Fungsi Legislasi DPD

dalam Penguatan Aspirasi Daerah[1]

Oleh Saldi Isra

Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fak. Hukum Univ. Andalas, Padang

Kesatu

Dalam masa pendirian republik ini pun, adanya perwakilan daerah juga dibahas. Salah satu pandangan yang penting untuk dicatat dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah pandangan Moh. Yamin dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945 yang menyatakan:[2]

“…kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia”

Bila ditelusuri lebih jauh, dalam catatan sejarah Indonesia modern, gagasan perwakilan politik berbasis ruang (teritorial/daerah) sesungguhnya bukan sesuatu yang baru muncul. Jauh diseparuh abad silam, tepatnya antara tahun 1949-1950, gagasan itu bahwa mewujud dalam lembaga dan praktik politik yang nyata lewat kehadiran Senat yang merupakan salah satu kamar parlemen disamping DPR sebagai kamar lainnya. Sampai pada batas tertentu, jejak gagasan serupa juga bias kita lihat melalui keberadaan unsur utusan daerah baik dalam Komite Nasional Pusat (KPN) 1945-1949 sebagai lembaga parlemen pertama kita dimana sebagian kecil anggotanya dipilih dari daerah maupun dari komposisi keanggotaan MPR yang bertahan selama beberapa dekade kemudian.[3]

Pada masa itu, di mana berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, sistem bikameral sudah “disepakati” menjadi model sistem perwakilan Indonesia. Dalam Bab III Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan Pasal 80 KRIS, Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai Majelis Rendah, DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150 anggota.[4]

Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan, pada tanggal 17 Agustus 1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 diganti dengan UUD Sementara 1950, dukungan terhadap sistem bikameral belum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi baru yang dilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadi salah satu opsi bentuk lembaga perwakilan rakyat.[5] Sayangnya, usaha Konstituante tidak dapat diselesaikan secara tuntas karena Constitutional Assembly yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, utusan daerah kembali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPR Sementara (MPRS). Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya.[6] Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno. Kemudian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.

Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.

Berawal dari Dekrit sampai dengan berakhirnya kekuasaan Soeharto, gagasan sistem bikameral tidak terdengar lagi. Sejak UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, “utusan daerah” kembali hadir. Namun banyak persoalan mengemuka dalam konsep ini. Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Sehingga DPD yang ada sekarang lahir secara legal formal pada 2001, sewaktu amandemen ketiga UUD ditetapkan. Selanjutnya konsep ini diturunkan dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk).

Kedua

Dalam konteks Indonesia, gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di Indonesia pada amandemen UUD 1999-2002 berangkat dari kritik terhadap struktur ketatanegaraan, terutama hubungan antara MPR, DPR, dan presiden. Pemikiran mengenai hal ini telah digulirkan jauh sebelum amandemen terhadap pasal mengenai MPR dilakukan pada 2001. Hasil penelitian PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000 mengenai sistem ketatanegaraan yang dituangkan dalam bukunya yang bertajuk “Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia” menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam struktur MPR.[7]

Pertama, permasalahan representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak 1000 orang (sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang (sebelumnya 400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR (anggota MPR/DPR) dan sisanya merupakan anggota MPR yang bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu: anggota MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang memadai tentang struktur MPR tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR yang terpisah.

Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan kelompok masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik. Namun, mekanisme penentuan “golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota Utusan Golongan berasal dari golongan cendekiawan hingga bintang film. Pertanyaan retorik muncul: apakah “golongan” yang dimaksud dirasa belum cukup terwakilkan dalam partai politik?

Masalah representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik presiden terhadap penentuan anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini terefleksikan dalam UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Proses pengangkatan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota utusan daerah pada prakteknya merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi.

Permasalahan kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme checks and balances. Peran lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan sebagai legislatif karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun.[8]

Berangkat dari keinginan untuk mengefektifkan utusan daerahlah, gagasan bikameral kembali dilirik. Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya.

Dua model ini lahir dari situasi politik yang berbeda. Model Westminster lahir karena “evolusi” sistem pemerintahan di Inggris selama berabad-abad. Sehingga pada suatu saat tradisi feodal yang dimoderenkan membuat para bangsawan dikelompokkan dalam kamar tersendiri dalam parlemen. Maka anggota kamar kedua biasanya hasil penunjukan, bukan pemilihan. Negara-negara lain pun, yang umumnya bekas jajahan Inggris (misalnya Kanada), kemudian mengikuti model ini. Karena sifat feodalistiknya ini, keberadaan House of Lords di Inggris sendiri mulai dipertanyakan dan sudah ada kampanye agar anggota House of Lords dipilih oleh rakyat. Di sisi lainnya, model Amerika Serikat lahir karena kebutuhan mengelola -secara ekonomi dan politik- wilayah yang demikian besar dan masyarakat yang plural dalam suatu negara. Oleh sebab itulah, model kedua ini menjadi terlihat lebih dekat dengan konsep negara federal. Meski sebenarnya persoalan “fakta” geopolitik mestinya dipisahkan dengan “disain bentuk negara” (federal atau kesatuan).

Ketiga

Terlihat dari uraian di atas, dalam konteks Indonesia, model kedua dianggap lebih relevan. Yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih oleh wilayah-wilayah yang perlu diwakilkan dalam parlemen. Masalahnya, karena seakan identik dengan negara federal, konsep ini menjadi tidak diterima secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi berlangsung. “Hantu” federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri. Apalagi, seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam konteks sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme, yang dipaksakan Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah nusantara. Padahal, bila dikaji lebih dalam, ada dua argumentasi mengenai kebutuhan akan bikameral yang efektif di Indonesia.

Mengutip pendapat Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.[9]

Sejalan dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar;

1. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.

2. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.

3. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi.

4. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.[10]

Sebagai perbandingan, menurut Samuel C Patterson & Anthony Mughan, selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan;[11]

Pertama, Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah. Maka acapkali dikatakan bahwa majelis rendah mencerminkan dimensi popular sedangkan majelis tinggi mencerminkan dimensi teritorial. Namun ada pula negara yang menerapkan azas keterwakilan berdasarkan keturunan, dan kelompok sosial, seperti agama, budaya dan bahasa, kelompok ekonomi, serta kelompok minoritas, yang dalam sistem yang menganut satu majelis, kepentingankepentingan tersebut dapat tenggelam karena tidak cukup terwakili.

Kedua, redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbang-kan secara masak dan mendalam.

Meskipun mengundang kontroversi, kehadiran DPD sudah tidak terhindari lagi. Bahkan, lembaga baru ini diatur dalam ketentuan yang sama sekali baru, yaitu Bab VIIA tentang DPD. Eksistensi DPD dinyatakan dalam Pasal 22C UUD 1945, yaitu (1) anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, (2) anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun; dan (4) Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.

Berkenaan dengan kewenangan, DPD (1) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;[12] (2) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;[13] dan (3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.[14]

Keempat

Kalau kewenangan DPR dan DPD diletakkan dalam gagasan menciptakan bikameral dengan kewenangan yang relatif seimbang, maka dapat dikatakan bahwa sistem bikameral Indonesia dibangun dalam model soft bicameralism. Padahal, dari perkembangan pemikiran selama berlangsungnya Amandemen UUD 1945 bahwa penataan lembaga perwakilan rakyat diletakan dalam model strong bicameralism yaitu dengan memberikan kewenangan yang relatif berimbang antara DPR dan DPD. Semua ini bertujuan agar mekanisme checks and balances dapat berjalan relatif seimbang antara DPR dan DPD. Beberapa penjelasan berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD.

Dilihat dari sejarah politik Indonesia modern, lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah bukanlah sebuah ide baru karena Indonesia pernah memiliki Senat semasa Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Senat dibentuk karena Indonesia menggunakan bentuk negara federal. Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan sendirinya Senat dihapus. Namun perlu dicatat bahwa Senat praktis tidak mempunyai kesempatan yang cukup banyak untuk bekerja karena munculnya berbagai kemelut politik yang menuntut dihapuskannya RIS dan dibentuknya kembali NKRI. Tuntutan pembentukan DPD merupakan salah satu usaha untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih demokratis mengingat beragamnya kepentingan dan kondisi daerah-daerah di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang mempunyai tingkat heterogenitas (kemajemukan) yang tinggi. Meskipun tidak merupakan persyaratan bagi tegaknya demokrasi, DPD dianggap sebagai lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah-daerah secara formal di tingkat pusat. Politik nasional mempunyai arti yang sangat penting karena pemerintah pusat dalam NKRI memainkan peranan yang amat penting dalam dunia politik Indonesia.

Gagasan pembentukan DPD tidak terlepas dari, Pertama, adanya tuntutan demokratis, bahwa pengisian angggota lembaga negara senantiasa dapat mengikutsertakan rakyat pemilih, sehingga keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi MPR yang semula ditunjuk oleh unsur pemerintah digantikan dengan pembentukan DPD. Kedua, Pembentukan DPD juga terlekati dengan semakin maraknya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, -yang jika tidak dikendalikan dengan baik berujung pada tuntutan sepratisme- sehingga DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah. Dalam pada itu, DPD terembani hakikat sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi integrasi sebagaimana diamanatkan sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia, sehingga setiap kepentingan daerah senantiasa dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dengan demikian, hakikat keberadaan DPD juga harus mengalir dari pasal-pasal yang terkait dengan Pemerintah Daerah, antara lain Pasal 18 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, bahwa: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah.“ Hal tersebut perlu ditegaskan, mengingat dari 33 provinsi masih terdapat perbedaan sumber daya lama dan sumber daya manusia bahkan sumber dana yang cukup signifikan bagi terselenggaranya otonomi daerah yang relatif sama. Dalam kondisi demikan dapat diasumsikan, tiap anggota DPD kelak diembani dengan situasi, kondisi dan kepentingan masing-masing provinsi yang juga sangat beragam yang pada akhirnya mungkin akan mempengaruhi keutuhan NKRI sehingga dibutuhkan antisipasi bagi terselenggaranya fungsi integrasi.

Dalam konteks ini, DPD secara langsung menjalankan fungsi integrasi bangsa dengan mencoba merekatkan dan meningkatkan derajat kebersatuan dari keragaman yang ada di nusantara ini. Persoalan-persoalan lokal yang relevan dengan wilayah tugas DPD dicoba dinasionalkan (menasionalkan isu-isu dan permasalahan-permasalahan lokal yang relevan) sehingga masyarakat daerah merasa diperhatikan dan melalui para wakilnya di DPD membahasnya sebagai agenda nasional berbasis kepentingan daerah. Sebaliknya, isu-isu srategis nasional dicoba disosialisasikan dan atau dikomunikasikan secara langsung dengan masyarakat daerah, sehingga apa yang terjadi dan atau menjadi isu nasional bisa secara relatif dipahami oleh masyarakat lokal (melokalkan atau membumikan isu dan agenda nasional).

Salah satu masalah penting yang dihadapi oleh Indonesia pasca Orde Baru adalah pelaksanaan otonomi daerah dalam arti sesungguhnya, tidak hanya sebagai pemanis bibir seperti pada masa Orde Baru. Otonomi daerah merupakan sebuah cara untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kekeliruan dalam manajemen hubungan pusat-daerah yang dilakukan oleh Orde Baru. Ketika itu, Orde Baru menganggap bahwa NKRI harus dikelola secara sentralistis karena khawatir kewenangan daerah yang besar akan melahirkan disintegrasi, kesenjangan antar daerah, dan kekacauan dalam hubungan pusat-daerah. Namun tuntutan daerah yang kuat membuat Orde Baru berpura-pura setuju dengan otonomi daerah, padahal, secara prinsip, Orde Baru menaruh curiga terhadap otonomi daerah. Kesalahan dalam manajemen hubungan pusat-daerah yang dilakukan Orde Baru tersebut menimbulkan persoalan pada masa pasca Orde Baru. Daerah-daerah menunjukkan rasa kekecewaan mereka terhadap pemerintah pusat yang mengakibatkan beberapa daerah terjerumus ke dalam gerakan separatis. Tidak ada cara lain yang lebih baik dari otonomi daerah untuk mengatasi kekecewaan daerahdaerah tersebut.[15] Oleh karena itu otonomi daerah dan kepentingan daerah menjadi salah satu isu penting pada masa awal reformasi. Hal inilah yang merupakan salah satu pendorong munculnya ide pembentukan DPD.

Lebih jauh lagi, DPD diharapkan dapat menyuarakan kepentingan daerah dalam pembicaraan Rancangan Undang-undang (RUU) dan pelaksanaan tugas-tugas pengawasannya. Sebelum DPD terbentuk, lembaga yang menjalankan tugas tersebut adalah DPR, berbagai organisasi massa (ormas), dan warga masyarakat tertentu. DPR yang lebih menyuarakan kepentingan partai politik (parpol) diperkirakan tidak bisa terlalu fokus pada kepentingan daerah. Sedangkan ormas dan warga masyarakat adalah kekuatan ekstra parlementer yang lebih merupakan kekuatan yang berusaha mempengaruhi lembaga-lembaga politik formal, namun tidak terlibat langsung dalam proses pembuatan keputusan. DPD diharapkan menjadi kekuatan parlementer yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses pembuatan keputusan sehingga DPD dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan daerah ke dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pusat.

Dengan demikian DPD menjadi lembaga penyeimbang bagi DPR dan pemerintah. DPR melihat masalah-masalah nasional dari sudut kepentingan politik tertentu dari sekelompok rakyat Indonesia (tanpa memperhatikan daerah). Sedangkan DPD berusaha memberikan warna kepen-tingan daerah dalam kebijakankebijakan nasional sehingga tidak terjadi benturan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Hal ini adalah persyaratan bagi terbentuknya hubung-an yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. Pada tingkat nasional, pemerintah pusat berusaha agar kepentingan nasional dapat terwujud. Dengan adanya DPR dan DPD yang menjalankan fungsifungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, diharapkan kedua lembaga perwakilan rakyat dapat memberikan masukan yang berarti bagi pemerintah. Sebaliknya, pemerintah juga dapat memberikan masukan bagi kedua lembaga tersebut dalam menjalankan tugastugas mereka. Dengan demikian tercipta sinergi antara kepentingan nasional, kepentingan politik rakyat Indonesia dan kepentingan daerah dalam perumusan kebijakan nasional.

Kelima

Sistem kamar dalam lembaga perwakilan rakyat efektifitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antar-kamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen jabatan publik. Dari semua fungsi tersebut, perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Bagaimanapun, dengan perimbangan itu, terutama dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk melaksanakan mekanisme checks and balances antar-kamar di lembaga perwakilan rakyat.

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double-check). Keunggulan sistem double-check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.[16] Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.[17] Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.[18]

Dalam Congress Amerika Serikat, misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden. Dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif simbang dengan DPR. Tidak hanya di Amerika Serikat, dalam praktik sistem dua kamar Inggris, House of Lord punya peran yang relatif berimbang dengan House of Commons. Hal ini dapat dibaca dalam “The Work of the House of Lords: Its Roles, Functions, and Powers” yang menyatakan:

“as a second chamber, House of Lords plays an important part in revising legislation and keeping a check on government by scrutinizing its activities. In legislation, the functions of the House of Lords are similar to those of the House of Commons which are that of debating and questioning the executive. All Bills go through both Houses before becoming Acts, and may start in either House. Normally, the consent of the Lords is required before Acts of Parliament can be passed, and the Lords can amend all legislation, with the exception of Bills to raise taxation, long seen as the responsibility of the Commons. Amendments have to be agreed to by both Houses. The House of Lords is as active as the Commons in amending Bills, and spends two-thirds of its time revising legislation.[19]

Di Indonesia, hubungan antar-kamar dalam lembaga perwakilan rakyat tidak mungkin menciptakan dua kamar yang efektif. Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasa. Karena fungsi tersebut tidak diberikan kepada DPR, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Karenanya, banyak pendapat mengatakan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.[20] Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertim-bangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.[21]

Pasca-amandemen UUD 1945 terjadi perubahan mekanisme proses pembentukan undang-undang. Secara formal, rancangan undang-undang dapat disampaikan oleh presiden, DPR, dan DPD.[22]

Pertama, rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden. Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden, ada beberapa tahap yang harus dilalui. Berdasarkan UU PP, tahap ini terdiri dari: (i) tahap persiapan, (ii) teknik penyusunan, dan (iii) perumusan. Ketiga tahap tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu “perancangan.” Proses perancangan oleh pemerintah diatur dalam Keputusan Presiden No. 188 tahun 1999 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Prosesnya dimulai dengan penyusunan konsep dan naskah akademis yang diikuti oleh permohonan prakarsa yang dilakukan oleh departemen teknis atau lembaga non-departemen yang terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari presiden, akan dibentuk panitia perancang rancangan undang-undang. Biasanya, ketuanya adalah menteri dari departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat Direktur Jenderal), pejabat dari instansi lain yang terkait dengan substansi RUU, serta tokoh atau akademisi yang dianggap memiliki keahlian di bidang tersebut.

Kedua, rancangan undang-undang dari DPR. Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu (1) badan legislasi, (2) komisi, (3) gabungan komisi, dan (4) minimal oleh tujuh belas orang anggota. Kemudian, usul yang diajukan oleh badan legislasi, komisi, gabungan komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam Sidang Paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya rancangan undang-undang yang masuk, kemudian usulan itu dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna akan memutuskan apakah usulan rancangan undang-undang tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai sebuah rancangan undang-undang dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat. Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa: (1) persetujuan tanpa perubahan, (2) persetujuan dengan perubahan, dan (3) penolakan.

Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada komisi, badan legislasi ataupun panitia khusus (Pansus) untuk menyempurnakan rancangan tersebut. Sekiranya rancangan disetujui tanpa perubahan atau telah selesai disempurnakan oleh komisi, badan legislasi ataupun Pansus maka rancangan tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal rancangan yang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

Ketiga, rancangan undang-undang dari DPD. Sebagai lembaga baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan rancangan undang-undang yang baik dan efektif. Di awal masa jabatannya, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah rancangan undang-undang mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Usulan rancangan undang-undang dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) atau Panitia Ad-Hoc. Usul pembentukan rancangan undang-undang juga dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah anggota DPD. Usul pembentukan rancangan undang-undang harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan, dan pokok-pokok pikiran, serta daftar nama, nama provinsi, dan tanda tangan pengusul. Baik usul rancangan undang-undang maupun usul pembentukan rancangan undang-undang disampaikan kepada PPUU.

Selanjutnya pimpinan PPUU akan menyampaikan usul rancangan undang-undang atau usul pembentukan rancangan undang-undang kepada pimpinan DPD. Pada Sidang Paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya usul rancangan undang-undang atau usul pembentukan rancangan undang-undang, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah usul tersebut diterima, ditolak, atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan. Selain itu anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. Apabila Usul diterima dengan perbaikan, maka DPD menugaskan PPUU untuk membahas dan menyempurnakan usul tersebut. Usul rancangan undang-undang atau usul pembentukan rancangan undang-undang yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya diajukan kepada pimpinan DPR.

Pembahasan rancangan undang-undang terdiri dari dua tingkat pembicaraan. Pembahasan tingkat pertama diadakan dalam rapat komisi, rapat badan legislasi ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua diadakan dalam Sidang Paripurna DPR untuk menyetujui RUU tersebut. Pembicaraan tingkat pertama dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut, (1) bila rancangan undang berasal dari presiden, dimulai dengan pengantar pemerintah dan diikuti pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila rancangan undang-undang terkait dengan kewenangan DPD. Sekiranya rancangan undang-undang berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal rancangan undang-undang berhubungan dengan kewenangan DPD; (2) tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden; dan (3) pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan: (1) Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), (2) mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berhubungan dengan lembaga negara lain, dan (3) diadakan rapat intern.

Pembicaraan tingkat dua adalah pengambilan keputusan dalam Sidang Paripurna, yang didului oleh: (1) laporan hasil pembicaraan tingkat I, (2) pendapat akhir fraksi, dan (3) pendapat akhir presiden yang dismpaikan oleh menteri yang mewakilinya. Kemudian, setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah rancangan undang-undanga akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangi oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan.

Dalam kaitannya dengan posisi DPD, menurut ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama oleh MPR tahun 1999, DPR adalah lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, sedangkan DPD sebagaimana ditentukan pengaturannya dalam Bab VIIA UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga tahun 2001 hanya memiliki kewenangan terbatas untuk memberikan pertimbangan mengajukan usul saran kepada PDR, dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.

Peran sebagai ko-pembahas dilakukan oleh DPD dalam sidang DPR bersama pemerintah yang didahului oleh pembahasan dalam sidang DPD sendiri. Seperti ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2), “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk....”. Artinya, DPR dan Presiden bersama-sama membahas disahkan menjadi undang-undang. Sedangkan DPD, dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 ditegaskan: “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah....”.

Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR. Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya harus diakui perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga dalam UU No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teoriteori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan.

Dengan demikian, DPD berfungsi sebagai “ko-pembahas” yang dalam hal ini tentulah dimaksud “ikut membahas” rancangan undang-undang dalam sidang DPR di mana rancangan yang bersangkutan dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Artinya, dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPD tidak bisa kepada tahap persetujuan rancangan undang-undang. Disamping itu, dalam bidang legislasi, DPD juga berfungsi sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan pembahasan RUU di bidang-bidang tertentu; dan di bidang pengawasan, yaitu mengawasi pelaksanaan UU di bidang-bidang yang terkait dengan kepentingan daerah.

Mencermati pengaturan dalam UUD 1945 dan pelaksanaan kewenangan DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian cukup menarik:

The DPD is thus a quite unusual example of a second chamber because it represents the odd combination of limited powers and high legitimacy. Its role in lawmaking is limited to certain areas of policy, its powers are only advisory and no Bill is actually required to pass through it in order to be passed, yet at the same time it has the strong legitimacy that comes from being a fully elected chamber. This combination does not seem to be replicated anywhere else in the world.[23]

Berdasarkan penjelesan di atas, guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat diwujudkan. Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Sekiranya dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial[24], penataan fungsi legislasi amat diperlukan karena presiden begitu dominan dalam proses legislasi. Dalam sistem presidensial:

The president has no formal relationship with the legislature. He is not a voting member, nor can he introduce bills (with the exception of Puerto Rico, where he can introduce a bill). However, in systems such as that of the United States, the President has the power to veto acts of the legislature, and in turn a supermajority of legislators may act to override the veto.[25]

Dari hasil telaah sejumlah konstitusi (baik dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer, maupun dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar di negara kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih dapat mengajukan rancangan undang-undang, namun keikusertaan presiden dalam pembahasan rancangan undang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di Indonesia. Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif). Bahkan di Mauritinia, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers) namun pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen.

Oleh karenanya, untuk menata fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk melakukan purifikasi sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Artinya, di lembaga perwakilan rekyat, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD.



[1] Makalah disampaikan dalam Pertemuan Pakar Hukum Tata Negara diadakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PuSKon) Universitas 45 Makassar di Hotel Imperial Duta Makassar, 29 Juni-1 Juli 2007.

Makalah ini disarikan dari penelitian Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar dengan judul ”Konsep Ideal Bikameral Yang Sesuai dengan Keadaan dan Pemerintahan Demokratis di Indonesia”, atas biaya Parliamentary Reform Inititives and DPD Empowerment (PRIDE) Sekretariat Jenderal DPD bekerja sama dengan UNDP, 2007.

[2] Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan KemerdekaanIndonesia (PPKI) 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995

[3] Robert Endi Jaweng, dkk, Mengenal DPD RI; Sebuah Gambaran Awal, Institute For Local Development, Jakarta, 2006, hlm. 41

[4] Dalam periode konstitusi berikutnya, dalam UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), terdapat Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. Selanjutnya, UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada itu, selama masa transisi berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (terlaksana pada 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal.

[5] Bandingkan dengan Kevin Evans, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta. 2002

[6] Indra J Piliang & Bivitri Susanti, , Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006, hlm. 17

[7] PSHK, “Semua Harus Terwakili; Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia”, Jakarta, 2000

[8] Ibid

[9] Ramlan Surbakti, Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta. 2002

[10] Bagir Manan, 2003, Loc.cit.

[11] Samuel C Patterson, & Anthony Mughan. Senates: Bicameralism in the Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus. 1999, terpetik dari Ginandjar Kartasasmita, , Ibid. lebih jauh dijelaskan bahwa sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas.

[12] Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945.

[13] Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945.

[14] Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945.

[15] Maswadi Rauf, Interpretasi Struktur Ketatanegaraan Untuk DPD RI, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “DPD RI dalam Penguatan Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh DPD RI pada tanggal 2 Maret 2006 di Jakarta.

[16] Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

[17] Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.

[18] Bandingkan dengan Bagir Manan, (2003b), loc.cit.

[19] Selengkapnya baca Saldi Isra, 2006, The Role of the Second Chamber In the UK and Indonesia, Academic Essay dalam Short Course “What Democracy Means” di University of Birmingham UK (Januari-April 2006), diselenggarakan oleh Chevening Fellowship, UK.

[20] Saldi Isra, Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Loc.cit; Agus Heryadi, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta; dan Denny Indrayana, Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September 2002, Jakarta.

[21] Kevin Evans, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta, 2002

[22] Sesuai dengan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945, DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

[23] Stephen Sherlock, (2005), Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University.

[24] Sesuai dengan kesepakatan MPR Periode 1999-2004, perubahan UUD 1945 tetap dibatasi oleh lima kesepakatan dasar, yaitu: (1) tidak mengubah pembukaan UUD 1945, (2) tetap mempertahankan NKRI, (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial, (4) Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh UUD), dan (5) melakukan perubahan secara adendum. Lebih jauh baca Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2005, Panduan Pemsyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta

[25] http://en.wikipedia.org/wiki/Presidential_system diakses terakhir 2 Juni 2007