PROBLEMATIK KOALISI

DALAM SISTEM PRESIDENSIAL*

Oleh Saldi Isra§

A. Pendahuluan

Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial[1] Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009).[2] Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.

Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama paska perubahan UUD 1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif, jumlah kursi terbesar diraih Partai Golkar dengan 127 kursi (23%) DPR (Rachman, 2007).[3] Sementara itu, dalam pemilihan presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat dukungan 69.266.350 (60.62%) suara sah. Sementara itu, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 (39,38%) suara sah. Jika hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88% dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari jumlah provinsi yang ada (Isra, 2004).[4] Jika dirinci lebih jauh ke tingkat kabupeten/kota, berdasarkan hasil rekapitulasi Litbang Kompas, SBY-JK menang di 339 (77%) dan Mega-Hasyim menang di 101 (23%) dari keseluruhan jumlah kabupeten/kota (Kompas, 07/10-2004).[5]

Meski SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden hanya menghasilkan minority government. Menurut Jose A. Cheibub, minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar lembaga legislatif (Cheibub, 2002: 287).[6] Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY-JK (Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR.[7] Dengan kondisi dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan (Isra, 2008).[8]

Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi (coalition) dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar pendukung awal, tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. Sulit dibantah dan secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi SBY-JK (Isra, 2008).[9]

Berkaca dari pengalaman pemerintahan SBY-JK,[10] praktik koalisi dalam sistem pemerintahan Indonesia menarik dikaji lebih jauh. Setidaknya ada tiga alasan melakukannya. Pertama, pemerintahan koalisi tetap tidak bisa dihindarkan dalam pembentukan pemerintah hasil Pemilu 2009. Kedua, syarat dukungan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2009 jauh lebih berat dibandingkan dengan Pemilu 2009.[11] Ketiga, partai politik perserta Pemilu Legislatif hampir mendekati dua kali lipat peserta Pemilu 2009. Artinya, praktik sistem pemerintahan presidensial tetap berada dalam “ancaman” sistem kepartaian majemuk.

B. Kepartaian Majemuk dan Koalisi dalam Sistem Presidensial

Dibandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem kepartaian[12] dalam sistem presidensial menjadi isu yang amat menarik karena anggota lembaga legislatif dan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (pemilih). Bila mayoritas anggota legislatif menentukan pilihan politik yang berbeda dengan presiden, sering kali sistem pemerintahan presidensial terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government)[13] antara legislatif dengan eksekutif. Dukungan legislatif makin sulit didapat jika pemerintahan presidensial dibangun dalam sistem multipartai.

Dengan situasi seperti itu, banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintah dalam sistem presidensial. Misalnya, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism” mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai,[14] seperti: (1) institutions shape incentives: presidentialism generates fewer or weaker incentives to form coalitions[15],(2) coalitions are difficult to form and rarely, ‘only exceptionally’, do form under presidentialism[16], (3) when no coalition is formed under presidentialism, a ‘long-term legislative impasse’ ensues[17], (4) ‘there is no alternative but deadlock’[18], (5) ‘the norm is conflictual government[19], (6) as a result, ‘the very notion of majority government is problematic in presidential systems without a majority party’[20], (7) ‘stable multi-party presidential democracy … is difficult’[21], dan (8) ‘presidential systems which consistently fail to provide the president with sufficient legislative support are unlikely to prosper.’[22]

Pertanyaan mendasar yang selalu dikemukakan berkenaan dengan sistem pemerintahan presidensial multipartai adalah: mengapa multipartai dan sistem pemerintahan presidensial sulit digabungkan? Menjawab pertanyaan tersebut, Scott Mainwaring dalam “Presidentialism in Latin Amerika” mengatakan:

The combination of a fractionalized party system and presidentialism is inconducive to democratic stability because it easily creates difficulties in the relationship between the president and the congress. To be effective, government must be able to push through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable majority opposition in the legislature.[23]

Sesuai dengan gambaran itu, keadaan dapat makin rumit karena kedua-kedua institusi itu –presiden dan lembaga legislatif-- sama-sama mendapat mandat langsung rakyat. Berhubungan hal ini, Juan J. Linz mengemukakan pertanyaan yang amat mendasar: who has the stronger claim to speak on behalf of the people?[24] Karena klaim itu, Scott Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering sekali timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu. Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi.[25] Dalam fungsi legislasi, sulitnya mencapai kesepakatan antara legislatif dan Presiden yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat.

Dalam situasi seperti itu, sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui lembaga legislatif besar kemungkinan akan ditolak oleh Presiden atau eksekutif. Berkaitan dengan hal itu, mengutip pendapat Scot Mainwaring, Saiful Mujani menjelaskan, sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis. Kesulitan ini terletak bukan saja pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara dua lembaga, antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di lembaga legislatif sendiri.[26]

Berkenaan dengan dukungan lembaga legislatif kepada presiden (eksekutif), meski presiden memenangkan pemilihan umum dan mendapat dukungan mayoritas dari pemilih, tidak jarang partai politik presiden menjadi kekuatan minoritas di lembaga legislatif. Karena presiden dan lembaga legislatif sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat (pemilih), perbedaan partai mayoritas di lembaga legislatif dengan partai politik presiden sering berdampak pada ketegangan di antara keduanya. Misalnya, praktik sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat perbedaan partai politik mayoritas di kongres dengan partai politik presiden sering menimbulkan pemerintahan yang terbelah (divided government).[27]

Tidak hanya dalam sistem dua partai, perbedaan suara mayoritas di lembaga legislatif dengan partai politik pendukung presiden juga terjadi dalam sistem multi-partai. Biasanya, untuk mendapatkan dukungan di lembaga legislatif, presiden melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik. Namun demikian, Scott Mainwaring mengemukakan, pembentukan koalisi dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer.[28] Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial coalitions are not institutionally necessary dan sistem presidensial not conducive to political cooperation.[29] Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable) dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem kepertaian majemuk akan mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi. Bagaimanapun, seperti dikemukakan Giovanni Sartori, Presiden tetap memerlukan dukungan lembaga legislatif.[30] Tanpa dukungan, Presiden akan menghadapi situasi sulit yang mengancam stabilitas pemerintah. Biasanya, situasi seperti itu akan menimbulkan konflik antara Presiden dan lembaga legislatif.

Terkait dengan hal itu, Scott Mainwaring mengemukakan bahwa dalam situasi sulit dan konflik itu presiden dapat melakukan (salah satu) langkah dari beberapa pilihan berikut ini: pertama, the president can attempt to bypass congress, tetapi tindakan ini dapat merusak demokrasi.[31] Dalam situasi seperti ini, partai-partai oposisi dapat menilai dan menuduh presiden melanggar konstitusi. Bahkan, sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa cara seperti itu dapat mengundang intervensi militer. Kedua, the president can seek constitutional reforms in order to obtain broader powers.[32] Pilihan pada langkah kedua ini akan mengurangi kesempatan untuk terjadinya negosiasi dan kompromi antara presiden lembaga legislatif. Ketiga, the president can attempt to form a coalition government. [33] Upaya membentuk pemerintahan koalisi mungkin dilakukan dalam sistem presidensial untuk mendapatkan dukungan di lembaga legislatif.

Dalam praktik, koalisi merupakan cara paling umum dilakukan oleh pemerintah yang hanya mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Sebagai dikemukakan Jose Antonio Cheibub pada awal tulisan ini, minority government adalah pemerintah yang tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar di lembaga legislatif.[34] Dalam kondisi minority government, tambah Jose Antonio Cheibub:

“In much the same way as prime ministers in paliamentary system, presidents who find themselves in a minority situation may enter into coalition to obtain the support of a mojority in congress. They do so by distributing cabinet in congress. Goverment, thus, is here defined by all the parties that hold cabinet positions, and the government legislative support by sum of seats held by all parties that are in the government”.[35]

Dengan penjelasan Cheibub tersebut, presiden yang tidak mengontrol kekuatan mayoritas di lembaga legislatif akan melakukan langkah seperti lazimnya yang dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem pemerintahan parlementer yaitu melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik. Langkah itu dilakukan untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial, cara yang paling umum dilakukan presiden adalah membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di lembaga legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan semua partai politik yang mendukung pemerintah. Namun, di tambahkan Scott Mainwaring, koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem pemerintahan parlementer.[36] Dalam pandangan David Altman, kesulitan koalisi itu terjadi karena coalitions are not institutionally necessary dan sistem pemerintahan presidensial not conducive to political cooperation.[37]

Sejalan dengan pendapat Mainwaring dan Altman, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh menegaskan:

“Minority governments supported by a legislative majority should be legislatively successful under both systems. They are not ‘failures’ of coalition formation, but a result of compromises about policies. Yet presidential minorities facing hostile legislative majorities fail to pass legislation. When the president’s party likes the outcome of the legislative impasse, presidents willingly go down to defeat. But the president may want to pass legislation and still may be unable to do so when a legislative majority expects to gain more by opposing government’s legislative initiatives. We should thus see minority governments to be generally quite successful legislatively but less successful under presidentialism”.[38]

Menguatkan pendapat di atas, dalam tulisan “Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism” Alfred Stepan & Cindy Skach menambahkan:

“There are far fewer incentives for coalitional cooperation in presidentialism. The office of presidency is nondivisible. The presiden may select members of the political parties other than his own to serve in the cabinet, but they are selected as individuals, not as members of an enduring and diciplined coalition”.[39]

Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination” Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in prresidential democracies.[40] Jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.

“Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[41]

C. Pengalaman Indonesia

1. Koalisi sebagai Langkah Darurat

Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid[42], Megawati Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR (juga di MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh 153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI P –sekaligus calon presiden yang direkomendasikan oleh Kongres PDI-P di Bali-- untuk menggalang dukungan dan kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDI P.[43]

Sikap percaya diri PDI-P dan Megawati Soekarnoputri mendorong elit politik partai politik berbasis Islam dan berbasis ormas Islam seperti PPP, PAN, PBB, dan Partai Keadilan (PK) yang dirancang oleh Ketua Umum PAN Amin Rais membentuk koalisi yang dikenal sebagai Poros Tengah.[44] Sebagai calon alternatif di luar B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri, Poros Tengah mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Langkah Poros menjadi lebih mudah karena laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak oleh MPR dalam Sidang Umum MPR pada bulan Oktober 1999. Ketika Poros Tengah berhasil mendorong Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, koalisi menjadi pilihan tak terhindarkan dan koalisi semakin besar dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden. Bagaimanapun koalisi yang dibangun presiden yang tidak punya dukungan mayoritas di lembaga legislatif dapat dikatakan sebagai sebuah langkah darurat.

Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY sebagai presiden minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik sistem pemerintahan presidensial yang minority government) dengan hanya didukung modal awal 12 persen suara di DPR.[45] Untuk memperbesar dukungan di DPR, SBY-JK merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan PKPI, yaitu PKS, PPP, PAN, Partai Golkar,[46] dan PKB. Sekalipun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang dikemukakan Cheibub sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK.

Namun langkah itu tetap tidak mengehentikan ketegangan antara Presiden Yudhoyono dengan DPR. Bahkan, ketegangan Presiden Yudhoyono dan DPR sudah terjadi sejak bulan-bulan pertama masa pemerintahan Yudhoyono.[47] Dengan ketegangan itu, koalisi yang dibangun Presiden Yudhoyono tidak banyak membantu memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di DPR. Masalah itu diakui secara terbuka oleh Presiden Yudhoyono bahwa dengan merangkul banyak partai politik, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan DPR. Nyatanya, dukungan itu tidak terjadi.[48] Dukungan yang dimaksudkan Presiden Yudhoyono tersebut tidak hanya kebijakan dalam fungsi legislasi, tetapi untuk kebijakan non-legislasi.[49]

Di antara agenda non-legislasi yang memerlukan keterlibatan DPR di antaranya: (1) menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain;[50] (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;[51] (4) pengangkatan Duta;[52] (5) menerima penempatan duta negara lain;[53] dan (6) pemberian amnesti dan abolisi.[54] Kekuasaan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri), Gubernur dan Deputy Gubernur BI yang dalam praktik “pertimbangan” berubah menjadi persetujuan DPR.

Pengalaman koalisi di era SBY-JK, misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering “mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meskipun kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tidak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR.[55] Kecenderungan serupa juga dilakukan partai politik lain yang menjadi pendukung koalisi pemerintahan SBY-JK. Selain itu, desain UUD 1945 setelah perubahan juga cenderung mempersulit posisi presiden berhadapan dengan DPR terutama dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

2. Divided Executive[56]

Belum lagi selesai dari jebakan divided government, praktik sistem presidensial tengah menghadapi eksekutif yang terbelah (divided executive). Meskipun disinyalir sudah ada sejak beberapa waktu lalu, bentuk konkretnya baru kelihatan ketika publik mengetahui secara terbuka pecah-kongsi antara SBY dan JK. Bahkan perkembangan terkini, sebagaimana dikemukakan Ketua Harian I Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu, koalisi antara Golkar dan Demokrat makin tertutup.[57]

Dengan semakin terbukanya pecah-kongsi antara SBY dan JK, dapat dipastikan memberi dampak buruk pada sisa masa jabatan pemerintahan SBY-JK. Melihat posisi sentral SBY dan JK selama ini, sulit menghindari situasi pemerintahan seperti berada dalam satu perahu yang dikomandoi oleh dua orang nahkoda. Bagaimanapun, dengan terjadinya pecah-kongsi tersebut, eksekutif benar-benar dalam situasi yang terbelah. Karena sejak awal pemerintahan dibangun dengan koalisi, divided executive harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Sekalipun secara terpaksa kita harus menerima kenyataan itu, pecah-kongsi antara SBY dan JK tidak memberikan dampak lebih buruk dalam tenggat waktu yang tersisa.

3. Koalisi Partai Politik di DPR

Selain koalisi Presiden dengan sejumlah partai politik di DPR, mekanisme internal DPR membuka kemungkinan untuk terjadinya koalisi antarpartai politik dan koalisi antar-fraksi di DPR. Pasal 98 Ayat (6) UU No. 22/2003 menegaskan, anggota-anggota DPR wajib berhimpun dalam sebuah Fraksi. Eksistensi Fraksi lebih lanjut diatur dalam tatib DPR. Pada Pasal 3 Ayat (2) Tatib DPR 2005/2006 dinyatakan bahwa DPR terdiri dari (a) Fraksi, dan (b) alat kelengkapan DPR. Meskipun bukan merupakan alat kelengkapan DPR, ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Tatib DPR tersebut menenpatkan Fraksi sebagai sebuah instrumen yang amat penting di DPR. Bahkan dengan membaca ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Tatib DPR tersebut, Fraksi lebih penting dibandingkan dengan semua alat kelengkapan DPR.[58] Kemudian, Pasal 14 Tatib DPR 2005/2006 menyatakan, Fraksi bersifat mandiri dan dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas, wewenang, serta hak dan kewajiban DPR.

Koalisi antar-partai politik terjadi karena adanya batasan minimal bagi partai politik untuk dapat membentuk sebuah fraksi. Dalam Pasal 15 Tatib DPR 2005/2006 ditegaskan bahwa fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Dengan pembatasan tersebut, bagi partai politik yang mendapatkan jumlah kursi kurang dari 13 kursi harus bergabung dengan partai politik lain. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum 2004, dari 16 partai politik yang mendapatkan kursi di DPR hanya sembilan partai politik yang dapat memenuhi ketentuan batas minimal untuk membentuk Fraksi. Sementara itu, tujuh partai politik yang lain harus bergabung (berkoalisi) dengan partai politik lain. Dari komposisi Fraksi yang ada, koalisi ”partai politik gurem” dapat dikelompokkan menjadi dua pola, yaitu bergabung dengan ”partai politik besar” dan bergabung sesama ”partai politik gurem” membentuk fraksi sendiri (lihat Tabel).

Tabel

Fraksi-fraksi dan Jumlah Anggota di DPR Periode 2004-2009

 

No

Fraksi

Partai Politik

Jumlah

Total

1

F-PG

Partai Golongan Karya

-Partai Karya Peduli Bangsa

127

2

129

2

F-PDIP

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

109

109

3

F-PD

Partai Demokrat

-Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

-Partai Pelopor

56

1

3

60

4

F-PPP

Partai Persatuan Pembangunan

58

58

5

F-PAN

Partai Amanat Nasional

53

53

6

F-PKB

Partai Kebangkitan Bangsa

52

52

7

F-PKS

Partai Keadilan Sejahtera

45

45

8

F-BPD

Bintang Pelopor Demokrasi[59]

- Partai Bulan Bintang

- Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

- Partai Penegak Demokrasi Indonesia

- PNI Marhaen

11

4

1

1

17

9

F-PBR

Partai Bintang Reformasi

14

14

10

F-PDS

Partai Damai Sejahtera

13

13

T o t a l

550

 

Sumber: Biro Humas dan Peberitaan, 2007, Selayang Pandang Mekanisme Kerja Dewan,

Sekretariat Jenderal DPR-RI, jakarta, hal. 21.

Berdasarkan penggabungan antar-partai politik untuk memenuhi syarat Fraksi tersebut, koalisi Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dengan Partai Golkar (Fraksi Partai Golkar) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Pelopor dengan Partai Demokrat (Fraksi Partai Demokrat) tidak potensial alot dalam pengambilan keputusan. Dari jumlah kursi partai politik tersebut, PKPB dan PKPI serta Partai Pelopor lebih tepat dikatakan menggabungkan diri ke dalam Partai Golkar dan Partai Demokrat. Namun potensi alot lebih mungkin terjadi dalam Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD) karena mereka bukan bergabung melainkan berkoalisi untuk membentuk sebuah fraksi.

Sebagai sebuah pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum,[60] fraksi memiliki berbagai kewenangan yang sangat menentukan. Dalam Pasal 17 Ayat (1) Tatib DPR 2005/2006 dinyatakan, Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 Ayat (1) itu mengisyaratkan bahwa semua kegiatan anggota DPR berada di bawah kendali Fraksi. Dari ketentuan yang ada dalam Tatib DPR 2005/2006, Bivitri Susanti menyimpulkan beberapa tugas penting yang dapat mebuktikan bahwa Fraksi merupakan pemegang kendali anggota DPR seperti berikut ini.

1. Penentuan anggota DPR yang masuk ke dalam alat kelengkapan DPR.

2. Meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.

3. Pencalonan posisi-posisi kunci dalam struktur DPR, mulai dari pimpinan DPR, pimpinan alat kelengkapan, dan pimpinan kepanitiaan di DPR.

4. Pembahasan rancangan undang-undang di DPR pun harus dimulai dan diakhiri dengan pendapat fraksi. Daftar Inventarisasi Masalah yang akan jadi acuan bagi pembahasan suatu rancangan undang-undang pun dihasilkan oleh fraksi.[61]

Melihat begitu besarnya peran fraksi, koalisi antar-partai politik lebih dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa anggota DPR harus bergabung ke dalam sebuah fraksi. Dalam proses pengambilan keputusan termasuk dalam proses legislasi, kesulitan melakukan konsolidasi bukan antar-partai politik tetapi antar-fraksi. Dengan beragamnya kepentingan fraksi, sistem multi-partai akan mempertajam perbedaan kepentingan di DPR. Misalnya ketika terjadi konflik antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan awal terbentuknya DPR Periode 2004-2009, hal itu benar-benar memperlihatkan betapa sistem multipartai mengancam kelangsungan kinerja DPR. Terkait dengan peristiwa itu, Tajuk Rencana Kompas mengemukakan, politik perkubuan melalui fraksi-fraksi di DPR secara langsung telah menghilangkan kedaulatan (otonomi) anggota DPR. Berbagai keputusan yang dihasilkan DPR ditentukan bukan oleh anggota, tetapi oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR.[62] Karena itu, peran fraksi setelah perubahan UUD 1945 tidak berbeda dengan peran fraksi pada Orde Baru.

Dalam fungsi legislasi, meskipun bukan alat kelengkapan DPR, peran fraksi begitu dominan menentukan proses dan substansi rancangan undang-undang. Berdasarkan Pasal 136 Ayat (3) Tatib DPR 2005/2006, sebelum diadakan Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II terlebih dulu dilakukan rapat fraksi. Setelah itu, selama pembahasan rancangan undang-undang, yang dibahas adalah pandangan dan pendapat fraksi-fraksi. Bahkan, Daftar Inventarisasi Masalah yang dijadikan sebagai acuan pembahasan rancangan undang-undang pun dihasilkan oleh fraksi. Setelah selesai pembahasan, persetujuan pun ditentukan oleh fraksi.

Berkaitan dengan koalisi antar-fraksi dalam fungsi legislasi, sejauh ini tidak koalisi permanen. Bahkan, partai politik yang mendukung pemerintah pun tidak selalu mendukung rancangan undang-undang yang berasal dari prakarsa pemerintah. Dalam pembahasan rancangan undang-undang, yang paling sering terjadi adalah “koalisi taktis” berdasarkan kepentingan masing-masing fraksi. Umumnya, kepentingan tersebut lebih merupakan kepentingan jangka pendek dan terkait langsung dengan kepentingan fraksi. Kepentingan jangka pendek itu lebih mudah dicermati dalam pembahasan rancangan undang-undang paket undang-undang bidang politik.[63]

Salah satu contoh menarik pola “koalisi taktis” fraksi dapat dicermati ketika membahas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Untuk persyaratan dukungan (threshold) 15 persen bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang boleh mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, Fraksi PDIP sepakat dengan Fraksi Partai Golkar. Namun untuk persyaratan calon presiden minimal berpendidikan S1, Fraksi PDIP berseberangan pendapat dengan Fraksi Partai Golkar. Karena faktor Megawati Soekarnoputri --Ketua Umum PDIP yang tidak berpendidikan S1-- Fraksi PDIP menolak syarat itu. Sementara Fraksi Partai Golkar setuju syarat pendidikan minimal S1 dipertahankan. Begitu juga halnya dengan syarat tidak menjadi terdakwa untuk tindak pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara, karena faktor Akbar Tandjung --ketika itu Ketua Umum Partai Golkar-- yang sedang dalam status terdakwa kasus Bulog, Fraksi Partai Golkar menolak syarat tidak status terdakwa. Sementara itu, Fraksi PDIP setuju mempertahankan tersebut.

Contoh lain “koalisi taktis” ini dapat juga disimak ketika pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No. 10/2008). Terkait dengan masalah mengganti persyaratan electoral threshold dari 3 persen menjadi partai politik yang hanya memiliki kursi di DPR untuk sebagai syarat mengikuti Pemiliah Umum Anggota Legislatif 2009, semua fraksi di DPR sepakat dengan penggantian tersebut.[64] Namun dalam hal penentuan calon terpilih dari sisa suara, fraksi terbelah menjadi dua kelompok: F-PG, F-PDIP, F-PKB, dan F-PKS setuju dengan batasan 50 persen, sedangkan fraksi-fraksi lain seperti F-PAN, F-PPP, F-PD, dan F-PDB menginginkan batasan 30 persen.[65]

Dalam fungsi legislasi, pembentukan “koalisi taktis” itu tidak hanya menimbulkan inkonsistensi dalam perumusan norma karena kebanyakan pasal(-pasal) yang mereka berbeda cenderung dicarikan rumusan kompromi, tetapi juga membuat penyelesaian sebuah rancangan undang-undang menjadi lebih lama. Misalnya, UU No. 10/2008 rencananya akan disetujui pada tanggal 27 Desember 2007. Namun karena perbedaan yang ada tidak mencapai titik temu, persetujuan ditunda sampai tanggal 26 Februari 2008. Bahkan, jadwal tersebut kembali ditunda sampai tanggal 28 Februari 2008. Akhirnya, persetujuan benar-benar tercapai pada tanggal 3 Maret 2008. Karena kompromi untuk kepentingan sesaat, dalam hitungan bulan setelah pengesahan, sejumlah partai politik mendesak untuk mengubah substansi UU No. 10/2008 terutama untuk penentuan pemenang anggota legislatif.

Dalam fungsi legislasi, kombinasi antara presiden yang mendapat dukungan minoritas di lembaga legislatif dan sistem multi-partai akan menimbulkan kesulitan tersendiri. Kesulitan pertama, konsolidasi presiden dengan lembaga legislatif yang sama-sama mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Jika koalisi tidak terbentuk, ketegangan antara presiden dan lembaga legislatif akan berlangsung dalam waktu yang lama. Kedua, kesulitan melakukan konsolidasi antar-partai politik di lembaga legislatif. Dengan beragamnya kepentingan partai politik, sistem multi-partai akan mempertajam perbedaan kepentingan tersebut selama proses legislasi. Ketiga, dalam sistem dua kamar, akan terjadi konsolidasi berlapis mulai dari konsolidasi di masing-masing kamar, kemudian konsolidasi antar-kamar, dan setelah itu konsolidasi antara lembaga legislatif dengan presiden. Khusus untuk sistem multipartai, konsolidasi potensial mempersulit dan memperlama penyelesaian suatu rancangan undang-undang.

D. Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial

Sekalipun koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dengan design legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapai Pilpres 2009 harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tidak menjadi simalakama lagi presiden. Bagaimanapun, ide dasar (design) pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kalau hanya dilandaskan pada perhitungan untuk memenuhi target memenangkan pemilu, koalisi akan mengalami pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan.

Oleh karena itu, untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring di atas layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, misalnya, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legistif dan/atau popularitas calon. Kemudian, diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan cara seperti itu, partai politik pendukung koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.

Secara sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan konsep-konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, dengan mengacu pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, presiden akan kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet. Bagaimanapun, dengan design yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan.

Daftar Pustaka

Albert Stepan & Cindy Skach, Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism, dalam Journal of World Politics, Vol. 46, No. 1.

Aulia A. Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Anton M. Moeliono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.

Arend Lijphart (edit.), Parliamentary versus Presidensial Government, Oxford University Press.

Arief Mudatsir Mandan, 2005, Mendung di Atas Senayan: Refleksi Empat Belas Bulan DPR-RI 01 Oktober 2004–31 Desember 2005, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta

Barbara Sinclair, 2000, Unorthodox Lawmaking: New Legislative Process in the U.S. Congress, CQ Press, Washington DC.

Bivitri Susanti dkk., 2005, Struktur DPR Yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan, Draf Laporan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Biro Humas dan Penerbitan, 2008, Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam Mensosialisasikan Kegiatan Dewan, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta.

Biro Humas dan Peberitaan, 2007, Selayang Pandang Mekanisme Kerja Dewan, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta.

David Altman, 2000, The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, dalam Journal Party Politics, Vol. 6, No. 3.

David R. Mayhew, 1991, Divided We Govern: Party Control, Lawmaking, and Investigations, Yale University Press, New Haven.

Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press.

Jose Antonio Cheibub , 2002, Minority Governments, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies, dalam Journal of Caomparative Political Studies, No 35.

Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34.

Juan J. Linz, 1994, Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference?’ dalam Juan J. Linz and Arturo Venezuela, eds, The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore.

Juan J. Linz and Alfred Stepan, 1994, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe South America, and Post-Communist Europe, Johns Hopkins, Baltimore.

Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidentialism, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary versus Presidensial Government, Oxford University Press.

Lihat juga Kathryn Hochstetler, tt, Rethinking Presidentialism: Challenges and Presidential Falls in South America, http://www.colostate.edu/Depts/PoliSci/fac/kh/Comparative%20Politics%20revis- ed.pdf, hal. 26.

Mark P. Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential Democracies, Notre Dame University Press, Notre Dame.

Matthew Shugart & John M. Carey, 1992, President and Asemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamics, Cambrigde University Press, Cambride.

Saiful Mujani, 2002, Jadikan Presiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta.

Saldi Isra, 2009, Divided Executive, dalam Harian Suara Karya, 11/03, Jakarta.

Saldi Isra, 2009, Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi pada Program Pascaserjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Saldi Isra, 2009, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.

Saldi Isra, 2004, Dari Chaos Menjadi Tertib Hukum, dalam Eep Saifulloh Fatah dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta.

Scott Maiwaring, 1998, RethinkingParty Systems Theory in the Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization, Working Paper 260.

Scott Mainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress, Working Paper 235.

Scott Maiwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2.

Scott Mainwaring, 1992, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press.

Scott Mainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America, Latin American Research Review, 25.

Scott Maiwaring, 1990, Politician, Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141.

Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper 319.

Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, 1995, Introduction: Party Systems in Latin America, dalam Scott Mainwaring and Timothy R. Scully (edits.), Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford University Press.

Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

The-fu Huang, 1997, Party Systems in Taiwan and South Korea, in Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu and Hung-mao Tien (edits.), Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Johns Hopkins.

Zainal Arifin Mochtar, 2008, Pemilihan Umum Para Politisi, dalam Koran Seputar Indonesia, 1 Maret, Jakarta.



* Makalah disampaikan dalam “Diskusi Bulanan” Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, di Gedung II Dekanan Fakultas Hukum UNAND, Padang, 01 April 2009.

Beberapa bagi dari makalah ini disarikan dari Saldi Isra, 2009, Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi pada Program Pascaserjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 416-434.

§ Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

[1] Dari penelusuran literatur hukum tata negara Indonesia, setidaknya terdapat empat model penulisan istilah ini, yaitu presidentil, presidensil, presidensiil, dan presidensial. Dalam disertasi ini digunakan istilah “presidensial” untuk menerjemahkan istilah “presidential”. Pilihan itu didasarkan pada resapan yang digunakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu presidensial. Lihat Anton M. Moeliono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, hal. 700.

[2] Saldi Isra, 2009, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.

[3] Hasil selengkapnya, misalnya, dapat dibaca dalam Aulia A. Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 362.

[4] Saldi Isra, 2004, Dari Chaos Menjadi Tertib Hukum, dalam Eep Saifulloh Fatah dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta, hal. 63.

[5] Kompas, 07/10-2004.

[6] Jose Antonio Cheibub , 2002, Minority Governments, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies, dalam Journal of Caomparative Political Studies, No 35, hal. 287.

[7] Dari jumlah itu, Partai Demokrat mendapatkan 56 kursi; Partai Bulan Bintang 11 kursi; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendaptkan 1 kursi. Angka 12 persen juga merupakan hasil dari sebuah koalisi. Lebih jauh perkembangan dukungan ini dapat dibaca, misalnya, dalam Aulia A. Rahman, op.cit., hal. 361.

[8] Saldi Isra, 2008, Simalakama...

[9] Bandingkan dengan ibid.

[10] Pada batas-batas tertentu, pengalaman Presiden Abdurrhman Wahid bisa juga menjadi bagian menarik dari pengalaman koalisi dalam sistem pemerintahan Indonesia.

[11] Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan:

”Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh prosen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25 % (dua puluh lima prosen) dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.

Sebelumnya Pasal 101 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan:

“Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon”.

[12] Berdasarkan hasil penelitian Scott Mainwaring, ada tiga bentuk sistem kepartaian yang lebih umum di setiap sistem pemerintahan, yaitu (1) sistem partai dominan (dominant party), (2) sistem dua partai (two-party), dan sistem multi-partai (multiparty). Lihat, Scott Maiwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 204-210.

Berkenaan dengan sistem multipartai, ada variasi lain, yaitu sistem multipartai sederhana. Namun sampai sejauh ini, belum ada penelitian yang menjelaskan berapa jumlah partai politik yang “ideal” untuk dapat dikatakan sebagai sebuah sistem multipartai sederhana.

[13] Tentang hal ini dapat dibaca dalam David R. Mayhew, 1991, Divided We Govern: Party Control, Lawmaking, and Investigations, Yale University Press, New Haven; dan Matthew Shugart & John M. Carey, 1992, President and Asemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamics, Cambrigde University Press, Cambride.

[14] Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566.

[15] Diantaranya dikemukakan oleh Scott Mainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America, Latin American Research Review, 25, hal. 157–79; Albert Stepan & Cindy Skach, Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism, dalam Journal of World Politics, Vol. 46, No. 1, hal. 20; Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, 1995, Introduction: Party Systems in Latin America, dalam Scott Mainwaring and Timothy R. Scully (edits.), Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford University Press, Stanford, hal. 33.

[16] Juan J. Linz, 1994, Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference?’ dalam Juan J. Linz and Arturo Venezuela, eds, The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore, hal. 19.

[17] Juan J. Linz and Alfred Stepan, 1994, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe South America, and Post-Communist Europe, Johns Hopkins, Baltimore, hal. 181.

[18] Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, loc.cit.

[19] Mark P. Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential Democracies, Notre Dame University Press, Notre Dame, hal. 38.

[20] The-fu Huang, 1997, Party Systems in Taiwan and South Korea, in Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu and Hung-mao Tien (edits.), Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Johns Hopkins, hal. 138.

[21] Scott Mainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America…, hal. 25.

[22] Mark P. Jones, loc.cit.

[23] Scott Mainwaring, 1992, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, hal. 114.

[24] Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidentialism, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary versus…, hal. 120.

[25] Scott Mainwaring, 1992, Presidentialism in…, hal. 114.

[26] Saiful Mujani, 2002, Jadikan Presiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta, hal. 10-11.

[27] Misalnya, divided government ini dapat dilihat dalam pembahasan rancangan undang-undang keuangan negara tahun 1995-196. Ketika itu, Kongres dikuasai Partai Republik sedangkan Presiden (Bill Clinton) berasal dari Partai Demokrat. Lebih jauh dapat dibaca dalam Barbara Sinclair, 2000, Unorthodox Lawmaking: New Legislative Process in the U.S. Congress, CQ Press, Washington DC, hal. 184-217.

[28] Scott Mainwaring, Presidentialism in…, hal. 115.

[29] David Altman, 2000, The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, dalam Journal Party Politics, Vol. 6, No. 3, hal. 261.

[30] Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press, hal. 173.

Lebih jauh mengenai masalah ini dapat dibaca, misalnya, dalam Scott Maiwaring, 1998, RethinkingParty Systems Theory in the Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization, Working Paper 260; dan Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper 319.

[31] Scott Mainwaring, op.cit., hal. 114-115.

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Jose Antonio Cheibub, 2002, Minority Governments, Deadlock Situations, and …., hal. 287.

[35] Ibid., hal. 287-288.

[36] Scott Mainwaring, Presidentialism in…, hal. 115.

[37] David Altman, 2000, The Politics of Coalition Formation and Survival…, hal. 261.

[38] Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and…, hal. 567.

[39] Alfred Stepan & Cindy Skach, 1993, Constitutional Framework and …, hal. 20.

Lihat juga Kathryn Hochstetler, tt, Rethinking Presidentialism: Challenges and Presidential Falls in South America, http://www.colostate.edu/Depts/PoliSci/fac/kh/Comparative%20Politics%20revis- ed.pdf, hal. 26, dikunjungi 04/01-2008.

[40] Scott Mainwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 200.

Dilema sistem multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial termasuk yang paling banyak ditulis adalah pengalaman Brazil. Lebih jauh, misalnya, dapat dibaca dalam Scott Mainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress, Working Paper 235; Scott Maiwaring, 1992, Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of Brazil, Working Paper 174; dan Scott Maiwaring, 1990, Politician, Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141.

[41] Ibid.

[43] Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 69.

[44] Syamsuddin Haris menyebut koalisi Poros Tengah sebagai koalisi longgar. Lebih jauh, lihat ibid.

[45] Denny Indrayana menyebut dukungan awa hanya tujuh persen yaitu dengan hanya menghitung jumlah kursi Partai Demokrat di DPR, Lebih jauh, lihat Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 255.

[46] Sebelum Wakil Presiden M. Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar, partai berlambang pohon beringin ini memilih sikap berseberangan dengan pemerintah Yudhoyono-Kalla. Begitu Kalla menjadi Ketua Umum, Partai Golkar berubah menjadi mendukung pemerintah. Meskipun dukungan itu dibungkus dalam bahasa ”Golkar akan tetap melakukan check and balance yang obyektif kepada pemerintah” oleh Jusuf Kalla. Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam Arief Mudatsir Mandan, 2005, Mendung di Atas Senayan: Refleksi Empat Belas Bulan DPR-RI 01 Oktober 2004–31 Desember 2005, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, hal. 76-80.

[47] Lihat, misalnya, Arief Mudatsir Mandan, ibid., hal. 83-206.

[48] Dalam Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada…, hal. 220.

[49] Kebijakan non-legislasi ini, seperti ketegangan yang terjadi dalam penggantian Penglima TNI, penolakan atas kenaikan harga BBM, penolakan atas usulan Gubernur Bank Indonesia.

[50] Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945

[51] Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945.

[52] Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945.

[53] Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945.

[54] Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.

[55] Saldi Isra, 2008, Simalakama...

[56] Disarikan dari Saldi Isra, 2009, Divided Executive, dalam Harian Suara Karya, 11/03, Jakarta.

[57] Koran Seputar Indonesia, 10/03-2009.

[58] Alat kelengkapan DPR meliputi: 1) Pimpinan DPR; 2) Badan Musyawarah; 3) Komisi; 4) Badan Legislasi; 5) Panitia Anggaran; 6) Badan Urusan Rumah Tangga; 7) Badan Kerjasama Antar Parlemen; 8) Badan Kehormatan; dan 9) Panitia Khusus.

[59] Bukan nama partai politik, tetapi nama gabungan partai politik.

[60] Biro Humas dan Penerbitan, 2008, Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam Mensosialisasikan Kegiatan Dewan, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hal. 6.

[61] Bivitri Susanti dkk., 2005, Struktur DPR Yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan, Draf Laporan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 27.

[62] Harian Kompas, 17/11-2004.

[63] Meliputi Rancangan Partai Politik, Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Susunan dan Kedudukan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

[64] Pasal 9 Ayat (1) UU No. 12/2003 tentang Pemiliahn Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya PBR, PDS, PBB, PDK, Partai Pelopor, PKPB, PDI, PKPI, dan PNI Marhaen tidak bisa langsung ikut Pemilihan Umum 2009.

[65] Kritik tentang hal ini dapat dibaca, misalnya, Zainal Arifin Mochtar, 2008, Pemilihan Umum Para Politisi, dalam Koran Seputar Indonesia, 1 Maret, Jakarta.