

Dengan basis argumentasi itu, menggu- nakan hasil pemilu anggota DPR sebagai dasar perhitungan ambang batas untuk mengajukan pasangan calon presiden jelas merusak logika sistem presidensial. Oleh karena itu, dasar argumentasi yang diba- ngun Slamet Effendy Yusuf adalah konse- kuensi logis mempertahankan sistem presidensial. Bahkan, jika pemisahan jadwal pemilu legislatif dan eksekutif tak terhin- darkan, memperimpitkan mandat rakyat dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran nyata dari daulat rakyat. Pilihan demikian membiarkan ambang batas presiden menjadi tirani baru.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas