Ombudsman Dalam Bingkai Ketatanegaraan RI
(Sejarah Pembentukan dan Tantangan Kedepan)[1]
Saldi Isra[2]
I. Gagasan Awal Pembentukan Ombudsman[3]
Tanggal 20 Maret 2009 nanti, genap sudah 9 tahun usia Komisi Ombudsman Nasional (KON). Keberadaan Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia awalnya dibentuk dengan nomenklatur “Komisi Ombudsman Nasional” pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sejak disahkannya RUU Ombudsman RI menjadi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 oleh DPR RI pada tanggal 9 September 2008, lembaga KON berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.
Gagasan pembentukan Ombudsman di Indonesia sesungguh sudah pernah muncul di tahun 1999. Tanggal 8 Desember 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman dan Antonius Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk dengan Keppres tersebut.
Pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya.[4] Sehingga akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman. [5]
Bila dibaca Keppres Nomor 44 Tahun 2000, setidaknya terdapat tiga gagasan pentingnya kehadiran Komisi Ombudsman Nasional;
- bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme;
- bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
- bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan;
Di awal pembentukannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden, KON memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR.
Dalam kasus tersebut, KON menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal 8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur sebagai seorang Presiden. Oleh karena itu kemudian KON memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
II. Proses Legislasi UU Ombudsman
Akar sejarah perkembangan Ombudsman modern dapat dilacak dari istilah “justitie ombudsman” (Ombudsman for justice) di Swedia yang didirikan pada tahun 1809. Institusi Ombudsman mulai menyebar ke negara-negara lain pada abad ke dua puluh, yaitu ketika negera-negara Skandinavia mulai mengadopsinya: Finlandia pada 1919,, Denmark (1955) dan Norwegia (1962). Popularitas institusi Ombudsman kemudian meningkat sejak dekade 1960-an, ketika banyak negara-negara persemakmuran dan negara-negara lain, terutama negara-negara Eropa mendirikan institusi Ombudsman seperti halnya Selandia Baru (1962), Inggris (1967), Propinsi-propinsi di Kanada (mulai tahun 1967), Tanzania (1968), Israel (1971), Puerto Rico (1977), Australia (1977 pada tingkat federal, 1972-1979 pada tingkat negara), Perancis (1973), Portugal (1975), Austria (1977), Spanyol (1981) dan Belanda (1981).[6]
Pada tahun 1998, lebih dari 100 negara di seluruh dunia telah membentuk lembaga ombudsman. Di beberapa negara ada Ombudsman yang eksistensinya berada pada tingkat regional, provinsi, negara bagian atau pada tingkat distrik (kabupaten/kotamadya). Beberapa negara mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat nasional, regional dan sub-nasional seperti halnya Australia, Argentina, Meksiko, dan Spanyol, sementara negara-negara yang lain mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat sub-nasional pemerintahan seperti Kanada, India dan Italia. Institusi Ombudsman sektor publik banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Amerika latin, Karibia, Afrika, Australia, Pasifik dan Asia.
Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang dan saat ini kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi.
Di negara-negara yang pernah mengalami totalitarian dengan rezim Militer yang kuat seperti Afrika misalnya, awalnya juga membentuk KON sebagai bagian dari proses transisi menuju demokrasi. Negara-negara yang berfaham Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi semacam Ombudsman yang sangat kuat bernama Minister of Supervision, begitu juga dengan Vietnam. Sehingga meskipun Ombudsman menjadi suatu keharusan dalam negara demokratis, bukan berarti ia (atau setidaknya institusi sejenis Ombudsman) tidak dapat berkembang di negara-negara yang tidak menjadikan demokrasi sebagai pijakan.[7]
Perkembangan terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-Undang. Barangkali, bila amandemen kelima bergulir, keberadaan KON di tingkat konstitusi akan dapat terwujud.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas, pengundangan Ombudsman menjadi salah satu indikator keberhasilan program pembangunan hukum nasional. Sejalan dengan itu Presiden melalui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 memberi tugas kepada Ombudsman untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Ombudsman (RUU Ombudsman). Sejalan dengan itu, dalam Sidang Umum MPR Tanggal 9 Nopember 2001, MPR mengeluarkan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan DPR agar membuat undang-undang antara lain tentang kebebasan memperoleh informasi, undang-undang ombudsman dan undang-undang perlindungan saksi.
Draft RUU Ombudsman diselesaikan oleh KON sejak tahun 2001 dan pada tahun 2002 menjadi inisiatif DPR RI. Namun sampai tahun 2004 pemerintah tidak merespon sebagaimana mestinya, karena tidak segera mengeluarkan Amanat Presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Ombudsman.
RUU KON yang sudah menjadi inisiatif DPR, kandas begitu saja ketika tidak ada keinginan dari Presiden Megawati saat itu mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk wakil pemerintah untuk membahasnya dengan DPR. Meskipun DPR telah mangajukan hal tersebut jauh sebelum putaran suksesi dalam Pemilu 2004 dimulai. Demikian juga halnya pemerintahan SBY yang tidak memasukkan UU Ombudsman sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004-2009. Untungya dalam hal ini DPR periode 2004-2009 melalui Komisi III dan Badan Legislasi memberikan komitmennya untuk tetap mendukung agar UU Ombudsman dapat segera disahkan dalam masa jabatan mereka.
Pada tahun 2005 DPR kembali memasukkan RUU Ombudsman RI sebagai usul inisiatif, dan pada tahun 2007 dimulai pembahasannya di DPR. Menteri Hukum dan HAM ditunjuk Presiden sebagai wakil pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama dengan Komisi III DPR RI. RUU ini secara maraton, namun rencana tersebut dibatalkan. Sampai akhir tahun 2007 ini DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan pembahasan sejumlah 16 DIM. Artinya masih tersisa 199 yang harus dibahas pada tahun 2008. Mengingat pembahasan RUU Ombudsman belum diselesaikan, maka pada tahun 2007 DPR RI untuk kedua kalinya memasukkan RUU Ombudsman RI dalam Prolegnas dan dibahas serta disahkan pada tahun 2008.
III. Perbandingan Keppres 40 Tahun 2000 dan UU 37/2008
DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Ombudsman. Melalui forum Rapat Paripurna Tanggal 9 September 2008 seluruh fraksi satu suara menyetujui RUU yang dibahas sejak tahun 2005 itu menjadi Undang-undang. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia telah berlaku menggantikan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang lebih dari delapan tahun menjadi landasan hukum Komisi Ombudsman Nasional dalam menjalankan tugasnya. Setelah berlakunya Undang-undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.[8]
Dengan pemberlakuan UU 37/2008, memberikan makna penting bagi Ombudsman RI, yakni Ombudsman bukan lagi berbentuk komisi,melainkan lembaga negara yang sejajar dengan kepolisian dan kejaksaan. Kewenangan lembaga ini juga bertambah. Ombudsman memiliki kewenangan lebih dalam melakukan perannya dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.
Dulu, di bawah Keppres 44 Tahun 2000, KON hanya berfungsi sebagai pemberi pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of sanction). KON tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen pemaksa (legally binding/su poena power). Walaupun dalam beberapa kasus (ternyata) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat. Ini dikarenakan figur seorang Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya, sebab pemilihannya dilakukan melalui proses yang partisipatif, transparan dan accountable. Pengaruh Ombudsman masuk melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada Penyelenggaran Negara. Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR. Untuk kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman. Namun dalam prakteknya dulu, tidak sedikit rekomendasi KON yang dikesampingkan atau bahkan dipinggirkan.
Di bawah UU 37/2008, yang sebelumnya rekomendasi Ombudsman bersifat tidak mengikat, kini rekomendasi itu wajib. Artinya, setiap instansi yang menjadi pihak terlapor,wajib menjalankan rekomendasi kami.Jika rekomendasi tidak dilaksanakan maka akan dikenakan sanksi administratif. Pengaturan Ombudsman dalam undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah.
Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah propinsi, kabupaten/kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power, rekomendasi bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi Ombudsman dalam menangani laporan. Mengingat besarnya kewenangan dalam undang-undang, Ombudsman RI perlu melakukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang diamanatkan undang-undang. Kewenangan yang besar harus ditunjang oleh infrastruktur yang kuat dan sumberdaya manusia yang profesional. Bila Ombudsman tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai maka kewenangan yang diberikan oleh undang-undang menjadi tidak berarti.
Selain itu, UU 37/2008 memberi penambahan kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat (1) huruf e). UU ini juga merampingkan komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres 44/2000 berjumlah 11 orang, menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatan ditetapkan berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan.
Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan anggota Ombudsman diwajibkan merahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan publik yang meliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas.
Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini tidak pernah diatur dalam Keppres 40/2000. Inspeksi “dadakan” ini tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untuk menjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinan atau anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuat informasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan.
UU 37/2008 ini juga memberikan dua hak ekslusif untuk Ombudsman. Pertama, hak imunitas atau kekebalan sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman. Dengan imunitas ini, (sebagaimana diatur dalam Pasal 10), Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan.[9] Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan “Dalam hal terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa”.
IV. Sembilan Tahun Kiprah KON
Merujuk kepada hasil Laporan KON Tahun 2007 Ombudsman Nasional[10], berdasarkan asal propinsi instansi yang dilaporkan, DKI Jakarta merupakan propinsi dengan jumlah instansi terbanyak yang dilaporkan oleh masyarakat yaitu 193 (seratus sembilan puluh tiga) laporan, disusul Propinsi Jawa Tengah sebanyak 157 (seratus lima puluh tujuh) laporan, Propinsi empat puluh enam) laporan, Propinsi Jawa Timur 60 (enam puluh) laporan, Propinsi Sumatera Utara 59 (lima puluh sembilan) laporan, Propinsi Jawa Barat 53 (lima puluh tiga) laporan, Propinsi DI Yogyakarta 49 (empat puluh sembilan) laporan, dan Propinsi Sulawesi Selatan 40 (empat puluh) laporan. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Klasifikasi Asal Propinsi Pelapor
Sumber; :
Laporan Komisi Ombudsman Nasional tahun 2007, hlm 27
Instansi yang terbanyak dilaporkan masyarakat hingga periode Triwulan IV adalah Kepolisian, yaitu sebanyak 256 (dua ratus lima puluh enam) laporan, disusul Pemerintah Daerah, sebanyak 170 (seratus tujuh puluh) laporan, lembaga Peradilan sebanyak 114 (seratus empat belas) aporan, Instansi Pemerintah (Departemen) sebanyak 71 (tujuh puluh satu) laporan, Badan Pertanahan Nasional 58 (lima puluh delapan) laporan, dan Kejaksaan sebanyak 47 (empat puluh tujuh) laporan.
Penundaan Berlarut (undue delay) dalam memberikan pelayanan umum masih merupakan substansi keluhan yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat yaitu sebanyak 343 Bertindak Sewenang-wenang, sebanyak 92 (sembilan puluh dua) laporan (10,64%), disusul substansi Bertindak Tidak Adil 84 (delapan puluh empat) laporan (9,71%).
Tabel Substansi Laporan
Memasuki usianya yang ke-9 tahun pada bulan Maret ini, masih banyak segmentasi sosial (termasuk penyelenggara negara) yang belum memahami tentang peran dan arti penting institusi Ombudsman. Pemahaman akan tugas dan fungsi Ombudsman sangat mempengaruhi tingkat partisipasi mereka guna mendukung eksistensi dan perkembangan Ombudsman pada masa yang akan datang. Barangkali, ini agenda penting yang harus segera di bangun sebelum Ombudsman Republik Indonesia merayakan ulang tahun yang ke-10 di tahun mendatang. Mari kita tunggu.
Padang, 1 Maret 2009
[1] Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Wajah Baru Ombudsman Republik Indonesia: Mencari Sosok Calon Ombudsman Ideal”, dilaksanakan oleh Ombudsman Republik Indonesia dan PC , di Hotel Imperial Aryaduta, Makassar, 5 Maret 2009.
[2] Staf Pengajar dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
[3] Kata “Ombudsman” sebenarnya berasal dari Swedia yang berarti “perwakilan”. Banyak nama lain digunakan untuk menggantikan kata Ombudsman. Sebagai contoh, Defenbder del Pueblo adalah intitusi Ombudsman yang digunakan di sejumlah negara berbahasa Spanyol (seperti Spanyol, Argentina, Peru dan Colombia). Parliamentary Commissioner for Administration di Sri lanka dan Ingris; Mediateur de la Republique di Perancis, Gabon, Mauritania, Senegal; Public Protector di Afrika Selatan; Protectour du Citoyen di Quebec; Volksanwaltschaft di Austria, Public Compalint Commisison di Nigeria; Provedor de Justica di Portugal; Fifenso Vivico di Italia; Investigator-General di Gambia; Citizens Aide di Iowa; Wafaqi Mohtasib di Pakistan dan Lok Ayukta di India adalah sejumlah nama-nama Ombudsman di seluruh dunia.
[4] Antonius Sujata, dkk, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002, hlm, 2
[5] Pada awal pembentukannya susunan keanggotaan terdiri dari: Antonius Sujata, SH (Ketua merangkap Anggota), Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH (Wakil Ketua merangkap Anggota), Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL (Anggota), Drs. Teten Masduki (Anggota), Ir. Sri Urip (Anggota), R.M. Surachman, SH, APU (Anggota), Pradjoto, SH, MA (Anggota), dan KH. Masdar F. Mas’udi, MA (Anggota). Dalam perjalanan selanjutnya Pradjoto, SH, MA dan Ir. Sri Urip mengundurkan diri karena bertugas di tempat lain, sementara Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL mengambil langkah yang sama karena terpilih menjadi HakimAgung. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pada tahun 2003 diangkat seorang anggota Ombudsman yang baru bernama Hj. Erna Sofwan-Sjukrie, dengan latar belakang mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
[6] Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan (seperti) Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol adalah ketika pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan sebagai “perantara” bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada Kaisar. (lihat; Bryan Gilling, The Ombudsman in New Zealand, Dunmore Press, Wellington, 1998)
[7] Antonius Sujata dan Surahman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002.
[8] Pasal 46 Bab Ketentuan Peralihan menyatakan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, nama Ombudsman yang telah digunakan sebagai nama institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan undang-undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini”.
[9] Pada bagian penjelasan disebutkan imunitas tidak berlaku apabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
[10] Sampai dengan makalah ini ditulis, belum ada laporan resmi tahun 2008 dari Ombudsman Republik Indonesia yang dipublikasi. Laporan Ombudsman dari tahun 2002 sampai dengan 2007 dapat diklik di http://www.ombudsman.go.id/index.php/publikasi.html