Urgensi Penyelesaian Revisi UU KY, MA dan MK
Sebelum Pemilu 2009[1]
Saldi Isra
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fak. Hukum UNAND Padang;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM
Proses penyelesaian revisi paket undang-undang di ranah kekuasaan kehakiman (yaitu: Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi) menunjukan kekhawatiran yang amat serius. Padahal, proses legislasi paket undang-undang tersebut telah berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Bahkan, ketiganya telah diputuskan menjadi prioritas program legislasi nasional tahun 2007.
Namun sampai awal tahun 2009 ini, revisi ketiga undang-undang tersebut tampaknya masih menjadi tanda tanya besar. Kekhawatiran kalangan yang concern atas pembaruan kekuasaan kehakiman di negeri ini, paket revisi undang-undang di ranah kekuasaan kehakiman tidak akan dapat diselesaikan sampai berakhirnya masa kerja DPR Periode 2004-2009. Kalaupun dapat diselesaikan, sulit diharapkan hadirnya substansi yang mendukung kelanjutan pembaruan kekuasaan kehakiman.
Mencermati proses pembahasan yang telah dan sedang berlangsung di Kimisi III DPR DPR RI, aroma kepentingan politik (jangka pendek!) DPR begitu mendominasi suasana dan jalannya pembahasan paket revisi undang-undang di ranah kekuasaan kehakiman. Setidaknya, kepentingan itu dapat dibaca dari munculnya upaya percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (RUU MA) terutama yang terkait dengan isu perpanjangan usia pensiun hakim agung. Dilihat dari urgensi dan latar belakang keharusan melakukan revisi, menjadi sulit menerima revisi RUU MA lebih diprioritaskan dibandingkan rancangan undang-undang yang lain termasuk Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial (RUU KY).
Karenanya muncul kecurigaan, RUU MA menjadi prioritas karena ada “kepentingan” Komisi III DPR dengan MA. Apalagi sebelumnya, telah dilakukan perpanjangan usia pensiun Hakim Agung dari 65 tahun menjadi 67 tahun. Bagi sebagian kalangan yang concern atas pembaruan dan kinerja MA, perpanjangan usia pensiun itu seperti memberikan cek-kosong kepada lembaga ini karena Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU No. 5/2004 memberikan ruang kepada MA untuk menenentukan sendiri kriteria “mempunyai prestasi kerja luar biasa” untuk diperpanjang menjadi 67 tahun.
Bagaimanapun, langkah DPR mempercepat pembahasan RUU MA tanpa melakukan sinkronisasi dengan semua RUU di ranah kekuasaan kehakiman tentu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dipaksakan dan dapat dibaca sebagai sebuah langkah yang cenderung politis. Jika tidak harus mendahulukan pembahasan RUU KY, seharusnya pembahasan semua RUU di ranah kekuasaan kehakiman dibahas dalam satu paket. Hal itu menjadi sebuah keniscayaan agar ke depan terjadi sinergi dan pengaturan tugas dan kewenangan yang jelas antara KY, MA, dan MK. Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, akan kehilangan makna substantifnya jika revisi undang-undang yang lain tidak disinkronkan dengan UU KY.
Konsep tidak jelas
Secara konstitusional, pengaturan lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman diatur dalam Bab IX dengan titel “Kekuasaan Kehakiman” Pasal 24, Pasal 24 A, Pasal 24 B, dan Pasal 24C UUD 1945. Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (tidak mengenal adanya cabang kekuasan kehakiman). Setelah amandemen ketiga UUD 1995 dalam Bab IX kekuasan kehakiman menganut model peradilan biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sekalipun tidak pemegang kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial diberikan posisi penting dalam ranah kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden”. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Guna menindaklanjuti perubahan besar di ranah kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945, selama rentang waktu tahun 2003-2004 telah dilakukan serangkaian penyesuaian (baca: perubahan dan pembentukan beberapa undang-undang) yang meliputi: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah Agung, (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, (5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan (6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Terkait dengan perubahan itu, Rifqi S Assegaf menilai bahwa penyusunan dan perubahan undang-undang bidang peradilan terjebak dalam ketiadaan konsep (http://www.parlemen.net). Sepertinya, dalam pandangan Pemerintah dan DPR, masalah utama lembaga peradilan hanyalah untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan perubahan UUD 1945 dan penyesuaian dengan penyatuan atap. Karena itu, Rifqi S Assegaf menambahkan, perubahan undang-undang bidang peradilan merupakan lelucon yang tidak lucu. Pandangan itu dapat dimengerti karena tidak semua undang-undang tersebut punya semangat yang kuat untuk mereformasi kekuasaan kehakiman. Bahkan, untuk keterbukaan saja tidak sama untuk semua undang-undang.
Misalnya, sekalipun UU No 5/2004 disahkan sekitar empat bulan setelah pengesahan UU No 24/2003, UU No 5/2004 tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan akuntabilitas MA. Dalam BAB III Bagian Kedua Pasal 12-14 UU No 24/2003 secara eksplisit ditentukan: pertama, MK bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih; kedua, MK wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai: (a) permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; (b) pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan MK; dan ketiga, masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan MK. Sayangnya, prinsip-prinsisp keterbukaan itu tidak muncul dalam UU MA yang disahkan setelah UU MK.
Reformasi sistemik
Dalam rangka reformasi sistematik dunia peradilan di Indonesia perlu adanya perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan melakukan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, UU MK, dan UU KY terkait dengan sistem peradilan terpadu. Dengan demikian akan terhindar dari ketidaksesuaian norma. Namun tampaknya DPR tidak memiliki grand design yang jelas dalam memetakan keempat Undang-undang tersebut. Selayaknyalah MA, MK, dan KY, serta DPR dapat lebih memperhatikan hal-hal substantif lainnya yang memang dibutuhkan oleh undang-undang lembaga peradilan untuk dapat mendorong jalannya reformasi yudikatif secara optimal.
Di luar itu, substansi dari RUU MA yang kini sedang dibahas memposisikan KY (seakan-akan) menjadi subordinat dari MA. Ketentuan ini dapat dibaca pada Pasal 32 ayat (1) RUU MA tersebut yang menyatakan “Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman”. Ketentuan ini, jelas dapat menimbulkan interpretasi bahwa MA memegang kewenangan kekuasaan tertinggi. Sehingga pengawasan KY lebih rendah dari pengawasan internal MA atau hanya sebagai supporting organ semata.
Sekedar mengulas, Pada tanggal 16 Agustus 2006 MK mengeluarkan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 yang memangkas kewenangan KY dalam melakukan pengawasan kepada para hakim. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal atau bagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang KY dan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian pasal-pasal tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini mengingat bahwa segala ketentuan UUKY yang menyangkut pengawasan terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Secara lebih terinci MK berpendapat bahwa:
(i) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UUKY mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UUKY yang menimbulkan ketidak pastian hukum (rechtsonzeker heid);
(ii) UUKY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subyek yang mengawasi, apa obyek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam UUKY serta perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan semua ketentuan UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;
(iii) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UUKY didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berada dalam pola hubungan checks and balances antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahkan kekuasaan (separation of powers), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya.
Selanjutnya, dalam halaman 201 Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 dinyatakan:
Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.
Dalam kaitanya dengan revisi UU KY, MA, dan MK, implikasi lain dari Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 munculnya kekosongan hukum mengenai pelaksanaan pengawasan hakim oleh KY. Dengan kejadian ini, pengawasan hakim kembali mengandalkan pengawasan internal. Padahal, selama ini, pengawasan internal dianggap tidak optimal dalam mengawasi praktik menyimpang hakim. Dalam konteks ini, sinergitas revisi ketiga Undang-undang tersebut, khususnya dalam hal menata-ulang masalah pengawasan, menjadi sebuah keharusan.
Sudah selayaknya, pembahasan RUU MA dikembalikan pada spirit putusan MK dan suara publik yang menghendaki perbaikan dan penguatan sistem pengawasan hakim oleh KY. Revisi UU MA, bersama RUU dan MK, merupakan entry point untuk melakukan itu. Revisi yang setidaknya dapat memberikan penguatan bagi independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman. Sekaligus memberikan perlindungan bagi kepentingan masyarakat, khususnya para pencari keadilan.
Tidak saja menyangkut masalah pengawasan Hakim, beberapa ketentuan dalam RUU MA jelas-jelas telah mengurangi kewenangan konstitusional KY yang dijamin oleh UUD 1945. contoh lain adalah pasal yang mengatur tentang seleksi calon Hakim Agung. Dalam Pasal 8 ayat (2a) RUU MA disebutkan ”bahwa calon hakim agung yang diusulkan KY dipilih oleh DPR sebanyak 1 orang dari 3 nama calon untuk setiap lowongan”. Pada praktiknya, selama dua tahun terakhir KY kesulitan mendapatkan calon hakim agung yang memenuhi kriteria. Karena itu, seharusnya perbandingan calon Hakim Agung yang diusulkan KY dengan yang akan dipilih DPR idealnya adalah dua banding satu atau dua nama calon untuk memilih satu orang sebagai hakim agung.
Problem lain adalah menyangkut masalah sinkronisasi dan harmonisasi lembaga pengawasan yang terdapat di dalam UU MA dengan perundang-undangan lainnya. Terjadinya perseteruan MA-KY soal ini tidak lain karena belum adanya sinkronisasi dan harmonisasi di antara undang-undang yang ada. MA melalui pasal 32 ayat (1) UU MA memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Sedangkan, secara normatif pasal 20 UU KY juga telah memberikan kewenangan kepada komisi ini untuk melakukan pengawasan. Ini harus segera diakhiri dengan sinkronisasi ketiga undang-undang lembaga peradilan, (in casu; UU MA, UU MK, dan UU KY).
Materi lainnya yang menjadi sorotan adalah mengenai masa jabatan hakim agung yang menurut RUU MA tersebut dapat diperpanjang hingga usia 70 tahun. Padahal, pada rentang usia tersebut seseorang biasanya sudah tidak produktif lagi dan usia pensiun 70 tahun sebenarnya lebih tinggi dibanding dengan sejumlah jabatan publik lainnya. Mengutip data yang dipublikasikan ICW, usia pensiun bagi Ketua Pengadilan Negeri 62 tahun, usia pensiun bagi Ketua Pengadilan Tinggi 65 tahun, dan usia pensiun bagi Hakim Mahkamah Konstitusi 67 tahun.
Masa jabatan hakim agung di MA sudah seharusnya dibatasi seperti hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kepentingan regenerasi. Sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pembatasan masa jabatan hakim MK adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Idealnya, peraturan yang sama juga diberlakukan untuk hakim agung di MA, agar masa jabatan untuk hakim agung juga bisa lebih singkat yaitu antara 5 tahun dan 10 tahun. Paling tidak, Hal ini dapat dilihat sebagai upaya regenerasi yang berlanjut di MA sekaligus bentuk pengawasan atas kinerja, komitmen, dan integritas masing-masing hakim agung.
Urgensi revisi
Hasil penelitian terbaru The Political and Economic Risk Consulting (PERC) di Hongkong tahun 2008 menyatakan, peradilan di Indonesia adalah yang terburuk di Asia. Sebelumnya, hasil Transparansi Internasional Indonesia (TII) selama 5 tahun berturut-turut sejak 2004 menyatakan lembaga peradilan sebagai 5 lembaga terkorup di Indonesia. Survey Kompas tahun 2006 menyebutkan, 62% responden menilai MA bercitra buruk, 89,1 menyatakan keputusannya beraroma KKN, dan 70 persen menyatakan kinerjanya tidak memuaskan. Dalam laporan tahunan Komisi Ombudsman tahun 2005, lembaga yang paling banyak diadukan adalah pengadilan yaitu sebanyak 35 % dari 3902 pengaduan.
Citra dan potret buram dunia peradilan Indonesia di atas tampaknya tidak mampu menyetuh nurani para wakil rakyat di Senayan. Kondisi itu diperparah dengan tidak jelasnya komitmen pemerintah dalam penyelesaian pembahasan paket RUU di ranah kekuasaan kehakiman. Tampak jelas keseriusan mereka dalam menyelesaikan revisi paket UU kekuasaan kehakiman amat sulit untuk ditagih. Padahal, revisi terhadap UU MA, MK dan KY sangat urgen serta menjadi bagian integral dari penataan hubungan lembaga negara dilihat dari perspektif pembagian kekuasaan negara.
Meskipun demikian, dalam tanggang waktu yang tersisa menjelang Pemilu 2009, DPR dan pemerintah harus menyelesaikan paket RUU di ranah kekuasaan kehakiman. Jika hal itu tidak dilakukan, hampir dapat dipastikan bahwa pekerjaan yang terbengkali saat ini kemungkinan baru akan dibahas pada awal tahun 2010. Dengan desain waktu pelaksanaan pemilu, terhitung mulai Januari sampai Oktober 2010 hampir semua agenda kenegaraan akan berfokus pada pemilu, yaitu mulai dari pemilu anggota legislatif sampai dengan pemilu presiden dan wakil presiden.
Melihat kondisi yang ada dan kalkulasi waktu menjelang Pemilu 2009, tidak ada pilihan lain kecuali DPR dan Pemerintah bekerja purna-waktu. Apalagi, publik masih menunggu proses penyelesaian RUU Pengadilan Tindak Korupsi. Tidak hanya sebatas menyelesaikan revisi, bagi publik yang concern terhadap pembaruan kekuasaan kehakiman, substansi undang-undang tidak bolek digadaikan karena alasan keterbatasan waktu. Jika dalam membahas RUU di bidang politik mampu bekerja ekstra, hal serupa seharusnya juga dilakukan dalam menyelesaikan revisi paket UU bidang kekuasaan kehakiman tersebut. Adalah menjadi tidak masuk akal menyelesaikan revisi tersebut tanpa kemauan untuk bekerja purna-waktu.
Dalam situasi seperti saat ini, DPR dan Pemerintah tidak boleh bermain-main dengan kelanjutan pembaruan kekuasaan kehakiman. Singkatnya, DPR dan Pemerintah tidak boleh mempermainkan dan mencederai logika publik dalam melanjutkan reformasi kekuasaan kehakiman. Bagaimanapun, menenlantarkan revisi RUU kekuasaan kehakiman, berarti DPR dan Pemerintah sedang berjudi dengan logika publik. Kalau itu terjadi, mereka yang menggadaikan amanat reformasi tidak layak lagi diberi amanat memimpin negeri setelah Pemilu 2009.
[1] Makalah disampaikan dalam seminar “Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakkan Hukum”, diadakan oleh Komisi Yudisial, di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, 04 Februari 2009.